Pemerintah didesak bentuk Komite Ad Hoc Agraria
A
A
A
Sindonews.com - Sekretariat Bersama (Sekber) Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia mendesak pemerintah segera membentuk Komite Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria yang muncul belakangan ini.
Tujuan pembentukan komite itu dalam konteks pelaksanaan reforma agraria. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, sengketa lahan yang terjadi di Desa Sei Sodong, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), Kabupaten Mesuji, Lampung, dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dapat diselesaikan oleh Komite Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria.
Pasalnya, hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji tidak menyentuh persoalan sebenarnya yakni, konflik agraria.
Henry menjelaskan, nantinya Komite Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria dapat membekukan izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, mengembalikan hak-hak rakyat atas kepemilikan tanah, dan merekomendasikan pelaksanaan reforma agraria.
"Bahkan, bisa merekomendasikan kesalahan-kesalahan aparat dalam penanganan konflik agraria, karena kerap merenggut nyawa," kata Hendry di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Rabu (18/1/2012).
Aktivis petani itu mengkritik temuan TGPF Mesuji yang dinilainya masih dangkal. Sebab, dari beberapa rekomendasinya tak menyentuh mengenai izin terhadap perusahaan.
Menurutnya, persoalan Mesuji dan OKI meliputi tiga hal. Pertama, penerbitan HGU di atas tanah-tanah masyarakat. Kedua, penerima plasma perkebunan bukan yang berhak. Ketiga, adanya wanprestasi (ingkar janji) atas perjanjian kemitraan antara masyarakat Sungai Sodong dengan perusahaan, di mana hak-hak mereka tidak dipenuhi sejak 1995.
Mengenai konflik tanah di Register 45, Mesuji, Lampung, kata Henry, rekomendasi TGPF justru menjauhkan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam memenuhi hak-hak penghidupan dengan mengalihkan isu spekulan tanah.
Padahal, istilah penduduk asli dan nonasli, tidak dikenal dalam UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. "Kami memandang, keseluruhan rekomendasi TGPF tidak menyentuh sama sekali soal-soal pelanggaran perusahaan dalam memperoleh HGU Perkebunan dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI)," tukas dia.
Tujuan pembentukan komite itu dalam konteks pelaksanaan reforma agraria. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, sengketa lahan yang terjadi di Desa Sei Sodong, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), Kabupaten Mesuji, Lampung, dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dapat diselesaikan oleh Komite Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria.
Pasalnya, hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji tidak menyentuh persoalan sebenarnya yakni, konflik agraria.
Henry menjelaskan, nantinya Komite Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria dapat membekukan izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, mengembalikan hak-hak rakyat atas kepemilikan tanah, dan merekomendasikan pelaksanaan reforma agraria.
"Bahkan, bisa merekomendasikan kesalahan-kesalahan aparat dalam penanganan konflik agraria, karena kerap merenggut nyawa," kata Hendry di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Rabu (18/1/2012).
Aktivis petani itu mengkritik temuan TGPF Mesuji yang dinilainya masih dangkal. Sebab, dari beberapa rekomendasinya tak menyentuh mengenai izin terhadap perusahaan.
Menurutnya, persoalan Mesuji dan OKI meliputi tiga hal. Pertama, penerbitan HGU di atas tanah-tanah masyarakat. Kedua, penerima plasma perkebunan bukan yang berhak. Ketiga, adanya wanprestasi (ingkar janji) atas perjanjian kemitraan antara masyarakat Sungai Sodong dengan perusahaan, di mana hak-hak mereka tidak dipenuhi sejak 1995.
Mengenai konflik tanah di Register 45, Mesuji, Lampung, kata Henry, rekomendasi TGPF justru menjauhkan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam memenuhi hak-hak penghidupan dengan mengalihkan isu spekulan tanah.
Padahal, istilah penduduk asli dan nonasli, tidak dikenal dalam UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. "Kami memandang, keseluruhan rekomendasi TGPF tidak menyentuh sama sekali soal-soal pelanggaran perusahaan dalam memperoleh HGU Perkebunan dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI)," tukas dia.
()