Tidak Lazim, Koruptor Dibebaskan dengan Alasan Rawan Corona
A
A
A
JAKARTA -
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly melempar ide untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hal itu dikemukan kader PDI Perjuangan tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu 1 April 2020 lalu melalui pertemuan secara virtual.
Seiring dengan rencana itu, usulan pembebasan napi koruptor pun muncul. Hal itu dikaitkan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang sudah melebihi daya tampung atau overcapacity.
Dengan alasan kemanusiaan lainnya, wacana itu juga disandingkan penyebaran virus Corona yang melanda banyak wilayah di Tanah Air.
Demi mencegah penyebaran itu menerpa ke kawasan penjara, pembebasan narapidana pun menjadi gagasan yang dianggap masuk akal.
Seperti diketahui, sebelumnya Kemenkumham memutuskan membebaskan sebanyak 30 ribu narapidana untuk mengantisipasi penularan virus corona pada warga binaan.
Namun belum diketahui apakah itu termasuk kategori napi koruptor, narkoba, dan terorisme yang tertuang dalam PP Nomor 99/2012. (Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan)
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan mengkaitkan kondisi lapas dan pandemi Corona.
“Saya pikir banyak pihak yang sedang memanfaatkan keadaan demi kepentingannya, termasuk koruptor dan teman-temannya. Pilihan itu tidak dibenarkan karena jika terjangkit harus dirawat, bukan dibebaskan dari hukumannya,” kata Feri kepada SINDOnews, Jumat (3/4/2020).
Dia menilai kebijakan ini akan menjadi sesat dan terkesan melampaui kewenangan si pembuat kebijakan.
Kebijakan ini juga dinilai semakin membuktikan penegakan hukum di Indonesia tidak produktif. “Harusnya segala upaya berkonsentrasi untuk mengatasi wabah, bukan menyelamatkan koruptor. Tidak lazim dalam pemberantasan korupsi,” ujar Feri.
Pembebasan dengan alasan kelebihan daya tampung itu lebih cocok diberikan kepada tindak pidana ringan atau pecandu narkoba dengan program rehabilitasi. “Kok bisa koruptor, itu ya enggak benar,” tuturnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly melempar ide untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hal itu dikemukan kader PDI Perjuangan tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu 1 April 2020 lalu melalui pertemuan secara virtual.
Seiring dengan rencana itu, usulan pembebasan napi koruptor pun muncul. Hal itu dikaitkan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang sudah melebihi daya tampung atau overcapacity.
Dengan alasan kemanusiaan lainnya, wacana itu juga disandingkan penyebaran virus Corona yang melanda banyak wilayah di Tanah Air.
Demi mencegah penyebaran itu menerpa ke kawasan penjara, pembebasan narapidana pun menjadi gagasan yang dianggap masuk akal.
Seperti diketahui, sebelumnya Kemenkumham memutuskan membebaskan sebanyak 30 ribu narapidana untuk mengantisipasi penularan virus corona pada warga binaan.
Namun belum diketahui apakah itu termasuk kategori napi koruptor, narkoba, dan terorisme yang tertuang dalam PP Nomor 99/2012. (Baca Juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan)
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan mengkaitkan kondisi lapas dan pandemi Corona.
“Saya pikir banyak pihak yang sedang memanfaatkan keadaan demi kepentingannya, termasuk koruptor dan teman-temannya. Pilihan itu tidak dibenarkan karena jika terjangkit harus dirawat, bukan dibebaskan dari hukumannya,” kata Feri kepada SINDOnews, Jumat (3/4/2020).
Dia menilai kebijakan ini akan menjadi sesat dan terkesan melampaui kewenangan si pembuat kebijakan.
Kebijakan ini juga dinilai semakin membuktikan penegakan hukum di Indonesia tidak produktif. “Harusnya segala upaya berkonsentrasi untuk mengatasi wabah, bukan menyelamatkan koruptor. Tidak lazim dalam pemberantasan korupsi,” ujar Feri.
Pembebasan dengan alasan kelebihan daya tampung itu lebih cocok diberikan kepada tindak pidana ringan atau pecandu narkoba dengan program rehabilitasi. “Kok bisa koruptor, itu ya enggak benar,” tuturnya.
(dam)