Kasus tender e-KTP harus diputus obyektif
Kamis, 04 Oktober 2012 - 01:16 WIB

Kasus tender e-KTP harus diputus obyektif
A
A
A
Sindonews.com - Kasus dugaan persekongkolan tender KTP elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masih disidangkan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) pun meminta agar majelis hakim KPPU dapat memberikan keputusan yang adil, benar, dan obyektif terkait kasus itu.
Menurut Kuasa Hukum PNRI Jimmy Simanjuntak, jika tidak dilakukan secara adil, maka PNRI akan siap melakukan upaya hukum lanjutan, baik mengajukan banding maupun memeroses secara pidana.
"Tolong, majelis komisi yang akan memutuskan perkara ini, putuslah secara obyektif, jangan ada pengaruh dari pihak manapun," ujar Jimmy Simanjuntak dalam keterangan persnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/10/2012).
Menurut Jimmy, dari seluruh proses persidangan yang telah berlangsung di KPPU selama ini, pihak investigator secara jelas telah gagal dan tidak dapat membuktikan dugaan persekongkolan dalam tender e-KTP seperti yang dilaporkan.
Pihak investigator juga telah gagal menghadirkan saksi-saksi penting yang bisa memperjelas persoalan dugaan persekongkolan tersebut.
Dalam persidangan itu, lanjut Jimmy, berbagai keterangan dan dokumen palsu diajukan oleh investigator. Selama ini pihak investigator menjadikan bukti dokumen berupa email-email yang tak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran isinya dan telah dibantah sendiri oleh pihak pelapor, dalam hal ini konsorsium Lintas Peruri sebagai pihak yang kalah dalam tender di Kemendagri beberapa waktu lalu.
"Kalau keterangan dan dokumen palsu dari pihak investigator itu turut dijadikan pertimbangan oleh majelis komisi dalam menghukum terlapor, maka kami akan siap melakukan banding sekaligus melaporkan kasus keterangan palsu dan dokumen palsu ini kepada pihak kepolisian," katanya.
Dugaan persekongkolan tender e-KTP sendiri, tambah Jimmy, bermula dari adanya laporan ke KPPU yang menduga adanya persekongkolan antara panitia lelang selaku terlapor I, konsorsium PNRI selaku terlapor II, dan konsorsium astagraphia selaku terlapor III.
Pihak terlapor diduga telah melanggar Pasal 22 UU Nomo 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, hingga usai persidangan beberapa waktu lalu, dugaan persekongkolan ini sama sekali tidak bisa dibuktikan oleh pihak investigator, maupun KPPU.
Awal Oktober lalu, pihak konsorsium PNRI sendiri telah memberikan dokumen kesimpulan perkara terhadap seluruh proses persidangan kepada majelis komisi sebagai bahan pertimbangan.
"Kemarin tanggal 1 Oktober semua pihak terkait sudah memasukkan kesimpula perkara, kami juga belum tahu kapan kasus ini akan diputuskan oleh majelis, tapi berdasarkan ketentuan UU diperkirakan paling lambat 31 Oktober harus sudah ada putusan atas kasus ini," tandasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum terlapor I dari Dukcapil Kemendagri Soedoro Soertinggo mengatakan, belum dapat mengambil keputusan apakah pihaknya akan melakukan keberatan atas dugaan tersebut. Pihaknya memunggu keputusan majelis komisi setelah 30 hari kasus itu di putuskan.
"Namun, pihak terlapor bisa ajukan keberatan ke pengadilan negeri selama 14 hari," ujarnya.
Menurut dia, dugaan persengkongkolan tersebut, tidak jelas. Sebab, pihak pelapor yakni lintas peruri sejak dibentuk konsorsium pemenangan tender e-KTP, lintas peruri sudah bubar sehingga kasus ini pelaporannya secara resmi tidak ada. Namun, disatu sisi pihak majelis komisi sampai saat ini merahasiakan pihak pelapor yang resmi. "Intinya belum bisa dikatakan pihak terlapor bersalah," katanya.
Dia menambahkan, konsorsium KPPU seharusnya selektif dalam melakukan inverstigasi dugaan kasus ini dan jangan memaksakan apabila tidak menemukan dua alat bukti. Sebab, dari pihak tergugat dapat menjawab semua dugaan yang diajukan oleh Lintas Peruri baik dari sisi administrasi maupun tehnis. "Secara yuridis, kasus ini tidak dapat dibuktikan. Namun dari sisi non yuridis yang patut di pertanyakan," imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi membantah adanya penyelewengan dana anggaraan untuk program e-KTP tahap pertama pada tahun 2011. Dirinya menjamin negara tidak dirugikan dalam proyek senilai Rp5,9 triliun itu. "Tidak ada kerugian negara satu sen pun dalam proyek ini," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengatakan, pihaknya menemukan adanya permasalahan dalam pengadaan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan tahun 2011. Program tersebut belum efektif, pelaksanaan pengadaan e-KTP belum sepenuhnya mematuhi Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
"BPK menemukan permasalahan ketidakefektifan sebanyak 16 kasus senilai Rp6,03 miliar, ketidakhematan sebanyak 3 kasus senilai Rp 605,84 juta," ujarnya.
Menurut Hadi, pihaknya juga menemukan lima kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan indikasi kerugian negara senilai Rp 36,41 miliar dan potensi kerugian negara sebanyak tiga kasus senilai Rp 28,90 miliar.
Permaslahan disebabkan konsorsium perusahaan kontraktor e-KTP tidak dapat mematuhi jumlah pencapaian e-KTP tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak.
Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) pun meminta agar majelis hakim KPPU dapat memberikan keputusan yang adil, benar, dan obyektif terkait kasus itu.
Menurut Kuasa Hukum PNRI Jimmy Simanjuntak, jika tidak dilakukan secara adil, maka PNRI akan siap melakukan upaya hukum lanjutan, baik mengajukan banding maupun memeroses secara pidana.
"Tolong, majelis komisi yang akan memutuskan perkara ini, putuslah secara obyektif, jangan ada pengaruh dari pihak manapun," ujar Jimmy Simanjuntak dalam keterangan persnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (3/10/2012).
Menurut Jimmy, dari seluruh proses persidangan yang telah berlangsung di KPPU selama ini, pihak investigator secara jelas telah gagal dan tidak dapat membuktikan dugaan persekongkolan dalam tender e-KTP seperti yang dilaporkan.
Pihak investigator juga telah gagal menghadirkan saksi-saksi penting yang bisa memperjelas persoalan dugaan persekongkolan tersebut.
Dalam persidangan itu, lanjut Jimmy, berbagai keterangan dan dokumen palsu diajukan oleh investigator. Selama ini pihak investigator menjadikan bukti dokumen berupa email-email yang tak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran isinya dan telah dibantah sendiri oleh pihak pelapor, dalam hal ini konsorsium Lintas Peruri sebagai pihak yang kalah dalam tender di Kemendagri beberapa waktu lalu.
"Kalau keterangan dan dokumen palsu dari pihak investigator itu turut dijadikan pertimbangan oleh majelis komisi dalam menghukum terlapor, maka kami akan siap melakukan banding sekaligus melaporkan kasus keterangan palsu dan dokumen palsu ini kepada pihak kepolisian," katanya.
Dugaan persekongkolan tender e-KTP sendiri, tambah Jimmy, bermula dari adanya laporan ke KPPU yang menduga adanya persekongkolan antara panitia lelang selaku terlapor I, konsorsium PNRI selaku terlapor II, dan konsorsium astagraphia selaku terlapor III.
Pihak terlapor diduga telah melanggar Pasal 22 UU Nomo 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, hingga usai persidangan beberapa waktu lalu, dugaan persekongkolan ini sama sekali tidak bisa dibuktikan oleh pihak investigator, maupun KPPU.
Awal Oktober lalu, pihak konsorsium PNRI sendiri telah memberikan dokumen kesimpulan perkara terhadap seluruh proses persidangan kepada majelis komisi sebagai bahan pertimbangan.
"Kemarin tanggal 1 Oktober semua pihak terkait sudah memasukkan kesimpula perkara, kami juga belum tahu kapan kasus ini akan diputuskan oleh majelis, tapi berdasarkan ketentuan UU diperkirakan paling lambat 31 Oktober harus sudah ada putusan atas kasus ini," tandasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum terlapor I dari Dukcapil Kemendagri Soedoro Soertinggo mengatakan, belum dapat mengambil keputusan apakah pihaknya akan melakukan keberatan atas dugaan tersebut. Pihaknya memunggu keputusan majelis komisi setelah 30 hari kasus itu di putuskan.
"Namun, pihak terlapor bisa ajukan keberatan ke pengadilan negeri selama 14 hari," ujarnya.
Menurut dia, dugaan persengkongkolan tersebut, tidak jelas. Sebab, pihak pelapor yakni lintas peruri sejak dibentuk konsorsium pemenangan tender e-KTP, lintas peruri sudah bubar sehingga kasus ini pelaporannya secara resmi tidak ada. Namun, disatu sisi pihak majelis komisi sampai saat ini merahasiakan pihak pelapor yang resmi. "Intinya belum bisa dikatakan pihak terlapor bersalah," katanya.
Dia menambahkan, konsorsium KPPU seharusnya selektif dalam melakukan inverstigasi dugaan kasus ini dan jangan memaksakan apabila tidak menemukan dua alat bukti. Sebab, dari pihak tergugat dapat menjawab semua dugaan yang diajukan oleh Lintas Peruri baik dari sisi administrasi maupun tehnis. "Secara yuridis, kasus ini tidak dapat dibuktikan. Namun dari sisi non yuridis yang patut di pertanyakan," imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi membantah adanya penyelewengan dana anggaraan untuk program e-KTP tahap pertama pada tahun 2011. Dirinya menjamin negara tidak dirugikan dalam proyek senilai Rp5,9 triliun itu. "Tidak ada kerugian negara satu sen pun dalam proyek ini," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengatakan, pihaknya menemukan adanya permasalahan dalam pengadaan e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan tahun 2011. Program tersebut belum efektif, pelaksanaan pengadaan e-KTP belum sepenuhnya mematuhi Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010.
"BPK menemukan permasalahan ketidakefektifan sebanyak 16 kasus senilai Rp6,03 miliar, ketidakhematan sebanyak 3 kasus senilai Rp 605,84 juta," ujarnya.
Menurut Hadi, pihaknya juga menemukan lima kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan indikasi kerugian negara senilai Rp 36,41 miliar dan potensi kerugian negara sebanyak tiga kasus senilai Rp 28,90 miliar.
Permaslahan disebabkan konsorsium perusahaan kontraktor e-KTP tidak dapat mematuhi jumlah pencapaian e-KTP tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak.
(lns)