Stafsus Presiden Berencana Rehabilitasi Anak-anak WNI Eks ISIS

Sabtu, 07 Maret 2020 - 17:10 WIB
Stafsus Presiden Berencana Rehabilitasi Anak-anak WNI Eks ISIS
Stafsus Presiden Berencana Rehabilitasi Anak-anak WNI Eks ISIS
A A A
JAKARTA - Staf Khsusu (Stafsus) Presiden, Diaz Hendropriyono ikut memberikan perhatian terhadap rencana pemulangan anak-anak WNI mantan ISIS di bawah usia 10 tahun sebagaimana diwacanakan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD. (Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Pulangkan Perempuan dan Anak ISIS Eks WNI)

Diaz sempat mengundang Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial (Kemensos), Kanya Eka Santi ke kantornya beberapa waktu lalu. "Kami berdiskusi mengenai persiapan Kemensos dalam menampung anak-anak yang akan kembali ke Indonesia dari Syria yang orangtuanya tergabung dengan ISIS," kata Diaz, Sabtu (7/3/2020).

Diaz menyatakan, tujuan mengundang Kanya untuk mendapatkan gambaran tentang ciri-ciri anak yang terpapar radikalisme. Dalam kesempatan itu, Kanya menjelaskan ciri-cirinya dan proses rehabilitasi yang harus dilakukan terhadap anak-anak tersebut. (Baca juga: Pengamat: Pulangkan WNI Eks ISIS Sama dengan Mengakui Eksistensi Mereka)

"Karakter orang terpapar radikalisme biasanya ialah menolak mengucapkan salam, menolak makan ayam atau daging, menolak salat di masjid yang tidak dibangun komunitas mereka, menolak segala bentuk aktivitas seni, membenci aparat negara, dan yang paling krusial ialah menolak Pancasila sebagai ideologi negara," jelas Kanya kepada Diaz.

Menanggapi paparan Kanya, Diaz kembali menegaskan kepada Kemensos agar dalam proses rehabilitasi nanti, anak-anak WNI eks-ISIS harus dipisahkan ke dalam dua kategori yang berbeda. "Saya memberi masukan ke beliau bahwa anak-anakpun harus diberi kategori yang jelas, apakah anak tersebut sebagai Dedepedant atau Fighter," tutur Ketua Umum DPP PKPI itu.

Diaz menilai hal ini penting mengingat adanya seorang anak 11 tahun bernama Haft Saiful Rasul yang meminta izin kepada ayahnya untuk berjuang ke Syria. Haft Saiful pergi bersama 12 orang lainnya yang berasal dari sebuah pesantren di Bogor. Sayangnya, pada 2017 bocah ini tewas di Syria akibat serangan bom.

"Kemensos, BNPT dan Densus 88 perlu mengidentifikasi apakah anak-anak yang nantinya dibawa ke Indonesia termasuk Depedant (dimana mereka sekedar ikut orang tuanya ke Syria), atau Fighter (pejuang yang kebetulan secara umur masih bocah, seperti Haft Saiful Rasul). Program rehabilitasi/deradikalisasi yang diberikan kepada anak-anak inipun otomatis harus berbeda (diferensiasi). Tolak Fighter, seleksi ketat untuk dependant," tegas Diaz.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1377 seconds (0.1#10.140)