Riset: Kepercayaan Masyarakat Rendah terhadap Pemerintah Tangani Corona
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Indef-Datalyst Center Imam Akbar Rachbini mengumumkan hasil riset opini masyarakat seputar penanganan virus corona atau COVID-19. Hasilnya menunjukkan, masyarakat belum percaya penuh pada sistem data pemerintah.
Masyarakat menilai, kebijakan mengalami penundaan demi penundaan, bahkan terlambat. Ini disebabkan pemerintah kurang akurat dalam pengolahan data. (Baca juga: DPR Minta Pemerintah Punya Data Faktual Covid-19 di Daerah)
"Untuk mendapatkan dukungan, maka perlu meningkatkan sentimen positif. Perbaiki komunikasi kepada publik, transparan dan jujur, tidak ada data yang disembunyikan, dan menghindari perpecahan sesama jajaran pemerintah," kata Imam Akbar, Minggu (5/4/2020).
Menurutnya, gerak lambat pemerintah sejalan dengan kelemahan pengolahan data. Sehingga publik masih belum sepenuhnya percaya data resmi yang dirilis pemerintah. Sedangkan pandemi ini adalah masalah publik yang rumit dan berdampak luas. Karena itu pemerintah memerlukan dukungan rakyat secara meluas.
"Jika sentimen negatif tinggi terhadap pemerintah, maka dukungan rakyat tidak akan memadai, bahkan bisa terjadi acuh tak acuh dan pembangkangan," ujar Imam.
Dia mengaku, telah melakukan pantauan kualitatif, content analysis media mainstream, dan hasil kuantitatif big data. Pemerintah belum mempunyai tingkat kepercayaan yang memadai di depan publik. Itu ditunjukkan oleh sentimen negatif yang tinggi.
Sentimen negatif dalam ratusan ribu percakapan tersebut tidak hanya terhadap pemerintah secara kolektif, tetapi juga langsung tertuju pada presiden Jokowi dan menteri kesehatan Terawan. Hasil lainnya dari riset ini adalah sentimen terhadap pemerintah dalam penanganan covid-19 ini sangat negatif.
Menurut Imam, dari riset ini, sekira 66,3% dari ratusan ribu percakapan tersebut bersifat negatif terhadap jajaran pemerintah. Sisanya hanya sekitar 33,7% mempunyai sentimen positif.
"Kita baca di berbagai media sejak awal bersifat simpang siur, bersenda gurau, saling bertolak belakang, meremehkan kasus COVID-19, dan sejenisnya. Sehingga menimbulkan sentimen negatif di media mainstream dan sekaligus terbukti negatif di media bukan mainstream di media sosial," ujarnya.
Riset ini diakuinya telah berusaha sebaik mungkin mencapai tingkat obyektivitas yang baik dengan mengawasi konten dari buzzer. Adanya buzzer atau akun akun palsu memberikan kesulitan untuk melihat opini masyarakat yang sebenarnya (bias).
Oleh karena itu kata Akbar, dalam menganalisis sosial media ini, pihaknya menghilangkan cuitan-cuitan yang berasal dari akun buzzer atau palsu. Tim menggunakan pendekatan Machine Learning untuk mendeteksi akun-akun buzzer/palsu dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
"Seperti jumlah tweets per-hari yang dilakukan, frekuensi melakukan retweet dari akun lain, perilaku dalam melakukan retweet, dan banyak lainnya," ungkapnya.
Masyarakat menilai, kebijakan mengalami penundaan demi penundaan, bahkan terlambat. Ini disebabkan pemerintah kurang akurat dalam pengolahan data. (Baca juga: DPR Minta Pemerintah Punya Data Faktual Covid-19 di Daerah)
"Untuk mendapatkan dukungan, maka perlu meningkatkan sentimen positif. Perbaiki komunikasi kepada publik, transparan dan jujur, tidak ada data yang disembunyikan, dan menghindari perpecahan sesama jajaran pemerintah," kata Imam Akbar, Minggu (5/4/2020).
Menurutnya, gerak lambat pemerintah sejalan dengan kelemahan pengolahan data. Sehingga publik masih belum sepenuhnya percaya data resmi yang dirilis pemerintah. Sedangkan pandemi ini adalah masalah publik yang rumit dan berdampak luas. Karena itu pemerintah memerlukan dukungan rakyat secara meluas.
"Jika sentimen negatif tinggi terhadap pemerintah, maka dukungan rakyat tidak akan memadai, bahkan bisa terjadi acuh tak acuh dan pembangkangan," ujar Imam.
Dia mengaku, telah melakukan pantauan kualitatif, content analysis media mainstream, dan hasil kuantitatif big data. Pemerintah belum mempunyai tingkat kepercayaan yang memadai di depan publik. Itu ditunjukkan oleh sentimen negatif yang tinggi.
Sentimen negatif dalam ratusan ribu percakapan tersebut tidak hanya terhadap pemerintah secara kolektif, tetapi juga langsung tertuju pada presiden Jokowi dan menteri kesehatan Terawan. Hasil lainnya dari riset ini adalah sentimen terhadap pemerintah dalam penanganan covid-19 ini sangat negatif.
Menurut Imam, dari riset ini, sekira 66,3% dari ratusan ribu percakapan tersebut bersifat negatif terhadap jajaran pemerintah. Sisanya hanya sekitar 33,7% mempunyai sentimen positif.
"Kita baca di berbagai media sejak awal bersifat simpang siur, bersenda gurau, saling bertolak belakang, meremehkan kasus COVID-19, dan sejenisnya. Sehingga menimbulkan sentimen negatif di media mainstream dan sekaligus terbukti negatif di media bukan mainstream di media sosial," ujarnya.
Riset ini diakuinya telah berusaha sebaik mungkin mencapai tingkat obyektivitas yang baik dengan mengawasi konten dari buzzer. Adanya buzzer atau akun akun palsu memberikan kesulitan untuk melihat opini masyarakat yang sebenarnya (bias).
Oleh karena itu kata Akbar, dalam menganalisis sosial media ini, pihaknya menghilangkan cuitan-cuitan yang berasal dari akun buzzer atau palsu. Tim menggunakan pendekatan Machine Learning untuk mendeteksi akun-akun buzzer/palsu dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
"Seperti jumlah tweets per-hari yang dilakukan, frekuensi melakukan retweet dari akun lain, perilaku dalam melakukan retweet, dan banyak lainnya," ungkapnya.
(maf)