Social Distancing Setengah Hati

Selasa, 24 Maret 2020 - 07:03 WIB
Social Distancing Setengah...
Social Distancing Setengah Hati
A A A
MELIHAT lonjakan angka kasus korona hingga saat ini, rasanya belum ada kekuatan yang mampu membendung besarnya terjangan virus tersebut. Tiap hari, jumlah orang terpapar melonjak. Demikian juga mereka yang akhirnya kehilangan nyawa juga tak putus-putus, bahkan trennya cenderung naik.Melihat data faktual itu, kita menjadi kian miris dan prihatin. Miris lantaran hanya dalam kurun tak kurang dalam satu bulan, jumlah kasus telah menembus 500 orang. Jumlah ini sangat berpotensi terus membengkak karena jumlah orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pemantauan (PDP) mencapai ribuan.
Ini jelas membuat kita miris. Apalagi, data-data resmi sebagaimana yang di-update secara berkala oleh pemerintah hakikatnya adalah yang berhasil muncul di permukaan. Artinya, data itu terekam dari orang-orang yang mampu terdeteksi (tracing ). Dengan segala keterbatasan seperti personel, teknologi, alat, dan anggaran, tracing jelas tak akan mampu melakukan scanning orang-orang yang telah terpapar secara keseluruhan. Dengan dasar asumsi ini, tentu sebenarnya jumlah orang yang sudah positif, ODP maupun PDP sejatinya sangat banyak. Data mereka terselubung karena kita memiliki banyak keterbatasan untuk mengaksesnya.
Ikhtiar pemerintah menggaungkan kebijakan hidup sosial berjarak (social distancing measures ) adalah sebuah keniscayaan sebagai bagian dari solusi. Namun, social distancing ini pun tak mudah. Kebijakan pemerintah yang ngotot tak akan memberlakukan karantina wilayah (lockdown) secara total, dengan membuat pelaksanaan social distancing nyatanya di lapangan tak banyak berarti. Pernyataan ini memang kontraproduktif dengan yang berulangkali disampaikan pemerintah seperti melalui Juru Bicara untuk Penanganan Wabah Virus Korona Achmad Yurianto yang mengatakan bahwa social distancing efektif mencegah penyebaran.
Pernyataan Yurianto masih debatable. Pemerintah perlu benar membuka mata dengan terjun ke lapangan, jangan asal yakin bahwa penerapan social distancing efektif. Jangan pula kata efektif itu menjadi pemanis atau pelega dahaga sementara di tengah kebingungan mengatasi krisis Covid-19 yang tak tahu kapan akan berhenti ini.
Sepekan setelah kebijakan social distancing ini diberlakukan, kesadaran warga untuk hidup lebih bersih memang tumbuh. Namun, kerumunan-kerumunan orang tak mudah untuk dihilangkan. Selain faktor budaya, sebagian masyarakat harus bertemu dalam kerumunan karena faktor yang memaksa. Ini bisa kita lihat dengan gamblang situasi di moda transportasi massal seperti di KRL, MRT, TransJakarta setiap hari. Dengan semakin mereka saling banyak bertemu, potensi penyebaran tetap tinggi. Inilah tak sekadar miris, tapi membuat kita prihatin. Artinya, ketika saat di rumah mereka sudah berjuang keras menjaga jarak dengan anggota keluarga atau tetangga, namun ketika di transportasi massal mereka dihadapkan pilihan pelik. Mereka terpaksa naik transportasi umum karena paling terjangkau tarifnya, hemat waktu dan tenaga. Mereka pun terpaksa bekerja karena perusahaan atau tempatnya bekerja tidak memberlakukan sistem kerja dari rumah (work from home ) seperti yang dilakukan kantor pemerintahan atau BUMN.
Melihat fakta ini, hakikatnya masih banyak yang harus dibenahi dalam kebijakan social distancing ini. Pemerintah jangan setengah hati. Ketika kebijakan diberlakukan, pengawasan misalnya menjadi sebuah keharusan. Berjubelnya atau kerumununan di KRL, misalnya, perlu diantisipasi dengan pembatasan kuota penumpang. Social distancing juga jangan sekadar seruan. Jika menjadi solusi yang diandalkan, koordinasi dengan lembaga terkait adalah keharusan. Edukasi kepada masyarakat soal vitalnya hidup berjarak juga perlu terus dipupuk. Penerapannya memang tak mudah. Tapi jika benar ada keseriusan, yang tak mudah itu bukan sesuatu mustahil.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0051 seconds (0.1#10.140)