Saatnya parpol berbenah
A
A
A
Setelah melewati perdebatan sengit dan masa-masa penuh tekanan, akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan 10 partai politik (parpol) yang berhak untuk mengikuti gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota Legislatif 2014.
Sembilan di antaranya partai yang pada Pemilu 2009 telah melampaui parliamentary threshold dan memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan satu pendatang baru yang dapat melalui berbagai persyaratan berat yang dibebankan UU Pemilu yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sekalipun banyak pihak yang mengkritik perampingan parpol lewat cara pemaksaan seperti yang terjadi saat ini.
Pertarungan yang akan terjadi diperkirakan akan memudahkan pemilih dalam menilai parpol yang ada dibandingkan dengan 48 parpol pada Pemilu 1999, 24 parpol pada Pemilu 2004, serta 38 parpol pada Pemilu 2009.Seharusnya dengan jumlah yang tidak terlalu banyak seperti ini parpol bisa lebih mudah melakukan diferensiasi program antarparpol untuk menarik minat calon pemilih.Karena hal yang terpenting dari sebuah parpol yaitu ideologi dan program yang direncanakannya sebagai turunan.
Kedua hal tersebut menjadi seharusnya menjadi determinan utama calon pemilih dalam negara demokrasi modern. Begawan ilmu politik Indonesia Prof Miriam Budiarjo secara ringkas mendefinisikan parpol sebagai representation of ideas. Dalam konteks ini ideologi politik yang menjadi motivasi dan motor penggerak utama kegiatan partai politik untuk mewujudkan cita-cita bersama tentang konsep negara ideal menurut mereka.
Dalam pencapaian cita-citanya ini suatu parpol harus menjalankan empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Pengalaman yang terjadi selama ini masih jauh dari konsep ideal tersebut.Parpol yang seharusnya menjadi agen komunikasi politik malahan hanya mencari massa pada saat akan pemilu saja. Fungsi sosialisasi politik parpol juga setali tiga uang.
Selain itu, parpol yang juga seharusnya menjadi sarana pengatur konflik malah tidak bisa mengatur konflik internal yang terjadi di tubuhnya sendiri,padahal partai politik seharusnya bisa menjadi sarana integrasi nasional. Sarana rekrutmen politik juga cenderung ditinggalkan. Hal inilah yang menjadi sandungan utama ketika diharuskannya semua parpol melalui verifikasi faktual dengan syarat keberadaan perwakilan partai di 100% dari jumlah provinsi di Indonesia, 75% dari jumlah kabupaten di tiap provinsi.
Serta 50% dari jumlah kecamatan per kabupaten/ kota serta minimal anggota 1/1000 jumlah penduduk atau minimal 1.000 anggota di level kabupaten/kota.Jika rekrutmen berjalan baik,aturan itu bukan masalah besar. Perkembangan kehidupan politik Indonesia menunjukkan bahwa pemilih di negeri cenderung untuk tidak terikat ke ideologi atau agama tertentu. Ini bisa dibuktikan dari pemenang pemilu pasca reformasi yang berubah-ubah secara signifikan.
Rendahnya suara partai berbasis agama juga menjadi indikasinya. Sudah barang tentu dalam menyikapi itu parpol-parpol yang ada akan menjalankan strategi untuk merangkul semua golongan sembari menjaga massa tradisionalnya. Pilihan tersebut sah-sah saja.Implementasi ideologi tidak harus selalu pada titik ekstrem.Ideologi sebagai sarana penyambung ide antara calon pemilih,kader,dan parpol bisa dimaknai secara luas.
Ideologi-ideologi itu harus diimplementasikan dalam rencana program yang bisa menjawab kebutuhan pemilihnya dan rakyat Indonesia.Para calon pemilih tentu sudah tidak ingin lagi melihat berbagai program tidak konkret yang dijanjikan untuk pemilu nanti. Sudah saatnya parpol berbenah menyesuaikan diri dengan pemilih Indonesia yang kian cerdas dan kian menuntut karena tahu akan hak-haknya sebagai warga negara.
Sembilan di antaranya partai yang pada Pemilu 2009 telah melampaui parliamentary threshold dan memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan satu pendatang baru yang dapat melalui berbagai persyaratan berat yang dibebankan UU Pemilu yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sekalipun banyak pihak yang mengkritik perampingan parpol lewat cara pemaksaan seperti yang terjadi saat ini.
Pertarungan yang akan terjadi diperkirakan akan memudahkan pemilih dalam menilai parpol yang ada dibandingkan dengan 48 parpol pada Pemilu 1999, 24 parpol pada Pemilu 2004, serta 38 parpol pada Pemilu 2009.Seharusnya dengan jumlah yang tidak terlalu banyak seperti ini parpol bisa lebih mudah melakukan diferensiasi program antarparpol untuk menarik minat calon pemilih.Karena hal yang terpenting dari sebuah parpol yaitu ideologi dan program yang direncanakannya sebagai turunan.
Kedua hal tersebut menjadi seharusnya menjadi determinan utama calon pemilih dalam negara demokrasi modern. Begawan ilmu politik Indonesia Prof Miriam Budiarjo secara ringkas mendefinisikan parpol sebagai representation of ideas. Dalam konteks ini ideologi politik yang menjadi motivasi dan motor penggerak utama kegiatan partai politik untuk mewujudkan cita-cita bersama tentang konsep negara ideal menurut mereka.
Dalam pencapaian cita-citanya ini suatu parpol harus menjalankan empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Pengalaman yang terjadi selama ini masih jauh dari konsep ideal tersebut.Parpol yang seharusnya menjadi agen komunikasi politik malahan hanya mencari massa pada saat akan pemilu saja. Fungsi sosialisasi politik parpol juga setali tiga uang.
Selain itu, parpol yang juga seharusnya menjadi sarana pengatur konflik malah tidak bisa mengatur konflik internal yang terjadi di tubuhnya sendiri,padahal partai politik seharusnya bisa menjadi sarana integrasi nasional. Sarana rekrutmen politik juga cenderung ditinggalkan. Hal inilah yang menjadi sandungan utama ketika diharuskannya semua parpol melalui verifikasi faktual dengan syarat keberadaan perwakilan partai di 100% dari jumlah provinsi di Indonesia, 75% dari jumlah kabupaten di tiap provinsi.
Serta 50% dari jumlah kecamatan per kabupaten/ kota serta minimal anggota 1/1000 jumlah penduduk atau minimal 1.000 anggota di level kabupaten/kota.Jika rekrutmen berjalan baik,aturan itu bukan masalah besar. Perkembangan kehidupan politik Indonesia menunjukkan bahwa pemilih di negeri cenderung untuk tidak terikat ke ideologi atau agama tertentu. Ini bisa dibuktikan dari pemenang pemilu pasca reformasi yang berubah-ubah secara signifikan.
Rendahnya suara partai berbasis agama juga menjadi indikasinya. Sudah barang tentu dalam menyikapi itu parpol-parpol yang ada akan menjalankan strategi untuk merangkul semua golongan sembari menjaga massa tradisionalnya. Pilihan tersebut sah-sah saja.Implementasi ideologi tidak harus selalu pada titik ekstrem.Ideologi sebagai sarana penyambung ide antara calon pemilih,kader,dan parpol bisa dimaknai secara luas.
Ideologi-ideologi itu harus diimplementasikan dalam rencana program yang bisa menjawab kebutuhan pemilihnya dan rakyat Indonesia.Para calon pemilih tentu sudah tidak ingin lagi melihat berbagai program tidak konkret yang dijanjikan untuk pemilu nanti. Sudah saatnya parpol berbenah menyesuaikan diri dengan pemilih Indonesia yang kian cerdas dan kian menuntut karena tahu akan hak-haknya sebagai warga negara.
(mhd)