RUU Pemda dinilai cederai Otda

Rabu, 30 Mei 2012 - 08:23 WIB
RUU Pemda dinilai cederai Otda
RUU Pemda dinilai cederai Otda
A A A
Sindonews.com – Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menilai Rancangan Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda) mencederai pelaksanaan otonomi daerah (otda).Padahal, otda telah menjadi cita-cita reformasi.

Anggota Wantimpres Bidang Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengatakan akan menentang keras adanya upaya resentralisasi tersebut.Menurut dia,upaya ini sama saja menciderai hakikat pelaksanaan Otda. Dia melihat pemerintah pusat berupaya memangkas kewenangan pemda dalam mengurus daerahnya sendiri. “Semua bentuk resentralisasi harus dilawan.Kewenangan sudah diserahkan,bagaimana mau diambil kembali. Desentralisasi adalah pemindahan kewenangan.

Tujuannya menciptakan iklim kondusif dan kompetitif untuk memajukan daerah dan mengejar ketertinggalan mereka,” tukas dia saat diwawancarai di Jakarta kemarin. Melihat kondisi ini, Ryaas mengungkapkan bahwa otonomi daerah harus diperjuangkan lagi.Dia mengemukakan,pada hakikatnya otonomi daerah merupakan anak kandung dari reformasi, di mana pemerintah pusat rela membagi kekuasaannya dengan pemerintah daerah.

Sebagaimana diketahui,anggota Panitia Khusus (Pansus) DPR RUU Pemda Nurul Arifin mengatakan,membaca naskah RUU Pemda terlihat dengan jelas ada kecenderungan sentralisasi kekuasaan yang menguat. Menurut dia,pemerintah pusat terlihat ingin mengontrol terlalu banyak persoalan di daerah.” Inimenjadicirikhasdaripola kerja rezim otoriter.Dalam Pasal 41–45 RUU Pemda diatur wakil gubernur dari pegawai negeri sipil (PNS) eselon IB dan setingkatgolonganIIAuntukwakil bupati/wali kota merupakan formula untuk meneguhkan sentralis mekekuasaanitu,” katadia.

Sementara untuk wakil bupati/ wali kota,dia mengungkapkan nantinya akan diangkat oleh menteri yang membawahi pemerintah daerah. Nurul menyampaikan, pengangkatan wakil gubernur dan wakil bupati/ wali kota secara langsung jelas- jelas menyalahi logika demokrasi. Jika gubernur mengalami krisis legitimasi dan harus dilengserkan di tengah jalan, wakil gubernur yang akan mengganti posisi gubernur.

”Dengan demikian, berarti gubernur pengganti adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Bagi saya, inilah yang disebut dengan despotisme lunak.” ”Aturan ini seolah-olah dibuat demokratis,padahal sifatnya otoriter dan sentralistik,” tegasnya. Di sisi lain, Nurul menjelaskan PNS itu tunduk pada mekanisme hukum hierarkis dalam birokrasi pemerintahan. Karena itu, sepertinya pemerintah melihat upaya ini dilakukan agar cara mengontrolnya lebih mudah.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Ardian mengemukakan, jika semua draf RUU Pemda disetujui dan disahkan DPR,hal ini dikhawatirkan dapat digunakan sebagai alat untuk melumpuhkan kebijakan ideologis yang tidak disukai pemerintah pusat. Imbasnya, itu akan menjadi alat tekanan politik kepada kepala daerah. Donny mengungkapkan, dalam RUU Pemda juga terbuka peluang pemecatan terhadap kepala daerah yang tidak patuh terhadap pemerintah pusat.Menurut dia, hal itu berpotensi terjadinya kebijakan yang otoriter.

Dia menjelaskan, otoritarianisme dapat terjadi akibat kurang terperincinya syarat-syarat pemecatan. “Disebutkan bahwa kepala daerah dapat dikenakan sanksi apabila tidak menjalankan program strategis nasional, seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja, atau pertumbuhan ekonomi. Ini semakin mengebiri otonomi daerah,”paparnya.

Sementara itu,anggota Pansus RUU Pemda Arif Wibowo memaparkan, melalui RUU Pemda, pemerintah terkesan menginginkan hak menentukan secara sepihak proses pemekaran daerah. Namun, hal itu dipastikan tidak akan luput dari pantauan DPR. Menurut dia, semua pembentukan undang-undang harus dilakukan pemerintah bersama- sama dengan DPR.(wbs)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4681 seconds (0.1#10.140)