Pemberian uang karena ditekan, bukan suap

Kamis, 03 Januari 2013 - 18:02 WIB
Pemberian uang karena ditekan, bukan suap
Pemberian uang karena ditekan, bukan suap
A A A
Sindonews.com - Pemberian uang kepada pejabat negara yang memiliki kewenangan tidak serta merta bisa dikatakan sebagai tindak penyuapan terhadap penyelenggara negara.

Hal itu diungkap Dr Eva Aryani Zulva, saksi ahli dalam sidang perkara korupsi pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol dengan terdakwa Siti Hartati Murdaya.

“Soal tindak pidana suap itu, dalam UU Tipikor dirumuskan dengan sangat spesifik. Kalau disebut suap, maka harus ada dua pihak yang terlibat. Si pemberi maupun si penerima harus tahu tujuan pemberian itu,” ungkap Eva di Pengadilan Tndak Pidana Korupsi (Tipikor), Kamis (3/1/2013).

Pakar pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengatakan, dalam setiap kasus suap harus disertakan dengan alat bukti yang mengarah pada kerja sama antara dua pihak, dan ada pengetahuan dan kesadaran kedua pihak tentang perbuatan yang dilakukan.

Apabila alat itu hanya berupa petunjuk-petunjuk yang kemudian dirangkaikan untuk menghubungkan seseorang terkait dengan perbuatan tersebut, maka itu tidak bisa digambarkan sebagai satu urutan. Pasalnya, itu harus bisa menguatkan alat bukti lain yang dipakai.

“Jadi pengertian minimal ada dua alat bukti untuk menetapkan seseorang melakukan suatu tindak pidana tersebut, tidak bisa diartikan dengan 1 +1 = 2,” ujarnya.

Eva juga mengatakan, apabila ternyata posisi pemberi dalam posisi dipengaruhi yang membuatnya harus melakukan pemberian, itu harus dilihat secara lebih teliti.

“Kalau ada suatu kasus, misalnya, ada pejabat yang meminta uang kepada seorang pengusaha, berkali-kali dia meminta, sampai 5 kali, 7 kali, bagaimana statusnya? Harus dilihat dari mana inisiatifnya. Kalau inisiatifnya dari pejabat itu, dan dengan kewenangannya dia bisa menggerakkan orang, dalam arti membuat orang lain dalam keterpaksaan, maka si pemberi tidak bisa dikenakan unsur tindak seperti dalam Pasal 5 UU Tipikor,” bebernya.

Menurut Eva, tindak suap itu baru bisa dikategorikan apabila muncul inisiatif dan niatan dari kedua pihak. Kemudian, keduanya sama-sama mencari, dan mendapat keuntungan dari perbuatan itu.

Demikan halnya ketika kasus tersebut dikaitkan dengan perkara Hartati yang dikatakan didesak oleh “raja-raja” kecil di daerah Buol, Eva menggangap ada suatu kemungkinan ada penekanan dalam kasus tersebut.

“Harus ada hubungan kasualitas antara pejabat yang disebut “raja kecil” itu dengan pengusaha yang dimintai uang. Pejabat pastinya memiliki kewenangan dan kemungkinan untuk memberi tekanan. Kalau pengusaha dalam kondisi tertekan, baik secara fisik maupun psikis, maka dia jelas menjadi korban. Jadi, dalam kondisi seperti ini, si pemberi adalah korban sehingga bukan pelaku tindak pidana suap,” pungkasnya.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6588 seconds (0.1#10.140)