Pejabat dan Pernyataan Kontroversial

Senin, 24 Februari 2020 - 06:31 WIB
Pejabat dan Pernyataan Kontroversial
Pejabat dan Pernyataan Kontroversial
A A A
KOMISIONER Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty membuat heboh masya­rakat Tanah Air. Pernyataannya soal bercampurnya pria dan wanita di kolam renang bisa membuat hamil memicu polemik. Pernyataan kontroversialnya itu lantas menjadi trending topic di Twitter sejak Sabtu (22/2) hingga Minggu (23/2).

Selain jadi tren di media sosial, sejumlah media arus utama pun ramai-ramai mengulasnya. Sitti telah meminta maaf, tetapi kontroversi tak kunjung surut. Dalam kasus ini, memang tidak sepatutnya seorang komisioner KPAI berbicara hal yang berbau mitos tanpa didasari hasil penelitian ilmiah.

Entah apa sebabnya pejabat di era pemerintahan sekarang ini begitu mudah memantik kontroversi. Banyak oknum pejabat yang gampang memicu polemik panas lewat pernyataan-pernyataannya yang tidak relevan. Dalam 10 hari terakhir, setidaknya ada tiga tokoh yang membuat publik gaduh.

Sebelum Sitti Hikmawatty, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy lebih dulu memancing kisruh. Pernyataannya yang menganjurkan fatwa agar orang kaya menikahi orang miskin untuk memutus mata rantai kemiskinan dikecam berbagai kalangan. Dia menyampaikan itu saat berpidato pada acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020.

Muhadjir berdalih bahwa pernyataannya itu hanya intermezo saja dan fatwa yang dimaksud hanya berupa anjuran, tidak wajib dilakukan. Tapi publik telanjur gaduh. Persoalan utamanya bukan pada anjuran Muhadjir itu wajib atau bukan, melainkan kepantasan seorang menko membuat pernyataan yang tidak produktif seperti itu.

Apa yang dilontarkan Muhadjir itu sungguh tidak relevan. Alangkah baiknya jika Muhadjir selaku menko fokus saja berbicara mengenai hal yang strategis, misalnya program apa yang bisa membuat masyarakat miskin lebih berdaya sehingga mereka bisa keluar dari kemiskinannya.

Sebelum Muhadjir, kontroversi juga dibuat oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Beberapa pernyataan Yudian melalui wawancara dengan sebuah media daring memang tidak pantas dilontarkan oleh seorang pejabat publik. Dia antara lain menyebut agama sebagai musuh terbesar Pancasila. Selain itu dia meminta warga negara bisa menempatkan konstitusi di atas kitab suci.

Pernyataan Yudian yang kebablasan ini menjadi topik pembahasan di media sosial selama berhari-hari. Pertanyaannya, mengapa dalam rentang 74 tahun Indonesia merdeka masih saja ada pejabat yang mempertentangkan agama dan Pancasila? Lebih ironis, hal itu dilakukan oleh seorang kepala BPIP.

Seorang kepala BPIP seharusnya mengajak rakyat mendialogkan, menanamkan, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi tunggal negara, bukan justru membangun dikotomi Pancasila versus bukan Pancasila. Karena komentar yang offside itu, sudah selayaknya Presiden mengevaluasi posisi Yudian yang baru dilantik pada 5 Februari 2020 itu.

Desakan agar mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga itu dicopot dari posisi kepala BPIP juga menggema di media sosial. Publik yang marah bahkan ada yang meminta BPIP dibubarkan saja. Bahkan jika dirunut ke belakang, masih banyak oknum pejabat yang membuat kontroversi. Tak terkecuali menteri di jajaran kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menteri Agama Fachrul Razi termasuk di antaranya. Hanya sepekan seusai dilantik, dia sudah mempersoalkan celana cingkrang, termasuk berencana melarang pengguna niqab atau cadar untuk masuk ke instansi milik pemerintah.

Sikap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam kasus pelarian caleg PDI Perjuangan Harun Masiku juga jadi sorotan. Yasonna sering dianggap tak bisa membedakan posisinya sebagai menteri atau pengurus PDI Perjuangan. Akibatnya muncul usulan agar Presiden tak segan mencopot pembantunya yang sering membuat kontroversi.

Sebelum melontarkan pernyataan seorang pejabat seharusnya bisa menimbang dampaknya. Bagaimanapun yang mereka lontarkan itu menjadi konsumsi publik. Jangan salahkan publik jika kemudian mengecam pernyataan oknum pejabat bersangkutan karena memang tidak sepantasnya terlontar.

Di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi bangsa saat ini, terutama di bidang ekonomi, dibutuhkan pejabat yang mampu bekerja serius, bukan justru terus-terusan memantik kontroversi. Presiden Joko Widodo juga perlu melihat kinerja pejabat yang sering kontraproduktif dan memicu kegaduhan. Jika dibiarkan begitu saja, taruhannya adalah kepercayaan publik kepada pemerintah yang berpotensi menurun.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5171 seconds (0.1#10.140)