Pengamat Nilai Komunikasi di Lingkaran Istana Presiden Buruk
A
A
A
JAKARTA - Komunikasi publik di lingkaran Istana dan kabinet mengenai penanganan pandemi COVID-19 kerap menuai kontroversi dan terkesan tak satu suara. Sepekan terakhir, masyarakat disuguhi aksi saling ralat antar pembantu-pembantu presiden. (Baca juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan)
“Tentu ironis di tengah wabah virus Corona yang mencemaskan justru di lingkaran Istana tidak solid dan satu pintu. Saling ralat antar elemen dalam Istana, jubir beda dan menteri beda. Ini menimbulkan kepanikan di masyarakat,” ujar pengamat politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno saat dihubungi SINDOnews.com, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Presiden Jokowi Tegaskan Tak Ada Pembebasan Napi Koruptor)
Panik itu, menurutnya, karena masyarakat melihat nyaris tidak ada skenario yang betul-betul bulat disetujui. Beberapa polemik kebijakan yang diumbar ke publik, antara lain, surat edaran dari Badan Pengatur Transportasi Jabotabek (BPTJ) yang mengimbau penghentian operasional transportasi umum. Selang beberapa jam, kebijakan itu diralat oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves).
“Surat tersebut bertujuan memberikan rekomendasi kepada daerah apabila sudah dikategorikan sebagai daerah yang diperkenankan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dapat melakukan pembatasan penggunaan transportasi,” kata Jubir Kemenko Marves Jodi Mahardika, Rabu pekan lalu.
Polemik lain dibuat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewacanakan pembebasan narapidana kasus korupsi. Pernyataan itu diralat oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Presiden Joko Widodo. “Saya ingin menyampaikan bahwa (pembebasan) napi koruptor tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat kita,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.
Adi menilai aksi saling ralat itu terjadi karena miskomunikasi dan koordinasi sehingga bunyi pernyataan yang keluar ke public berbeda-beda. Dia mendorong Jokowi untuk menertibkan pembantu-pembantunya yang sering offside, memberikan pernyataan kontroversial, dan overlapping.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu menyarankan agar menteri-menteri itu berbicara sesuai tupoksinya. Juga fokus terhadap penanganan pandemi COVID-19 ini. Namun, sampai saat ini masih ada yang bahas pembebasan narapidana kasus korupsi dan di Senayan bicara mengenai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.“Ini Corona seakan dianggap main-main. Jadi mestinya sampai tiga bulan ke depan, fokus darurat Corona. Setop pembicaraan politik apapun. Ini folus bicara penanggulangan Corona,” katanya.
“Tentu ironis di tengah wabah virus Corona yang mencemaskan justru di lingkaran Istana tidak solid dan satu pintu. Saling ralat antar elemen dalam Istana, jubir beda dan menteri beda. Ini menimbulkan kepanikan di masyarakat,” ujar pengamat politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno saat dihubungi SINDOnews.com, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Presiden Jokowi Tegaskan Tak Ada Pembebasan Napi Koruptor)
Panik itu, menurutnya, karena masyarakat melihat nyaris tidak ada skenario yang betul-betul bulat disetujui. Beberapa polemik kebijakan yang diumbar ke publik, antara lain, surat edaran dari Badan Pengatur Transportasi Jabotabek (BPTJ) yang mengimbau penghentian operasional transportasi umum. Selang beberapa jam, kebijakan itu diralat oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Marves).
“Surat tersebut bertujuan memberikan rekomendasi kepada daerah apabila sudah dikategorikan sebagai daerah yang diperkenankan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dapat melakukan pembatasan penggunaan transportasi,” kata Jubir Kemenko Marves Jodi Mahardika, Rabu pekan lalu.
Polemik lain dibuat Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewacanakan pembebasan narapidana kasus korupsi. Pernyataan itu diralat oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Presiden Joko Widodo. “Saya ingin menyampaikan bahwa (pembebasan) napi koruptor tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat kita,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.
Adi menilai aksi saling ralat itu terjadi karena miskomunikasi dan koordinasi sehingga bunyi pernyataan yang keluar ke public berbeda-beda. Dia mendorong Jokowi untuk menertibkan pembantu-pembantunya yang sering offside, memberikan pernyataan kontroversial, dan overlapping.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu menyarankan agar menteri-menteri itu berbicara sesuai tupoksinya. Juga fokus terhadap penanganan pandemi COVID-19 ini. Namun, sampai saat ini masih ada yang bahas pembebasan narapidana kasus korupsi dan di Senayan bicara mengenai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.“Ini Corona seakan dianggap main-main. Jadi mestinya sampai tiga bulan ke depan, fokus darurat Corona. Setop pembicaraan politik apapun. Ini folus bicara penanggulangan Corona,” katanya.
(cip)