Investasi ala feminitas
A
A
A
Dibanding laki-laki, perempuan cenderung lebih hati-hati dalam berinvestasi. Fenomena ini oleh sebagian pelaku bisnis kadang dinilai negatif, namun sisi positif feminitas ini juga sangat besar dalam dunia bisnis.
Saat ini perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berinvestasi di samping laki-laki. Namun, keduanya tetap mempunyai perbedaan.
Menurut Harsya Prasetyo, Senior Vice President–Retail Investment & Consumer Treasury Head Citi Indonesia, perempuan cenderung memilih investasi yang tidak berisiko. Sebaliknya, laki-laki cenderung berani mengambil risiko dan mereka secara umum lebih agresif.
“Tidak heran jika sejumlah perempuan kemudian memilih berinvestasi yang memberikan keuntungan tetap setiap bulan,” kata Harsya.
Sikap perempuan yang cenderung hati-hati ini sebenarnya menyimpan potensi yang sangat besar. Bahkan menurut Ted Schwartz, President dan Chief Investment Officer Capstone Investment Financial Group, sebagaimana dilansir dari abcnews.go.com emosi perempuan membuat banyak keputusan perempuan lebih baik daripada laki-laki.
Mengutip penelitian Managing Partner Market Psych Richard L Peterson, Schwartz menyatakan melalui studi terhadap ribuan investor, perempuan lebih mengedepankan perasaan mereka serta lebih mampu mengontrol emosi yang mungkin membebani saat mengambil keputusan berinvestasi.
Meski begitu, apa yang dilakukan lebih kepada sikap untuk menghindari kesalahan. “Kabar baik bagi kaum Hawa adalah bahwa mereka dapat mengurangi kesalahan dengan memaksimalkan feminitas mereka,” tulis Schwartz sebagaimana pernah dimuat abcnews.go.com pada akhir tahun lalu.
Temuan Peterson menunjukkan, emosi memiliki tempat penting dalam mengambil keputusan investasi. Penelitian Peterson didasarkan pada scan otak subjek yang menunjukkan perubahan emosional dalam bentuk warna yang merupakan kode gambar.
Scan ini menunjukkan lonjakan dalam ketakutan atau keserakahan yang ditandai dengan peningkatan kadar oksigen darah dan berasal dari ketidakpastian yang meningkat atau informasi baru selama skenario simulasi investasi.
Menurut Peterson, emosi adalah pusat untuk semua keputusan keuangan. Dia telah membandingkan scan investor sukses.
“Kesalahan terjadi ketika ada terlalu banyak emosi, ini menyebabkan investor bereaksi berlebihan terhadap informasi baru dengan membeli atau menjual (saham) ketika mereka tidak seharusnya melakukan itu. Kita melihat ini dalam pencitraan otak, tapi kita juga melihat bahwa kesalahan terjadi ketika tidak ada emosi yang cukup,” tulis Peterson tentang penelitiannya yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah.
Menurut Peterson, investor sering tidak menyadari emosi telah mengemudikan keputusan mereka. Jika seseorang mencoba untuk benar-benar objektif dengan menghalangi keikutsertaan emosi, maka dia tidak akan mengenali perasaannya.
Akibatnya, dia tidak mampu meredam dampak emosi pada keputusan yang diambil. Minimal dia benar-benar menggunakannya untuk membuat keputusan yang lebih baik.
Sehingga, menurut Peterson, seseorang harus mengenali emosi yang dirasakan. Caranya adalah dengan memahami apa yang dirasakan sehingga mengatasi atau mengurangi kecenderungan yang didorong emosi dalam pengambilan keputusan. Tetapi jika menyangkal keberadaan emosi, maka emosi itu akan datang kembali untuk menghantui.
Sementara kaum pria, Peterson menemukan bahwa emosi mereka menjadi bumerang. “Pria menjadi sebuah karakter yang lebih sombong dan terlalu percaya diri, cenderung mengambil risiko terlalu banyak, dan tidak jarang mereka over-trade,” kata Peterson yang juga seorang penasihat keuangan.
Menurut Peterson, laki-laki cenderung ingin menciptakan uang dengan cepat dengan menjual saham dengan cepat pula. Sehingga, di kemudian hari diketahui bahwa keputusan mereka salah, namun pria sulit mengakui kesalahan tersebut. Peterson dalam sejumlah penelitiannya menemukan fakta bahwa aset pria cenderung mengalami penurunan lebih besar dibanding perempuan.
Sementara, perempuan cenderung mengambil risiko yang lebih sedikit dibanding laki-laki, yang bisa berarti kerugian yang mereka alami jauh lebih kecil.
Menurut Peterson, perempuan benar-benar dapat menggunakan perasaan mereka secara efektif dalam keputusan investasi. Karena, perempuan lebih sadar akan impuls yang dipicu emosi keserakahan. Mereka lebih cenderung menahan dorongan untuk bereaksi berlebihan dalam perdagangan.
Di samping itu mereka tidak mudah untuk cepat menjual. Lagi-lagi hal ini lebih disebabkan perasaan mereka. Tetapi, perempuan cenderung menyerah pada tekanan internal untuk menjual selama ada kepanikan pasar.
Menurut Peterson, kecenderungan perempuan yang lebih emosional bukanlah soal misteri, namun ilmu biologi. Perempuan memiliki tingkat oxytocin, hormon yang berhubungan dengan empati yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Mereka juga memiliki corpus callosum–pita dari serat putih yang menghubungkan dua bagian dari otak–lebih tebal daripada pria. Hal ini dapat membuat wanita lebih sadar diri dan dapat membekali mereka untuk lebih baik berhati-hati dalam berbagai hal termasuk keputusan berinvestasi.
Saat ini perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam berinvestasi di samping laki-laki. Namun, keduanya tetap mempunyai perbedaan.
Menurut Harsya Prasetyo, Senior Vice President–Retail Investment & Consumer Treasury Head Citi Indonesia, perempuan cenderung memilih investasi yang tidak berisiko. Sebaliknya, laki-laki cenderung berani mengambil risiko dan mereka secara umum lebih agresif.
“Tidak heran jika sejumlah perempuan kemudian memilih berinvestasi yang memberikan keuntungan tetap setiap bulan,” kata Harsya.
Sikap perempuan yang cenderung hati-hati ini sebenarnya menyimpan potensi yang sangat besar. Bahkan menurut Ted Schwartz, President dan Chief Investment Officer Capstone Investment Financial Group, sebagaimana dilansir dari abcnews.go.com emosi perempuan membuat banyak keputusan perempuan lebih baik daripada laki-laki.
Mengutip penelitian Managing Partner Market Psych Richard L Peterson, Schwartz menyatakan melalui studi terhadap ribuan investor, perempuan lebih mengedepankan perasaan mereka serta lebih mampu mengontrol emosi yang mungkin membebani saat mengambil keputusan berinvestasi.
Meski begitu, apa yang dilakukan lebih kepada sikap untuk menghindari kesalahan. “Kabar baik bagi kaum Hawa adalah bahwa mereka dapat mengurangi kesalahan dengan memaksimalkan feminitas mereka,” tulis Schwartz sebagaimana pernah dimuat abcnews.go.com pada akhir tahun lalu.
Temuan Peterson menunjukkan, emosi memiliki tempat penting dalam mengambil keputusan investasi. Penelitian Peterson didasarkan pada scan otak subjek yang menunjukkan perubahan emosional dalam bentuk warna yang merupakan kode gambar.
Scan ini menunjukkan lonjakan dalam ketakutan atau keserakahan yang ditandai dengan peningkatan kadar oksigen darah dan berasal dari ketidakpastian yang meningkat atau informasi baru selama skenario simulasi investasi.
Menurut Peterson, emosi adalah pusat untuk semua keputusan keuangan. Dia telah membandingkan scan investor sukses.
“Kesalahan terjadi ketika ada terlalu banyak emosi, ini menyebabkan investor bereaksi berlebihan terhadap informasi baru dengan membeli atau menjual (saham) ketika mereka tidak seharusnya melakukan itu. Kita melihat ini dalam pencitraan otak, tapi kita juga melihat bahwa kesalahan terjadi ketika tidak ada emosi yang cukup,” tulis Peterson tentang penelitiannya yang telah diterbitkan di jurnal ilmiah.
Menurut Peterson, investor sering tidak menyadari emosi telah mengemudikan keputusan mereka. Jika seseorang mencoba untuk benar-benar objektif dengan menghalangi keikutsertaan emosi, maka dia tidak akan mengenali perasaannya.
Akibatnya, dia tidak mampu meredam dampak emosi pada keputusan yang diambil. Minimal dia benar-benar menggunakannya untuk membuat keputusan yang lebih baik.
Sehingga, menurut Peterson, seseorang harus mengenali emosi yang dirasakan. Caranya adalah dengan memahami apa yang dirasakan sehingga mengatasi atau mengurangi kecenderungan yang didorong emosi dalam pengambilan keputusan. Tetapi jika menyangkal keberadaan emosi, maka emosi itu akan datang kembali untuk menghantui.
Sementara kaum pria, Peterson menemukan bahwa emosi mereka menjadi bumerang. “Pria menjadi sebuah karakter yang lebih sombong dan terlalu percaya diri, cenderung mengambil risiko terlalu banyak, dan tidak jarang mereka over-trade,” kata Peterson yang juga seorang penasihat keuangan.
Menurut Peterson, laki-laki cenderung ingin menciptakan uang dengan cepat dengan menjual saham dengan cepat pula. Sehingga, di kemudian hari diketahui bahwa keputusan mereka salah, namun pria sulit mengakui kesalahan tersebut. Peterson dalam sejumlah penelitiannya menemukan fakta bahwa aset pria cenderung mengalami penurunan lebih besar dibanding perempuan.
Sementara, perempuan cenderung mengambil risiko yang lebih sedikit dibanding laki-laki, yang bisa berarti kerugian yang mereka alami jauh lebih kecil.
Menurut Peterson, perempuan benar-benar dapat menggunakan perasaan mereka secara efektif dalam keputusan investasi. Karena, perempuan lebih sadar akan impuls yang dipicu emosi keserakahan. Mereka lebih cenderung menahan dorongan untuk bereaksi berlebihan dalam perdagangan.
Di samping itu mereka tidak mudah untuk cepat menjual. Lagi-lagi hal ini lebih disebabkan perasaan mereka. Tetapi, perempuan cenderung menyerah pada tekanan internal untuk menjual selama ada kepanikan pasar.
Menurut Peterson, kecenderungan perempuan yang lebih emosional bukanlah soal misteri, namun ilmu biologi. Perempuan memiliki tingkat oxytocin, hormon yang berhubungan dengan empati yang lebih tinggi dibanding laki-laki.
Mereka juga memiliki corpus callosum–pita dari serat putih yang menghubungkan dua bagian dari otak–lebih tebal daripada pria. Hal ini dapat membuat wanita lebih sadar diri dan dapat membekali mereka untuk lebih baik berhati-hati dalam berbagai hal termasuk keputusan berinvestasi.
(kur)