Legislatif terkorup, sistem pemilu ikut mempengaruhi
A
A
A
Sindonews.com - Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis anggota legislatif periode tahun 2009-2014 paling banyak terindikasi korupsi dari periode sebelumnya setelah rezim orde baru tumbang.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Teguh Juwarno menilai, laporan tersebut harus dilihat dalam karangka lebih besar. Pasalnya, sistem pemilu juga mempengaruhi persoalan tersebut. Misalnya, pada tahun 1999-2004 masih berlaku nomor urut calon oleh partai.
"Nah periode 2009-2014 dengan sistem suara terbanyak. Maka, yang terpilih adalah mereka yang punya duit banyak atau yang populer," ujarnya, melalui pesan singkat, Kamis (3/1/2013).
Dia mengakui, realitas di lapangan, masyarakat masih bisa dipengaruhi politik uang lantaran angka kemiskinan masih besar. Akhirnya, kebutuhan hidup itu menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan.
"Akibatnya politikus mencari jalan pintas dengan pendekatan pragmatis, 'membeli' suara pemilih, mereka keluar banyak duit agar bisa terpilih," tukasnya.
Lanjutnya, setelah pemilu selesai,tidak menutup kemungkinan anggota DPR yang sudah banyak menghabiskan uang berusaha untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan.
"Ini sungguh memilukan, karena sebenarnya DPR (legislatif) hanya dapat bagian 'recehan' dari sebuah ayat di Undang-Undang (UU). Karena yang lebih besar keuntungannya adalah pihak-pihak yang paling menikmati UU tersebut, apakah itu pemodal asing, pengusaha dan eksekutif," ucapnya.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Teguh Juwarno menilai, laporan tersebut harus dilihat dalam karangka lebih besar. Pasalnya, sistem pemilu juga mempengaruhi persoalan tersebut. Misalnya, pada tahun 1999-2004 masih berlaku nomor urut calon oleh partai.
"Nah periode 2009-2014 dengan sistem suara terbanyak. Maka, yang terpilih adalah mereka yang punya duit banyak atau yang populer," ujarnya, melalui pesan singkat, Kamis (3/1/2013).
Dia mengakui, realitas di lapangan, masyarakat masih bisa dipengaruhi politik uang lantaran angka kemiskinan masih besar. Akhirnya, kebutuhan hidup itu menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan.
"Akibatnya politikus mencari jalan pintas dengan pendekatan pragmatis, 'membeli' suara pemilih, mereka keluar banyak duit agar bisa terpilih," tukasnya.
Lanjutnya, setelah pemilu selesai,tidak menutup kemungkinan anggota DPR yang sudah banyak menghabiskan uang berusaha untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan.
"Ini sungguh memilukan, karena sebenarnya DPR (legislatif) hanya dapat bagian 'recehan' dari sebuah ayat di Undang-Undang (UU). Karena yang lebih besar keuntungannya adalah pihak-pihak yang paling menikmati UU tersebut, apakah itu pemodal asing, pengusaha dan eksekutif," ucapnya.
(kur)