Sidang Keenam Uji Materi UU Pekerja Migran, Ini Keterangan 3 Ahli Pemohon
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang keenam uji materi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada Selasa (10/3/2020). Pemohon dari uji materi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan Pekerja Migran ini adalah ASPATAKI (Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia).
Agenda sidang tersebut keterangan ahli pemohon, yakni Prof Dr Hadi Shubhan dari Universitas Airlangga Surabaya; Prof Dr Abdul Rachmad Budiono dari Universitas Brawijaya Malang; dan Prof Dr Amiruddin dari Universitas Mataram Lombok.
Prof Dr Hadi Subhan di hadapan Majelis Hakim mengungkapkan kesimpulan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2017 adalah salah secara formal. "Harusnya itu mengatur mengenai penempatan TKI sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 13, tetapi ini penempatan TKI diatur di dalam Undang-undang Nomor 84, sehingga mestinya tidak harus diatur ulang, tidak hanya pasal yang dimohonkan dicabut, tapi undang-undang ini harus direview semuanya, begitu," paparnya.
Dalam keterangan ahli lainnya, Prof Dr Abdul Rachmad Budiono menerangkan bahwa sentral masalah penanganan masalah pekerja migran bukan terdapat di uang jaminan yang harus disimpan Perusaahan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) ke rekening pemerintah. "Jangankan dinaikkan dari Rp500 juta ke Rp1,5 miliar. Dinaikkan 10 kali, enggak selesai masalah. Karena bukan itu masalahnya. Jadi, ini menembak sesuatu yang tidak kena sasarannya," kata dia.
Sedangkan keterangan yang diperdengarkan dari ahli pemohon adalah Prof Dr Amiruddin, yang fokus pada rumusan norma Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
"Kalau saya perpendapat, Pasal 82 dan Pasal 85 itu lebih cenderung kepada perdata sebenarnya. Ada wanprestasi yang dilakukan. Kalau menurut saya, lebih tepat kita gugat ganti rugi ketimbang kita menghukum dengan pidana, tapi operator normanya adalah tidak jelas," ungkap Prof Amiruddin.
ASPATAKI melakukan langkah untuk mengajukan uji materi Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 2017 ini lantaran ingin mendapatkan kepastian hukum.
"Karena pasal 54 itu tidak serta merta dikenakan pada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang telah mendapatkan izin, tapi kepada perorangan yang perorangan atau badan hukum yang ingin mendapatkan izin baru, ini ada kesalahan yang cukup fatal dan merugikan konstitusi anggota kami," ujar Ketua Umum ASPATAKI, Saiful Mashud dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Selain itu, Saiful Mashud juga akan bersurat ke DPR RI dan pemerintah agar segera membuat Undang-undang tentang Penempatan ke luar negeri sebagai amanat Pasal 33 dan 34 UU 13 Tahun 2003.
"Sementara UU No 39 Tahun 2004 tentang Pelindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang dianggap Sebagai UU pelaksanaan atas UU No 13 Tahun 2003 telah disebutkan dengan jelas dalam pasal 89 UU 18 Tahun 2017 bahwa UU 39 Tahun 2004 dianggap tidak berlaku, sehingga wajar muncul kegaduhan, bahkan nyaris UU 18 Tahun 2017 tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah."
"42 LTSA tidak berfungsi sesuai peruntukanya, pelaksanaan pelatihan oleh Pemerintah (Pasal 39, 40, 41) tidak dapat dilaksanakan karena UU tentang Penempatan ke luar negeri sebagai perintah pasal 33 dan 34 UU No 13 Tahun 2017 hingga saat ini belum dibuat oleh DPR kita, dan UU 18 Tahun 2017 adalah Undang-undang Perlindungan," sambung Saiful Mashud.
Agenda sidang tersebut keterangan ahli pemohon, yakni Prof Dr Hadi Shubhan dari Universitas Airlangga Surabaya; Prof Dr Abdul Rachmad Budiono dari Universitas Brawijaya Malang; dan Prof Dr Amiruddin dari Universitas Mataram Lombok.
Prof Dr Hadi Subhan di hadapan Majelis Hakim mengungkapkan kesimpulan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2017 adalah salah secara formal. "Harusnya itu mengatur mengenai penempatan TKI sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 13, tetapi ini penempatan TKI diatur di dalam Undang-undang Nomor 84, sehingga mestinya tidak harus diatur ulang, tidak hanya pasal yang dimohonkan dicabut, tapi undang-undang ini harus direview semuanya, begitu," paparnya.
Dalam keterangan ahli lainnya, Prof Dr Abdul Rachmad Budiono menerangkan bahwa sentral masalah penanganan masalah pekerja migran bukan terdapat di uang jaminan yang harus disimpan Perusaahan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) ke rekening pemerintah. "Jangankan dinaikkan dari Rp500 juta ke Rp1,5 miliar. Dinaikkan 10 kali, enggak selesai masalah. Karena bukan itu masalahnya. Jadi, ini menembak sesuatu yang tidak kena sasarannya," kata dia.
Sedangkan keterangan yang diperdengarkan dari ahli pemohon adalah Prof Dr Amiruddin, yang fokus pada rumusan norma Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017.
"Kalau saya perpendapat, Pasal 82 dan Pasal 85 itu lebih cenderung kepada perdata sebenarnya. Ada wanprestasi yang dilakukan. Kalau menurut saya, lebih tepat kita gugat ganti rugi ketimbang kita menghukum dengan pidana, tapi operator normanya adalah tidak jelas," ungkap Prof Amiruddin.
ASPATAKI melakukan langkah untuk mengajukan uji materi Pasal 54 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b) dan Pasal 82 huruf (a) serta Pasal 85 huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 2017 ini lantaran ingin mendapatkan kepastian hukum.
"Karena pasal 54 itu tidak serta merta dikenakan pada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang telah mendapatkan izin, tapi kepada perorangan yang perorangan atau badan hukum yang ingin mendapatkan izin baru, ini ada kesalahan yang cukup fatal dan merugikan konstitusi anggota kami," ujar Ketua Umum ASPATAKI, Saiful Mashud dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Selain itu, Saiful Mashud juga akan bersurat ke DPR RI dan pemerintah agar segera membuat Undang-undang tentang Penempatan ke luar negeri sebagai amanat Pasal 33 dan 34 UU 13 Tahun 2003.
"Sementara UU No 39 Tahun 2004 tentang Pelindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia yang dianggap Sebagai UU pelaksanaan atas UU No 13 Tahun 2003 telah disebutkan dengan jelas dalam pasal 89 UU 18 Tahun 2017 bahwa UU 39 Tahun 2004 dianggap tidak berlaku, sehingga wajar muncul kegaduhan, bahkan nyaris UU 18 Tahun 2017 tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah."
"42 LTSA tidak berfungsi sesuai peruntukanya, pelaksanaan pelatihan oleh Pemerintah (Pasal 39, 40, 41) tidak dapat dilaksanakan karena UU tentang Penempatan ke luar negeri sebagai perintah pasal 33 dan 34 UU No 13 Tahun 2017 hingga saat ini belum dibuat oleh DPR kita, dan UU 18 Tahun 2017 adalah Undang-undang Perlindungan," sambung Saiful Mashud.
(kri)