Terapkan PSBB, Kemenkes Sebut Lebih Efektif dari Karantina
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah perluasan wabah corona (Covid-19) bisa segera diterapkan di wilayah-wilayah tertentu. Meskipun mengatur ketat aktivitas warga di suatu wilayah, konsep PSBB berbeda dengan karantina wilayah.
Dalam konsep karantina wilayah warga tidak boleh beraktivitas sama sekali di luar rumah, sedangkan PSBB masih memungkinkan warga di suatu wilayah untuk melakukan kegiatan sehari-hari di luar dengan pembatasan kegiatan tertentu.
"Dalam karantina, penduduk di suatu wilayah tertentu, di kawasan RT/RW, kelurahan, kabupaten/kota, dan di rumah sakit, itu tidak boleh keluar. Itu yang bedakan dengan PSBB ini," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi saat jumpa pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, kemarin.
Oscar menjelaskan, dalam PSBB warga di wilayah merah penyebaran wabah Covid-19 tetap bisa menjalankan kegiatan sehari-hari secara terbatas. Keterbatasan ini karena dalam PSBB ada kegiatan dan fasilitas tertentu yang dibatasi oleh pemerintah. “Jadi masyarakat masih bisa melaksanakan kegiatan sehari-hari. Namun, kegiatan tertentu dibatasi, meliputi peliburan sekolah dan kerja, kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di fasilitas umum, kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020 tentang Pedoman PSBB. Dalam aturan tersebut ditentukan kriteria wilayah yang bisa menerapkan PSBB, mekanisme permohonan PSBB, bentuk PSBB, hingga pengecualiannya. “Terkait kriteria wilayah yang dapat menerapkan PSBB, misalnya hanya wilayah yang memiliki kasus positif Covid-19 tinggi dan kematian yang tinggi. Selain itu, kecepatan penyebaran virus juga luar biasa,” kata Oscar.
Penetapan PSBB di suatu wilayah, akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan gubernur, bupati, atau wali kota. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga dapat mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu. Permohonan PSBB pada Menteri Kesehatan tentu harus disertai data dan didukung dengan bukti epidemiologis. (Baca: Politikus PAn Nilai Pembatasan Sosial Tak Cukup Hentikan Penyebaran Corona) “Berupa peningkatan jumlah kasus menurut waktu, sebaran kasus menurut waktu, kejadian transmisi lokal dan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan terhadap kebutuhan hidup, serta sarana dan prasarana kesehatan, anggaran, dan operasionalisasi jaring pengaman sosial dan aspek keamanan,” paparnya.
Oscar mengatakan, Menteri Kesehatan bisa menetapkan PSBB untuk wilayah provinsi kabupaten/kota tertentu dalam jangka waktu paling lama dua hari sejak diterimanya permohonan penetapan ini. “Jadi betul-betul kita responsif terhadap usulan ini dan dilaksanakan dengan pertimbangan. Tentu pertimbangan-pertimbangan secara cepat yang dilakukan oleh tim yang dibentuk juga memperhatikan pertimbangan dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ini,” katanya.
Penetapan konsep PSBB ini didasari pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, dan efektivitas dukungan sumber daya. Selain itu, pertimbangan teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. “PSBB dinilai lebih efektif dibandingkan konsep karantina wilayah maupun konsep lain,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi menilai tidak ada yang baru dari Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut Intan, semua hal dalam permenkes tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta saat Presiden Joko Widodo mengumumkan imbauan social distancing dua pekan lalu. “Sebenarnya kalau saya lihat, kita ini sudah menjalankan PSBB sejak dikeluarkannya maklumat Polri, walaupun nantinya tidak ada sanksi. Pembatasan kegiatan keagamaan oleh MUI dan tokoh agama lain, lalu peliburan sekolah oleh Mendikbud, semua sudah melakukan peliburan sekolah, kecuali memang tambahannya poin E dan F, pembatasan transportasi dan kegiatan lain, khususnya terkait pertahanan keamanan,” katanya.
Intan melihat bahwa dalam permenkes diatur moda transportasi yang terbagi atas transportasi penumpang dan barang. Sayangnya, soal mudik masih lebih kepada imbauan lagi. Alhasil, efektivitasnya masih perlu diuji sementara, keberhasilan ini adalah kedisiplinan dan tidak adanya pergerakan manusia dari zona merah ke zona kuning atau hijau, termasuk arus mudik. “Sehingga saya belum tahu, ya kita lihat efektivitasnya. Kalau kita mengacu para ahli-ahli teori epidemiologi, berbagai akademisi, yang paling penting dari penetapan physical distancing itu kan disiplin, lalu tidak ada lagi pergerakan penduduk dari zona merah ke zona kuning atau hijau. Tidak ada lagi arus mudik, ini harus betul-betul lebih disiplin,” desaknya.
Namun, menurut Bendahara DPP PAN ini, tidak ada sesuatu yang baru dalam permenkes tersebut karena sudah diimbau Presiden saat mengumumkan kebijakan social distancing dua pekan lalu, sebelum diubah WHO menjadi physical distancing. “Kita lihat efektivitasnya, apakah ada bedanya. Dan ini sudah diatur dalam UU Nomor 6/2018 Pasal 59 ayat 3, unsurnya sudah terpenuhi termasuk PSBB di Pasal 13,” kata Intan. (Baca juga: Riset: Kepercayaan Masyarakat Rendah terhadap Pemerintah Tangani Corona)
DKI dan Fakfak Sudah Ajukan PSBB
Komisi IX DPR mengaku telah mendapatkan informasi terkait dua daerah yang sudah mengajukan PSBB di daerahnya. Daerah yang sudah mengajukan ke Kemenkes yakni Provinsi DKI Jakarta dan kabupaten Fakfak, Papua Barat. “Yang saya dapat informasi, sudah ada dua daerah yang mengajukan pada Kementerian. Jadi saya dapat informasi itu DKI Jakarta dan Fakfak, Papua Barat,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena kemarin.
Melki menjelaskan, dengan adanya dua usulan tersebut, Kemenkes beserta para ahli, tim yang sudah dibentuk dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa berdiskusi dan mempertimbangkan usulan kedua daerah tersebut berdasarkan persyaratan yang sudah diatur dalam Permenkes. “Nah, itu nanti Kemenkes beserta para ahli dan tim yang sudah dibentuk itu bersama Gugus Tugas pasti akan mempertimbangkan bagaimana usulan yang masuk dari daerah untuk kemudian diputuskan,” ujar politikus Partai Golkar itu. (Baca juga: DPR Minta Pemerintah Punya Data Faktual Covid-19 di Daerah)
Melki melanjutkan, tentu DPR, dalam hal ini Komisi IX, akan mengawasi pelaksanaan dari pada aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Pihaknya akan memastikan bahwa penanganannya berjalan efektif. “Terutama Komisi IX sebagai komisi yang menjadi pengawas untuk urusan penanganan Covid-19, baik itu Kemenkes atau Gugus Tugas, kita akan mencermati supaya betul-betul berjalan dengan baik sehingga penanganan masalah ini bisa betul-betul efektif di lapangan,” jamin Melki. (Binti Mufarida/Kiswondari)
Dalam konsep karantina wilayah warga tidak boleh beraktivitas sama sekali di luar rumah, sedangkan PSBB masih memungkinkan warga di suatu wilayah untuk melakukan kegiatan sehari-hari di luar dengan pembatasan kegiatan tertentu.
"Dalam karantina, penduduk di suatu wilayah tertentu, di kawasan RT/RW, kelurahan, kabupaten/kota, dan di rumah sakit, itu tidak boleh keluar. Itu yang bedakan dengan PSBB ini," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi saat jumpa pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, kemarin.
Oscar menjelaskan, dalam PSBB warga di wilayah merah penyebaran wabah Covid-19 tetap bisa menjalankan kegiatan sehari-hari secara terbatas. Keterbatasan ini karena dalam PSBB ada kegiatan dan fasilitas tertentu yang dibatasi oleh pemerintah. “Jadi masyarakat masih bisa melaksanakan kegiatan sehari-hari. Namun, kegiatan tertentu dibatasi, meliputi peliburan sekolah dan kerja, kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di fasilitas umum, kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020 tentang Pedoman PSBB. Dalam aturan tersebut ditentukan kriteria wilayah yang bisa menerapkan PSBB, mekanisme permohonan PSBB, bentuk PSBB, hingga pengecualiannya. “Terkait kriteria wilayah yang dapat menerapkan PSBB, misalnya hanya wilayah yang memiliki kasus positif Covid-19 tinggi dan kematian yang tinggi. Selain itu, kecepatan penyebaran virus juga luar biasa,” kata Oscar.
Penetapan PSBB di suatu wilayah, akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan gubernur, bupati, atau wali kota. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga dapat mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu. Permohonan PSBB pada Menteri Kesehatan tentu harus disertai data dan didukung dengan bukti epidemiologis. (Baca: Politikus PAn Nilai Pembatasan Sosial Tak Cukup Hentikan Penyebaran Corona) “Berupa peningkatan jumlah kasus menurut waktu, sebaran kasus menurut waktu, kejadian transmisi lokal dan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan terhadap kebutuhan hidup, serta sarana dan prasarana kesehatan, anggaran, dan operasionalisasi jaring pengaman sosial dan aspek keamanan,” paparnya.
Oscar mengatakan, Menteri Kesehatan bisa menetapkan PSBB untuk wilayah provinsi kabupaten/kota tertentu dalam jangka waktu paling lama dua hari sejak diterimanya permohonan penetapan ini. “Jadi betul-betul kita responsif terhadap usulan ini dan dilaksanakan dengan pertimbangan. Tentu pertimbangan-pertimbangan secara cepat yang dilakukan oleh tim yang dibentuk juga memperhatikan pertimbangan dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ini,” katanya.
Penetapan konsep PSBB ini didasari pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, dan efektivitas dukungan sumber daya. Selain itu, pertimbangan teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. “PSBB dinilai lebih efektif dibandingkan konsep karantina wilayah maupun konsep lain,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi menilai tidak ada yang baru dari Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menurut Intan, semua hal dalam permenkes tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan serta saat Presiden Joko Widodo mengumumkan imbauan social distancing dua pekan lalu. “Sebenarnya kalau saya lihat, kita ini sudah menjalankan PSBB sejak dikeluarkannya maklumat Polri, walaupun nantinya tidak ada sanksi. Pembatasan kegiatan keagamaan oleh MUI dan tokoh agama lain, lalu peliburan sekolah oleh Mendikbud, semua sudah melakukan peliburan sekolah, kecuali memang tambahannya poin E dan F, pembatasan transportasi dan kegiatan lain, khususnya terkait pertahanan keamanan,” katanya.
Intan melihat bahwa dalam permenkes diatur moda transportasi yang terbagi atas transportasi penumpang dan barang. Sayangnya, soal mudik masih lebih kepada imbauan lagi. Alhasil, efektivitasnya masih perlu diuji sementara, keberhasilan ini adalah kedisiplinan dan tidak adanya pergerakan manusia dari zona merah ke zona kuning atau hijau, termasuk arus mudik. “Sehingga saya belum tahu, ya kita lihat efektivitasnya. Kalau kita mengacu para ahli-ahli teori epidemiologi, berbagai akademisi, yang paling penting dari penetapan physical distancing itu kan disiplin, lalu tidak ada lagi pergerakan penduduk dari zona merah ke zona kuning atau hijau. Tidak ada lagi arus mudik, ini harus betul-betul lebih disiplin,” desaknya.
Namun, menurut Bendahara DPP PAN ini, tidak ada sesuatu yang baru dalam permenkes tersebut karena sudah diimbau Presiden saat mengumumkan kebijakan social distancing dua pekan lalu, sebelum diubah WHO menjadi physical distancing. “Kita lihat efektivitasnya, apakah ada bedanya. Dan ini sudah diatur dalam UU Nomor 6/2018 Pasal 59 ayat 3, unsurnya sudah terpenuhi termasuk PSBB di Pasal 13,” kata Intan. (Baca juga: Riset: Kepercayaan Masyarakat Rendah terhadap Pemerintah Tangani Corona)
DKI dan Fakfak Sudah Ajukan PSBB
Komisi IX DPR mengaku telah mendapatkan informasi terkait dua daerah yang sudah mengajukan PSBB di daerahnya. Daerah yang sudah mengajukan ke Kemenkes yakni Provinsi DKI Jakarta dan kabupaten Fakfak, Papua Barat. “Yang saya dapat informasi, sudah ada dua daerah yang mengajukan pada Kementerian. Jadi saya dapat informasi itu DKI Jakarta dan Fakfak, Papua Barat,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena kemarin.
Melki menjelaskan, dengan adanya dua usulan tersebut, Kemenkes beserta para ahli, tim yang sudah dibentuk dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa berdiskusi dan mempertimbangkan usulan kedua daerah tersebut berdasarkan persyaratan yang sudah diatur dalam Permenkes. “Nah, itu nanti Kemenkes beserta para ahli dan tim yang sudah dibentuk itu bersama Gugus Tugas pasti akan mempertimbangkan bagaimana usulan yang masuk dari daerah untuk kemudian diputuskan,” ujar politikus Partai Golkar itu. (Baca juga: DPR Minta Pemerintah Punya Data Faktual Covid-19 di Daerah)
Melki melanjutkan, tentu DPR, dalam hal ini Komisi IX, akan mengawasi pelaksanaan dari pada aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 ini. Pihaknya akan memastikan bahwa penanganannya berjalan efektif. “Terutama Komisi IX sebagai komisi yang menjadi pengawas untuk urusan penanganan Covid-19, baik itu Kemenkes atau Gugus Tugas, kita akan mencermati supaya betul-betul berjalan dengan baik sehingga penanganan masalah ini bisa betul-betul efektif di lapangan,” jamin Melki. (Binti Mufarida/Kiswondari)
(ysw)