Korona dan Hal-hal yang Belum Selesai

Rabu, 01 April 2020 - 06:38 WIB
Korona dan Hal-hal yang...
Korona dan Hal-hal yang Belum Selesai
A A A
Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik

dan Dosen Politik Fisip UIN Jakarta

Virus korona kian menakutkan. Jumlah korban terus bertambah. Menjangkiti semua kalangan. Mulai politisi, figur publik, hingga masyarakat biasa. Tak pandang bulu. Semua kalangan sangat potensial tertular wabah virus mematikan itu. Segala upaya sudah dilakukan mengantisipasi korona. Pemerintah dan kepala daerah berjibaku mengeluarkan kebijakan serta maklumat menghindari kerumunan dan menjaga kontak sosial (social distancing) . Bahkan ada wilayah yang sudah karantina diri.

Semua upaya dilakukan sebagai ikhtiar mengamputasi mata rantai sebaran korona. Problemnya, masyarakat abai dengan imbaun semacam itu. Dianggap tak terlampau penting. Sebab, virus dan jenis penyakit lain tak bisa dicegah dengan cara konvensional. Tak habis pikir memang. Tapi begitulah realitas sosial masyarakat. Entah karena berani atau sekadar pasrah dengan keadaan.

Menengok kasus di Italia, sebaran virus begitu massif karena warga tak patuh imbauan pemerintah. Isolasi diri dan menjauhi kontak sosial tak dilakukan. Di tengah kepungan korona, warga Italia masih datang ke kafe, nongkrong, dan memadati tempat keramaian. Efeknya, virus menyebar mengerikan. Sukar dibendung.

Wabah virus korona menyebar melalui kontak langsung dengan orang lain. Karenanya, anjuran bekerja, belajar, dan berdoa dari rumah cukup rasional. Tak terlampau susah. Namun, efek psikologisnya memang berat. Karena harus menjauh dari ingar bingar kehidupan politik yang gaduh. Menkopolhukam bahkan meminta aparat menindak tegas setiap warga yang berani keluyuran.

Di negara lain, perintah menindak tegas warga yang berani keluyuran jauh lebih ekstrem. Sebab, negara bersangkutan sudah lockdown . Di Malaysia misalnya, memberlakukan karantina wilayah. Bagi yang berani melanggar aturan, diancam hukuman penjara dan membayar denda sejumlah uang. Prancis melarang warganya meninggalkan rumah, kecuali penting. Warga yang melanggar didenda jutaan rupiah. Spanyol juga menerapkan upaya serupa dengan sejumlah ancaman, seperti penjara dan bayar denda.

Sementara di Indonesia cukup berhati-hati. Satu sisi menganjurkan social distancing dan isolasi diri, namun imbauan ini tak dilengkapi banderol hukum yang memberikan efek jera. Mudah dilanggar. Sementara pada saat bersamaan ada ancaman menindak tegas warga yang keluyuran, sementara payung hukumnya lemah karena sebatas imbauan.

Di tengah desakan publik, pemerintah memunculkan opsi karantina wilayah atau kemungkinan darurat sipil agar lebih efektik mencegah korona. Terlepas dari itu semua, ada sesuatu yang sebenarnya belum selesai dengan masyarakat di Indonesia, yakni rendahnya kepatuhan terhadap imbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah.

Argumen Teologis

Lantas apa yang membuat imbauan penguasa cenderung diabaikan? Padahal, bangsa ini dikenal religius. Mayoritas beragama Islam. Jawabannya sederhana, yakni argumen teologis yang menjadi pegangan hidup. Sebagian masyarakat melihat virus korona bagian takdir Allah yang tak bisa ditolak. Sudah ada sejak zaman para nabi. Tak perlu takut berlebihan. Manusia sebatas berusaha. Selebihnya, segala sesuatu sudah ditentukan di langit ke tujuh (lauhul mahfuzd) . Tak mengherankan jika banyak yang masih nekat berupaya melakukan ritual agama kolektif mengusir virus yang dianggap sebagai ujian (bala’) Tuhan di muka bumi.

Kondisi semacam ini ditebalkan dengan argumen teologis lainnya. Misalnya, Qunut Nazila dan rajin berwudu dinilai ampuh menangkal virus korona. Intinya, virus korona bisa ditangkal dengan ritus surgawi. Cukup dengan beribadah dan perbanyak doa. Diperkuat pula dengan pernyataan untuk terus meramaikan masjid. Jangan sampai korona menipiskan kadar keimanan seseorang. Hanya Allah yang layak ditakuti, bukan korona.

Argumen teologis semacam inilah yang bisa menjelaskan kenapa masih banyak yang keluyuran mendatangi kerumunan, sekalipun sudah diimbau. Mereka tak takut korona karena sudah ada ketentuan Tuhan yang tak bisa dinegosiasi siapa pun. Hidup mati sudah terjadwal, tinggal nunggu waktu.

Pada ujung spektrum lain, umat Islam melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif. Termasuk virus korona dianggap hanya sebatas penyakit ujian Tuhan semesta alam. Rumusnya sederhana. Tak mungkin Tuhan menguji umat manusia melampaui batas kemampuannya. Di balik korona pasti ada hikmah tersembunyi. Badai pasti segera berlalu. Setiap penyakit pasti ada obatnya (likulli da’in dawa’un) . Pasti ada pelangi indah dari setiap badai yang usai.

Kehilangan Rasa Takut

Hal lain yang belum selesai, masyarakat kehilangan rasa takut. Sebab, begitu banyak info berseliweran bahwa virus korona bisa dilawan dengan jenis rempah-rempah tertentu. Misalnya jahe merah, daun kelor, jamu tradisional, nasi kucing, serta cuka yang ditengarai mujarab membunuh virus korona. Bahkan ada yang meyakini berjemur pada pagi hari ampuh mengantisipasi wabah korona.

Efeknya, masyarakat merasa virus korona mudah ditangkal dengan obat tradisional atau dengan aktivitas olahraga. Bangsa ini memang ditakdirkan sebagai "bangsa pemberani". Tak pernah takut dengan apa pun. Tak mengherankan jika korona awalnya dijadikan bahan candaan. Ada yang bilang korona komunitas rondo mempesona, korona tak betah di Indonesia karena izinnya susah, serta anjuran tenang karena korona tak lebih ganas dari TBC.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika masyarakat tak begitu risau dengan virus korona. Obat penangkalnya gampang didapat di mana pun. Imbauan tinggal di rumah jadinya biasa saja. Bangsa ini punya mantra ajaib berupa doa dan ramuan yang bisa diandalkan menangkal korona. Termasuk pula sebagian masyarakat lebih takut lapar ketimbang korona. Terutama mereka yang menggantungkan hidupnya dengan kerja harian.

Virus korona sangat meresahkan memang. Semua pihak harus berhenti melontarkan pernyataan yang terkesan menihilkan efek korona. Faktanya, obat penangkalnya susah didapat. Masker dan hand sanitizer langka. Kepanikan terjadi di semua jejaring kehidupan. Muncul penyakit mental effect curiga terhadap orang lain karena takut menularkan virus.

Pemerintah tanpa lelah harus tetap mengimbau pentingnya menghindari kerumunan serta anjuran pola hidup sehat. Setidaknya, perlahan mampu meyakinkan masyarakat bahwa korona memang takdir Tuhan, tapi tak ada salahnya jika langkah antisipasif diikuti. Mungkin saja sejumlah jenis rempah-rempah bisa menangkal korona, namun ada baiknya jika berusaha menghindari segala kemungkinan untuk menghindari terkena korona. Tentu dengan regulasi yang lebih mengikat yang bisa memberikan rasa takut.

Sedia payung sebelum hujan, sepertinya jauh lebih penting ketimbang pasrah meyakini hujan datangnya dari langit. Daripada selalu pasrah dan mengutuk kegelapan, adakalanya harus berbuat sesuatu yang konkret agar terhindar dari segala marabahaya. Korona nyata adanya. Pandemi menyebar luas tanpa batas. Melampaui sekat-sekat politik dan kelas sosial. Mari bersatu melawan korona dengan hidup sehat, isolasi diri di rumah, serta menjauhi kerumunan.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9432 seconds (0.1#10.140)