Produksi kedelai lokal terbatas

Kamis, 24 Januari 2013 - 10:42 WIB
Produksi kedelai lokal terbatas
Produksi kedelai lokal terbatas
A A A
Harga kedelai yang terus berfluktuasi telah membelenggu Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) selama 14 tahun. Harapan agar pemerintah segera menerbitkan regulasi yang mengatur tata niaga kedelai lebih detail,di antaranya melalui penetapan harga pembelian pemerintah (HPP), adalah sebuah penantian yang tak berujung.

Celakanya,pemerintah malah sibuk memberi angin segar bagi para importir komoditas pangan yang menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat itu. Kabar duka itu berembus dalam acara Revitalisasi Tata Niaga Menuju Swasembada Kedelai yang digelar di gedung perwakilan rakyat Senayan kemarin.Penyampaian berita menyedihkan itu langsung meluncur dari bibir Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Ayip Syarifudin.

Gakoptindo sendiri membawahkan 177 kopti tempat bernaung 115.000 usaha dan 1 juta tenaga kerja dari 18 provinsi.Para perajin tahu tempe tersebut membutuhkan bahan baku kedelai sebanyak 132.000 ton per bulan.Yang menjadi masalah,harga bahan baku itu tidak pernah stabil.“Harapan kami, harga bisa stabil agar bisa menghitung biaya produksi,”ungkap Ayip.

Sementara itu,tuduhan miring kepada pemerintah yang lebih berpihak kepada importir ketimbang memperhatikan nasib perajin tahu tempe dibantah keras Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi.Namun Bayu mengakui bahwa pemerintah memang mendukung impor kedelai karena produksi di dalam negeri tak mencukupi.

Menghentikan aktivitas impor kedelai tidak sulit, tetapi persoalannya bagaimana mengatasi pasokan yang kurang di tengah masyarakat. Bayu menjamin bahwa sikap pemerintah dalam urusan kedelai sudah netral,mendengar semua pihak mulai dari perajin,pengusaha,dan importir kedelai.Saat ini,kemampuan produksi kedelai lokal belum bisa melewati 800.000 ton per tahun, sedangkan kebutuhan kedelai rata-rata sekitar 2,2 juta hingga 2,4 juta ton per tahun.

Dari mana saja asal kedelai untuk menutupi kebutuhan dalam negeri yang cukup besar itu? Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan,Amerika Serikat (AS), salah satu negara pemasok kedelai terbesar,tahun lalu total impor kedelai dari Negeri Paman Sam itu mencapai 1,4 juta ton dan dalam lima tahun terakhir kedelai dari AS mendominasi pasar domestik.

Selain AS,Malaysia, Afrika Selatan, Uruguay dan Brasil juga turut memperbesar volume impor kedelai selama ini. Yang menarik untuk dicermati, mengapa kebutuhan kedelai yang terus meroket tidak diiringi dengan produksi tinggi, tetapi justru yang terjadi sebaliknya, yaitu produksi semakin terpuruk. Benarkah karena tanaman kedelai hanya dijadikan tanaman sampingan oleh petani sebagaimana dikemukakan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso yang menjadi narasumber dalam diskusi soal tata niaga kedelai itu?

Penilaian tersebut masih jadi perdebatan. Yang jelas, penyediaan lahan kedelai oleh pemerintah masih jauh dari cukup, sementara penyusutan lahan tak bisa dihindari. Sebuah data menunjukkan telah terjadi penyusutan lahan tahun lalu sekitar 8,4% per tahun dari total lahan seluas 600.000 hektare. Persoalan lain yang tak pernah diselesaikan seperti dikeluhkan Gakoptindo adalah penetapan HPP yang tak kunjung diterbitkan pemerintah.

Padahal, pascakrisis kedelai tahun lalu sudah disepakati untuk membuat HPP kedelai. Ini sungguh ironis jika membandingkan kondisi 10 tahun yang lalu di mana Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai dengan memiliki lahan sekitar 1,5 juta hektare. Akankah kita terus menyaksikan kesedihan yang menimpa para pengrajin tempe tahu di negeri ini? ●
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5670 seconds (0.1#10.140)