Iuran BPJS Batal Naik, Pemerintah Diminta Segera Jalankan Putusan MA
A
A
A
JAKARTA - Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) memberi apresiasi terhadap Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Perpres 75 Tahun 2019 tentang kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang mulai berlaku efektif sejak Januari 2020 yang lalu.
(Baca juga: MA Batalkan Aturan Kenaikan Iuran, Menkeu Singgung BPJS Kesehatan yang Merugi)
Hal ini dikatakan Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir. Menurutnya, keputusan MA tersebut merupakan angin segar di tengah proses hukum di negeri ini yang seringkali mengalahkan rakyat kecil.
"Saya rasa rakyat kecil yang kemarin menjerit karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen akan senang menyambut keputusan MA ini," ujar Tony Samosir, Senin (9/3/2020).
"Dan KPCDI berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini, agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya," tambah pasien gagal ginjal yang sudah melakukan cangkok ginjal itu.
Tony Samosir berharap, pemerintah atau pihak BPJS Kesehatan tidak lagi membuat keputusan dan kebijakan yang sifatnya mengakali atau mengelabui dari keputusan tersebut.
"Jalankan keputusan MA dengan sebaik-baiknya. Toh ini yang menang rakyat Indonesia," tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, KPCDI yang merupakan organisasi berbentuk perkumpulan dan anggotanya kebanyakan penyintas gagal ginjal (Pasien Cuci Darah) ini, akan terus mengawal keputusan MA hari ini.
"KPCDI juga akan terus berjuang demi kepentingan pasien. Setiap kebijakan publik yang merugikan pasien dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita berdirinya negara ini, akan tetap kami lawan," tegasnya.
Seperti di ketahui, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) melayangkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen ke Mahkamah Agung (MA) melalui kuasa hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa pada 5 Desember 2019 yang lalu.
Mereka beralasan, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi dan diundangkan pada 24 Oktober ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS); dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
(Baca juga: MA Batalkan Aturan Kenaikan Iuran, Menkeu Singgung BPJS Kesehatan yang Merugi)
Hal ini dikatakan Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir. Menurutnya, keputusan MA tersebut merupakan angin segar di tengah proses hukum di negeri ini yang seringkali mengalahkan rakyat kecil.
"Saya rasa rakyat kecil yang kemarin menjerit karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen akan senang menyambut keputusan MA ini," ujar Tony Samosir, Senin (9/3/2020).
"Dan KPCDI berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini, agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya," tambah pasien gagal ginjal yang sudah melakukan cangkok ginjal itu.
Tony Samosir berharap, pemerintah atau pihak BPJS Kesehatan tidak lagi membuat keputusan dan kebijakan yang sifatnya mengakali atau mengelabui dari keputusan tersebut.
"Jalankan keputusan MA dengan sebaik-baiknya. Toh ini yang menang rakyat Indonesia," tegasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, KPCDI yang merupakan organisasi berbentuk perkumpulan dan anggotanya kebanyakan penyintas gagal ginjal (Pasien Cuci Darah) ini, akan terus mengawal keputusan MA hari ini.
"KPCDI juga akan terus berjuang demi kepentingan pasien. Setiap kebijakan publik yang merugikan pasien dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita berdirinya negara ini, akan tetap kami lawan," tegasnya.
Seperti di ketahui, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) melayangkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen ke Mahkamah Agung (MA) melalui kuasa hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa pada 5 Desember 2019 yang lalu.
Mereka beralasan, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi dan diundangkan pada 24 Oktober ini bertentangan dengan UUD Tahun 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS); dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
(maf)