Mahfud akui banyaknya gratifikasi seks di Indonesia
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, banyaknya gratifikasi seks di Indonesia, bahkan gratifikasi ini lebih hebat ketimbang gratifikasi berupa uang. Namun, sulit dibuktikan karena tidak memiliki nominal laiknya gratifikasi uang.
"Gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Itu (gratifikasi seks) ada banyak, cuma sekarang bagaimana memformulasikan pembuktian, karena numeriknya kan susah menilai," jelas Mahfud usai mengikuti Rakernas IKA UII di Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (13/1/2013).
Bahkan, dia menilai, gratifikasi ini telah terjadi sejak zaman Orde Baru (Orba), sehingga tidak heran jika saat ini kembali mengemuka ke publik.
"Banyak orang kebal dengan uang, tapi tidak dengan tawaran seksual. Dahulu di zaman Orde Baru (Orba) kalau ada pemriksaan keuangan disediakan gratifikasi seksual," terangnya.
Dia menambahkan, hal seperti itu bukan rahasia baru lagi. "Dan sekarang itu banyak orang membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau istri simpanan. Itu laporan ke saya banyak yang kayak begitu," sambungnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur mengenai gratifikasi seks, karenanya dirinya mendukung untuk segera dibuat undang-undang itu.
"Tapi undang-undang belum ada. Nanti dipikirkan," pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wacana dibentuknya aturan terkait gratifikasi seks, kasus seperti ini sebenarnya sudah berkembang di negara lain.
Rencana pembentukan aturan ini dilontarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi dan sejumlah anggota DPR, tahun 2012.
"Gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Itu (gratifikasi seks) ada banyak, cuma sekarang bagaimana memformulasikan pembuktian, karena numeriknya kan susah menilai," jelas Mahfud usai mengikuti Rakernas IKA UII di Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (13/1/2013).
Bahkan, dia menilai, gratifikasi ini telah terjadi sejak zaman Orde Baru (Orba), sehingga tidak heran jika saat ini kembali mengemuka ke publik.
"Banyak orang kebal dengan uang, tapi tidak dengan tawaran seksual. Dahulu di zaman Orde Baru (Orba) kalau ada pemriksaan keuangan disediakan gratifikasi seksual," terangnya.
Dia menambahkan, hal seperti itu bukan rahasia baru lagi. "Dan sekarang itu banyak orang membuat kebijakan diminta oleh perempuan nakal atau istri simpanan. Itu laporan ke saya banyak yang kayak begitu," sambungnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur mengenai gratifikasi seks, karenanya dirinya mendukung untuk segera dibuat undang-undang itu.
"Tapi undang-undang belum ada. Nanti dipikirkan," pungkasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wacana dibentuknya aturan terkait gratifikasi seks, kasus seperti ini sebenarnya sudah berkembang di negara lain.
Rencana pembentukan aturan ini dilontarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi dan sejumlah anggota DPR, tahun 2012.
(mhd)