Indonesia Negara Maju, Berkah atau Musibah?
A
A
A
Kini, status Indonesia meningkat dari negara berkembang menjadi negara maju. Perubahan status tersebut setelah Amerika Serikat (AS) dalam hal ini Kantor Perwakilan Perdagangan AS (Office of the US Trade Representative/USTR) di World Trade Organization (WTO), mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara berkembang.
Keputusan USTR itu sejalan dengan kenaikan pendapatan per kapita masyarakat yang kini mencapai pada kisaran USD4.000 per kapita. Namun, keputusan itu disambut beragam tanggapan. Sejumlah kalangan menilai wajar dan memang Indonesia saatnya meninggalkan status negara berkembang. Namun, sebagian besar dari pelaku bisnis terutama kalangan eksportir mengkhawatirkan status tersebut karena akan memengaruhi kinerja perdagangan antara Indonesia dan AS ke depan.
Lalu, timbul pertanyaan apakah status Indonesia sebagai negara maju versi USTR adalah berkah atau musibah? Bagi pemerintah, perubahan status tersebut sebagaimana dinyatakan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto adalah sebuah kebanggaan.Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia telah bercokol di posisi ke-15 di antara negara yang tergabung dalam kelompok G-20. Dilihat dari patokan daya beli, kekuatan ekonomi Indonesia berada di level ke-7 di antara negara G-20. "Masak mau dianggap negara berkembang terus," demikian Airlangga.
Hanya, harus disadari bahwa perubahan status tersebut ada bahaya yang mengancam atau bukan tanpa risiko. Salah satunya bakal makin memperdalam defisit neraca perdagangan yang selama ini menjadi momok bagi pemerintah. Pasalnya, Negeri Paman Sam bakal mencabut fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk barang ke AS bagi negara yang menyandang status negara berkembang.
Sekadar menyegarkan ingatan kalau pasar ekspor terbesar Indonesia adalah ke AS selain China dan Jepang. Dan, selama ini kinerja perdagangan kedua negara selalu menunjukkan nilai surplus pada Indonesia. GSP adalah sebuah kebijakan dari negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang dalam bentuk pemotongan bea masuk barang yang sudah disepakati.
Siapkah Indonesia berdagang dengan AS tanpa fasilitas GSP? Kalau yang ditanya Eko Listiyanto, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), jawabnya pasti tegas Indonesia tidak siap. Tidak hanya itu, pakar ekonomi tersebut justru meragukan predikat Indonesia sebagai negara maju versi USTR dengan dua alasan utama.
Pertama, 70% produk ekspor Indonesia masih berupa komoditas, sedangkan ekspor nonkomoditas masih ketinggalan dalam penggunaan teknologi. Kedua , tingkat pendapatan masyarakat Indonesia masih jauh dari gambaran negara maju. Namun, ekonom Indef itu mengakui bahwa bila dilihat dari produk domestik bruto (PDB) per kapita memang sudah cukup tinggi. Atas indikator PDB per kapita, tidak salah bila negara lain menilai Indonesia sudah maju dalam bidang perdagangan internasional.
Sebenarnya, perubahan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju tidak bisa dilepaskan dari kekecewaan Presiden AS Donald Trump. Setahun lalu, dia mengaku negaranya banyak dirugikan dalam perdagangan internasional karena banyak negara yang berpura-pura sebagai negara berkembang. Hal itu ditempuh supaya mendapat keistimewaan pada sejumlah kesepakatan dagang di WTO.
Presiden AS yang sejak awal mengendalikan negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu memang telah merombak peta perdagangan internasional yang sangat kontroversial, sebut di antaranya perang dagang antara AS dan China, yang dampaknya membuat loyo perekonomian global. Perubahan status tidak hanya dialami Indonesia sendiri, juga terjadi pada Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Bagi pemerintah, persoalan terancamnya pencabutan fasilitas GSP yang sangat dikhawatirkan terutama kalangan eksportir, sepertinya bukanlah sebuah beban. Mengapa? Airlangga meyakini persoalan fasilitas GSP masih bisa dinegosiasikan secara bilateral. Apalagi, fasilitas GSP yang dinikmati hanya berkisar 20% dari total ekspor ke AS yang sudah menjadi pasar tradisional selama ini.Dan, sebuah kabar gembira datang dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani, yang mengklaim sudah mengklarifikasi ke USTR bahwa fasilitas GSP untuk Indonesia tidak akan dicabut meski sudah naik status dari negara berkembang ke negara maju. Kalau memang begitu adanya maka adalah sebuah kesyukuran Indonesia naik status sebagai negara maju setidaknya berdasarkan versi USTR, dan fasilitas GSP dari AS masih tetap bisa dinikmati.
Keputusan USTR itu sejalan dengan kenaikan pendapatan per kapita masyarakat yang kini mencapai pada kisaran USD4.000 per kapita. Namun, keputusan itu disambut beragam tanggapan. Sejumlah kalangan menilai wajar dan memang Indonesia saatnya meninggalkan status negara berkembang. Namun, sebagian besar dari pelaku bisnis terutama kalangan eksportir mengkhawatirkan status tersebut karena akan memengaruhi kinerja perdagangan antara Indonesia dan AS ke depan.
Lalu, timbul pertanyaan apakah status Indonesia sebagai negara maju versi USTR adalah berkah atau musibah? Bagi pemerintah, perubahan status tersebut sebagaimana dinyatakan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto adalah sebuah kebanggaan.Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia telah bercokol di posisi ke-15 di antara negara yang tergabung dalam kelompok G-20. Dilihat dari patokan daya beli, kekuatan ekonomi Indonesia berada di level ke-7 di antara negara G-20. "Masak mau dianggap negara berkembang terus," demikian Airlangga.
Hanya, harus disadari bahwa perubahan status tersebut ada bahaya yang mengancam atau bukan tanpa risiko. Salah satunya bakal makin memperdalam defisit neraca perdagangan yang selama ini menjadi momok bagi pemerintah. Pasalnya, Negeri Paman Sam bakal mencabut fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk barang ke AS bagi negara yang menyandang status negara berkembang.
Sekadar menyegarkan ingatan kalau pasar ekspor terbesar Indonesia adalah ke AS selain China dan Jepang. Dan, selama ini kinerja perdagangan kedua negara selalu menunjukkan nilai surplus pada Indonesia. GSP adalah sebuah kebijakan dari negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang dalam bentuk pemotongan bea masuk barang yang sudah disepakati.
Siapkah Indonesia berdagang dengan AS tanpa fasilitas GSP? Kalau yang ditanya Eko Listiyanto, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), jawabnya pasti tegas Indonesia tidak siap. Tidak hanya itu, pakar ekonomi tersebut justru meragukan predikat Indonesia sebagai negara maju versi USTR dengan dua alasan utama.
Pertama, 70% produk ekspor Indonesia masih berupa komoditas, sedangkan ekspor nonkomoditas masih ketinggalan dalam penggunaan teknologi. Kedua , tingkat pendapatan masyarakat Indonesia masih jauh dari gambaran negara maju. Namun, ekonom Indef itu mengakui bahwa bila dilihat dari produk domestik bruto (PDB) per kapita memang sudah cukup tinggi. Atas indikator PDB per kapita, tidak salah bila negara lain menilai Indonesia sudah maju dalam bidang perdagangan internasional.
Sebenarnya, perubahan status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju tidak bisa dilepaskan dari kekecewaan Presiden AS Donald Trump. Setahun lalu, dia mengaku negaranya banyak dirugikan dalam perdagangan internasional karena banyak negara yang berpura-pura sebagai negara berkembang. Hal itu ditempuh supaya mendapat keistimewaan pada sejumlah kesepakatan dagang di WTO.
Presiden AS yang sejak awal mengendalikan negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu memang telah merombak peta perdagangan internasional yang sangat kontroversial, sebut di antaranya perang dagang antara AS dan China, yang dampaknya membuat loyo perekonomian global. Perubahan status tidak hanya dialami Indonesia sendiri, juga terjadi pada Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Bagi pemerintah, persoalan terancamnya pencabutan fasilitas GSP yang sangat dikhawatirkan terutama kalangan eksportir, sepertinya bukanlah sebuah beban. Mengapa? Airlangga meyakini persoalan fasilitas GSP masih bisa dinegosiasikan secara bilateral. Apalagi, fasilitas GSP yang dinikmati hanya berkisar 20% dari total ekspor ke AS yang sudah menjadi pasar tradisional selama ini.Dan, sebuah kabar gembira datang dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani, yang mengklaim sudah mengklarifikasi ke USTR bahwa fasilitas GSP untuk Indonesia tidak akan dicabut meski sudah naik status dari negara berkembang ke negara maju. Kalau memang begitu adanya maka adalah sebuah kesyukuran Indonesia naik status sebagai negara maju setidaknya berdasarkan versi USTR, dan fasilitas GSP dari AS masih tetap bisa dinikmati.
(nag)