Persoalan TKI tak kunjung selesai

Rabu, 26 Desember 2012 - 20:16 WIB
Persoalan TKI tak kunjung...
Persoalan TKI tak kunjung selesai
A A A
Hingga penghujung tahun 2012 ini, persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seakan tidak akan ada habisnya. Meski mendapat julukan sebagai penghasil devisa negara, namun nasib TKI tidak sebanding dengan julukan tersebut.

Dari tahun ke tahun, persoalan yang mendera seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, tidak dibayarnya gaji, serta hilangnya hak selama bekerja, terus menjadi masalah klasik TKI.

Kasus TKI

Banyak kasus TKI yang sering diberitakan oleh media dalam negeri. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyebut kasus kelakuan biadab serta tak manusiawi yang dilakukan oleh polisi Malaysia.

Misalnya, menembak buruh migran Indonesia tanpa prosedur hukum, serta melakukan kebiadaban dengan memperkosa TKI yang bekerja sebagai Pekerja Rumah tangga (PRT).

Lebih lanjut dia menuturkan, penanganan kasus perkosaan yang dilakukan oleh tiga aparat Polisi Diraja Malaysia terhadap SM, PRT migran Indonesia di Bukit Mertajam, Pulau Penang Malaysia, masih jauh dari harapan publik.

"Para pelakunya kini menikmati kebebasan dengan membayar jaminan, sedangkan korban malah mendapatkan cercaan dan tuduhan atas nama moralitas," ujarnya.

Menurut data Migrant Care, telah terjadi 16 kasus penembakan brutal polisi Malaysia atau extra judicial killing terhadap buruh migran Indonesia atau TKI. Sejumlah TKI turut menjadi korban dalam penembakan brutal polisi Malaysia tersebut.

Kasus ini sudah seharusnya ditelusuri. Pasalnya, perlakuan biadab itu tidak pantas dilakukan oleh penegak hukum. Sayangnya, dalam kasus ini, tidak ada langkah diplomasi yang signifikan dari Pemerintah Indonesia atas ketidakadilan rentetan kasus tersebut.

Alih-alih melakukan pembelaan terhadap kasus ini, Pemerintah Indonesia malah turut serta memberikan legitimasi terhadap tindakan brutal polisi Malaysia dengan turut serta memberi cap kriminal terhadap buruh migran Indonesia walau belum ada putusan peradilan yang legitimasi.

Migrant Care masih memantau perkembangan kasus penembakan tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat, yakni Herman, Abdul Kadir, dan Maad Noon.

Sampai saat ini, keluarga tiga buruh migran tersebut, masih belum mendapatkan akses informasi mengenai hasil lengkap autopsi dari keraguan bahwa ada organ yang hilang dari tubuh ketiga mayat keluarganya itu. Tak hanya kasus perlakuan tak manusiawi yang dilakukan aparat hukum Malaysia yang meresahkan. Kasus hukuman mati yang dialami buruh migran Indonesia di luar negeri dianggap juga mengkhawatirkan.

Kasus hukuman mati yang menimpa buruh migran Indonesia masih sangat tinggi. Terdata ada sekira 321 buruh migran Indonesia yang rencananya akan mendapatkan hukuman mati.

Menurut pantauan Migrant Care, total hukuman mati yang diterima buruh migran Indonesia sebanyak 420 orang. Rinciannya, 351 buruh migran terancam hukuman mati di Malaysia, 22 TKI di China, seorang TKI di Singapura, seorang TKI di Manila, dan 45 TKI di Arab Saudi.

“Dari angka tersebut, 99 orang di antaranya telah divonis hukuman mati," ujar Anis di Kantor International Labour Organization, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa 18 Desember 2012.

Baru-baru ini, TKI bernama Karni bin Medi (35) asal Desa Karangjunti, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terancam hukuman pancung oleh Pemerintah Arab Saudi.

Karni dituduh melakukan pembunuhan terhadap anak majikannya yang berusia empat tahun di Arab Saudi. Pihak keluarga mendapatkan informasi tersebut dari Pemerintah Desa Karangjunti yang juga mendapatkan informasi dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada awal Oktober 2012 lalu.

Kementerian mengabarkan, kalau Karni diduga membunuh anak majikannya pada 26 September 2012 lalu. Kini, Karni terancam dengan hukuman pancung di Kota Yanbu, Arab Saudi.

TKI seolah sudah tak punya harga diri lagi sebagai buruh di negeri orang. Hal ini bisa tercermin dari kasus beberapa waktu lalu di Malaysia yang beredar selebaran bertuliskan 'TKI on Sale’.

Selebaran yang bertuliskan 'Indonesia Maids Now on SALE' itu menyebut TKI dihargai 7.500 ringgit Malaysia, atau diskon 40 persen dari tarif semula.

Perlindungan terhadap TKI lemah

Berkaca pada persoalan tersebut, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan tajinya, bahwa negara ini memiliki kehormatan. Jika hal ini tidak dimunculkan, persoalan demi persoalan akan terus muncul. Kasus ancaman hukuman mati tidak bisa diselesaikan hanya dengan pidato dan pembentukan adhoc.

Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengatakan, selama ini pemerintah masih seperti calo yang mengambil keuntungan dari pengiriman TKI, tapi lambat merespon persoalan TKI yang sudah bekerja di luar negeri.

"Kalau pemerintahnya saja masih bermental calo, akan terus terjadi (pelecehan terhadap TKI) seperti ini," katanya melalui pesan singkatnya kepada Sindonews, Selasa 30 Oktober 2012.

Dia menyatakan, pemerintah tidak tegas menangani setiap kasus yang menimpa TKI di luar negeri. Padahal Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) selalu diajak berdialog untuk membahas persoalan itu.

Di sisi lain, rakyat Indonesia sangat ingin melihat bangsa ini mendapat kewibawaannya kembali yang telah hilang. Pasalnya, dalam beberapa peristiwa, pemerintah dinilai lamban memberikan perlindungan terhadap TKI.

Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) menilai pemerintah Indonesia, sejauh ini belum menunjukkan kepeduliannya dalam melindungi TKI.

Seperti diketahui, banyak persoalan TKI masih terbengkalai, seperti hak TKI yang tidak dipenuhi, kasus perkosaan, kasus pembunuhan adalah indikator lemahnya kinerja Pemerintah dalam melindungi warga negaranya di luar negeri.

“Perlu adanya lembaga, semacam Lembaga Penjamin Sosial (LPS) bagi TKI, yang sumber dananya diambil dari anggaran APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara),” kata Poempida Hidayatulloh, dalam rilis yang diterima SINDO, Kamis 6 Desember 2012.

Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, selama ini perusahaan asuransi tidak memberikan hakikat perlindungan terhadap TKI. Permasalahan acapkali muncul ketika TKI sulit untuk mengklaim, padahal sudah memenuhi syarat untuk klaim asuransi.

Hal ini mengingat adanya orientasi bisnis dari konsorsium asuransi yang berimplikasi terhadap TKI yang kerapkali dirugikan dan dipersulit ketika mengurus pengajuan klaim asuransi yang menjadi hak penuh TKI.

Seperti diketahui, pembentukan Pansus RUU PPILN merupakan salah satu komitmen terhadap upaya memberikan perlindungan sepenuhnya terhadap TKI.

Hal itu dilakukan, agar TKI sebagai tenaga kerja, dilindungi hak-haknya keberadaan mereka. Karena seringkali TKI hanya menjadi sapi perah para oknum atau lembaga yang terlibat dalam proses penempatan TKI.

Sementara, menurut Divisi Program Advokasi Migrant Institute Ali Yasin mengatakan, sangat ironis lemahnya perlindungan terhadap TKI, padahal sudah melecehkan harga diri bangsa Indonesia. Karena itu, moratorium perlu dilakukan untuk mengatur tata kelola TKI di Malaysia.

Dia menyayangkan dengan sikap pemerintah Indonesia yang membuka moratorium pada September 2011 lalu. Padahal, kondisi tata kelola masih banyak masalah.

Pemerintah hanya melakukan pertimbangan permintaan tenaga kerja yang banyak di Malaysia dan terpenuhi tuntutan gaji para TKI. Namun di sektor lain seperti keamanan dan perlindungan TKI masih belum tercapai.

"Moratorium perlu diberlakukan lagi dan pemerintah harus menata tata kelola TKI. Termasuk di sektor Informal yang masih banyak kendala. Rata-rata TKI yang bekerja di sektor ini yang menuai banyak masalah. Sebab yang menerima order adalah langsung dari perusahaan jasa penyedia TKI. Kalau sektor formal, job order-nya yang menerima adalah pemerintah," paparnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3333 seconds (0.1#10.140)