Cegah Korban Perundungan Jadi Pelaku Selanjutnya

Sabtu, 14 Maret 2020 - 09:32 WIB
Cegah Korban Perundungan Jadi Pelaku Selanjutnya
Cegah Korban Perundungan Jadi Pelaku Selanjutnya
A A A
JAKARTA - Perundungan (bullying) dan pelecehan seksual kini banyak terjadi pada anak dengan pelaku yang jugamasih di bawah umur. Pelaku dewasa maupun anak-anak juga memberikan dampak berat bagi korban.

Psikolog anak, Abu Bakar Baraja, mengatakan bahwa korban akan menginginkan lagi dan nantinya kemungkinan menjadi pelaku. Ketika anak dirundung untuk pertama kalinya, dia akan menyimpan peristiwa tersebut. Jika dirinya terus mengalaminya dan seolah menerima segala perundungan maka yang terjadi anak itu akan ingin terus dirundung, bahkan mencari orang untuk merundung dirinya. “Anak sudah menerima di-bully, kemudian mendapatkan kenikmatan untuk dirinya, sehingga dia akan terus mencari, bertingkah laku, berbuat minta di-bully ,” jelasnya.

Maka tidak heran jika mengapabanyak anak yang selalu menjadi objek perundungan, karena dirinya sendiri telah menerima bahkan selalu memberikan sinyal siap untuk bahan rundungan.

Psikolog dari Lembaga Psikologi Kita ini menjelaskan kembali jika memang sebenarnya korban tidak menginginkan perlakuan tersebut. Namun karena di dalam konteks prefrontalnya, anak tersebut sudah terpenuhi tindakan perundungan menjadi sebuah kenikmatan.

Sama halnya dengan korban perundungan, korban pelecehan juga jika dia menerima. Memorinya akan berharap dan ingin melakukan lagi seperti itu. Anak yang menjadi korban tentu mengalami perasaan sedih juga mendendam. Hal tersebut menjadi bagian dari kesatuan dari penolakan dan ketidaknyamanan diri. “Seperti menggunakan narkoba, sebenarnya tidak mau. Tapi jika sudah telanjur akan kecanduan. Begitu juga jika pernah dilecehkan dan di-bully,” ungkap Abu Bakar.

Memori yang terekam akan peristiwa itu yang terus memanggil dirinya untuk terus bertindak sama seperti apa yang pernah dialami. Bahkan, seseorang yang sering melihat perilaku perundungan sekadar penglihatan. Bisa saja muncullah tindakan untuk merundung sebelum dirinya mengalami perundungan.

Untuk itu, jika anak mengalami perundungan maka dia harus mampu melawan dan tidak dimasukkan kedalam pikirannya. Abu bakar mengingatkan, jika melihat anak yang sedang dirundung maka jangan dibiarkan. Sebenarnya yang harus dilakukan ialah meyakinkan korban jika apa yang sedang dialami bukansesuatu yang baik dan dirinya tidak suka harus bisa menolak. “Tujuannya agar korban mendapatkan informasi bahwa dia tidak boleh di-bully, dia tidak mau diperlakukan seperti itu. Maka proses bully yang diterima korban akan mendapat penolakan dari dirinya sendiri,” jelasnya.

Abu Bakar menambahkan, biasa terjadi di masyarakat ialah orang yang lebih dewasa juga memarahi pelaku bahkan menghakimi. Padahal secara tidak sadar, itulah bentuk perundungan, jangan sampai korban melihat tindakan itu sebagai sesuatu yang tidak masalah yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Di sekolah memang sebaiknya memberikan penerangan, memperkuat mental juga diri seorang anak. Bukan hanya fokus mencari cara agar tidak menjadi pelaku perundungan.

“Orang tua juga guru perkuat anak agar tidak mudah menjadi sasaran ejekan. Anak harus diajarkan untuk menjadi dirinya, mengakui dirinya hebat. Selalu mengapresiasi apa yang dicapai. Tidak lupa untuk menyemangati jika anak merasa tidak bisa,” tutur Abu Bakar.

Dengan begitu, anak tidak memiliki celah untuk menjadi sasaran perundungan. Ketika memang dirundung, anak dapat menolak dan yakin dia tidak mau menjadi korban perundungan.

Pemerhati anak dan keluarga, Septi Peni Wulandani, mengatakan bahwa sebagai orang tua, yang harus dilakukan untuk mengobati trauma anak korban perundungan ialah dengan mengembalikan kepercayaan diri mereka kembali. Caranya antaralain dengan mengakui dan memahami perasaannya. “Itu ialah bentuk penerimaan baginya. Orang tua dapat membayangkan bila kita berada pada posisinya sekarang. Berikan juga dukungan dan kepercayaan,” ucapnya.

Dukungan moral ini sangat dibutuhkan agar anak memiliki kepercayaan untuk dapat melawan perundungan secara elegan agar dia juga mampu mengendalikan dirinya saat dirundung. Pendiri komunitas Institut Ibu Profesional ini juga mengingatkan, anak harus diajarkan untuk memiliki kemampuan asertif atau dapat merespons secara efektif situasi yang berada di sekitarnya.
Anakharus dapat merespons sesuatu dengan tenang dan positif tanpa terlihat agresif ataupun pasif.
Ketika mengetahui anak sedangmengalami trauma, orang tua tentuharus lebih mencurahkan waktu untukmelakukan kegiatan bersama.

Septi mengatakan agar dapat meminimalisasi perasaan terabaikan yang biasanya dirasakan saat dirundung. Kegiatan bersama ini juga dipastikan dapat mengembalikan kepercayaan diri mereka secara perlahan.

Anak korban perundungan juga dapat diberi tanggung jawab karena korban sering kali menerima kata-kata intimidasi yang menegaskan bahwa ia tidak berguna sama sekali. “Buatlah mereka merasa sedang melakukan sebuah tugas sehingga merasa dibutuhkan. Ini dapat menumbuhkan keberanian juga kepercayaan diri.

Terakhir, Septi juga mengingatkan agar jangan lupa untuk memberikan pujian karena dapat membuat mereka merasa dihargai. Meskipun hasilnya belum memuaskan orang tua, dapat memberikan pujian terhadap usaha yang telah mereka lakukan. Sikap dihargai ini sangat diperlukan untuk anak korban perundungan.

Selama ini, Septi prihatin melihat lingkungan masyarakat melakukan pembiaran apabila melihat perundungan atau dalam penyelesaiannya. Seakan-akan tidak pro pada korban, selalu ada saja permakluman sehingga pelaku tidak diberikan efek jera. Baginya, ini akan sangat bahaya, karena seperti tidak pernah memutus mata rantai. Para pelaku perundungan itu adalah dulunya para korban yang rasa sakitnya belum selesai.

Septi berharap masyarakat ataupun lembaga sosial bisa berperan aktif dengan melakukan pendampingan secara intensif. Kalau perlu berikan ruang yang nyaman dan aman kepada korban untuk bisa menyelesaikan traumanya. “Saya dulu pernah melakukan pola ini dengan cara membuatkan safe house untuk mereka, kemudian diberikan aktivitas yang menaikkan hormonendorfinnya. Mengembalikan rasa percaya dirinya sehingga mereka siap kembali ke masyarakat dengan gagahberani,” cerita Septi.

Masyarakat harus lebih peka jika mengetahui ada anak yang sudah menjadi korban perundungan ataupun pelecehan. “Bukan kepedulian yang tidak perlu. Misalnya tanya ke korban,“ Bagaimana ceritanya kok bisa terjadi? Sedih kalau masyarakat sampai seperti ini yang hanya ingin penasaran kasusnya tanpa bertindak apa pun,” sambung Septi.

Maka itu, sebaiknya memang korban harus ditempatkan di sebuahtempat aman. Memisahkan korban dari masyarakat awam terlebih dahulu, yang mungkin bisa saja malah memperburuk keadaan dengan segudang pertanyaan tidak pantas. (Ananda Nararya)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4139 seconds (0.1#10.140)