Omnibus Law dan Sistem Hukum Nasional

Senin, 17 Februari 2020 - 08:03 WIB
Omnibus Law dan Sistem...
Omnibus Law dan Sistem Hukum Nasional
A A A
Sudjito AtmoredjoGuru Besar Ilmu Hukum UGM
KORAN SINDO edisi 31 Januari 2020 menurunkan Tajuk, "Omnibus Law Harus Transparan". Pemerintah harus terbuka dan melibatkan banyak pihak dalam penyusunan omnibus law. Pemerintah daerah, akademisi, universitas, dan pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi perlu dilibatkan, agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Pastilah semua pihak sependapat tentang pentingnya transparansi. Dapat dinyatakan bahwa transparansi pembuatan omnibus law merupakan prasyarat terwujudnya legitimasi publik. Bukankah omnibus law dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat? Maka masyarakat—siapa pun dan dalam posisi apapun—selagi ada kompetensi mesti dilibatkan dalam proses pembuatannya.

Dalam rangka Dies Natalis Ke-74 Fakultas Hukum UGM pada 13 Februari 2020 diselenggarakan seminar nasional "Peluang dan Tantangan Menuju Omnibus Law di Indonesia". Melengkapi pendapat para pakar, izinkan saya membicarakan sisi lain yang tak kalah pentingnya, yakni terwujudnya sistem hukum nasional.

Oleh pemerintah diharapkan omnibus law dapat digunakan sebagai "sapu jagat" untuk menyapu seluruh regulasi-regulasi bermasalah. Dicermati, banyak regulasi tumpang-tindih. Masalah demikian itu menghambat akses pelayanan publik dan kemudahan investasi. Implikasinya, program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai. Dengan omnibus law , direncanakan akan diselaraskan 82 undang-undang dan 1.194 pasal.

Bicara perihal sistem hukum, identik bicara hukum sebagai teks, perundang-undangan, (disebut legislated law ). Diidealkan, berdasarkan sistem hukum, seluruh aspek kehidupan bernegara hukum dapat dikelola dan dikendalikan sesuai skema yang diatur dalam perundang-undangan. Omnibus law digadang-gadang menjadi instrumen untuk pengendalian seluruh regulasi, agar sesuai dengan skema (politik hukum) pemerintah dalam hal investasi, perpajakan, ketenagakerjaan, dan substansi lainnya. Bila yang diskemakan adalah peningkatan investasi dan peningkatan perolehan pajak, maka seluruh regulasi wajib disinkronkan dengan skema tersebut. Sebaliknya, bila ada regulasi yang tidak selaras (berseberangan) dengan skema omnibus law , maka terkategorikan sebagai melawan sistem hukum, dan oleh karenanya sah untuk dikoreksi atau dibatalkan.

Di balik keinginan adanya omnibus law , tampak bahwa para penguasa dan pengusaha di negeri ini umumnya larut dalam filsafat positivisme. Ajaran Hans Kelsen—sebagai tokoh positivisme—senantiasa dijadikan sandaran berpikir, bersikap dan berperilaku hukum. Diprediksi omnibus law —sebagai bagian utama sistem hukum nasional—akan terwujud sebagai bangunan perundang-undangan yang disusun dari blok ke blok dengan akurasi rasional tinggi. Demi rasionalitas tinggi itu maka intervensi faktor-faktor nilai, filsafat, atau ilmu lain ditabukan.

Dalam teori sistem hukum yang logis dan berjenjang (logische Stufenbauutheorie ) struktur rasional hukum amatlah ketat, tidak boleh ada cacat barang sedikit pun. Dalam sistem hukum, tidak dimungkinkan ada celah-celah, tumpang-tindih, disharmoni, dan inkonsistensi di antara blok-blok perundang-undangan.

Disadari, perkembangan kehidupan berbangsa di era industri 4.0 memerlukan kehadiran sistem hukum nasional yang positivistik. Sistem perekonomian kapitalistik, misalnya, sangat membutuhkan percepatan, kepastian dan ketepatan langkah-langkah investasi, produksi, distribusi, dan lain-lainnya. Segalanya harus terukur dan terencana. Untuk itu, basis tatanan, order, atau sistem hukum yang eksak amat diperlukan.

Bila omnibus law nantinya berhasil digunakan untuk penyelarasan 82 undang-undang dan 1.194 pasal yang dinilai pemerintah bermasalah, sungguh ini prestasi besar yang patut diacungi jempol. Pada ranah niat baik ke arah terwujudnya sistem hukum nasional itulah layak semua pihak mendukungnya. Perundang-undangan apa pun—di tingkat pusat ataukah tingkat daerah—yang terkena pangkasan atau pembatalan, harus dipahami merupakan konsekuensi pemberlakuan omnibus law sebagai sistem hukum nasional.

Perlu dimengerti bahwa salah satu sifat menonjol dari sistem hukum, atau hukum sebagai teks, atau perundang-undangan, adalah kekakuannya. Ada ungkapan: Lex dura sed tamen scripta . Artinya, hukum itu kaku (keras), tetapi begitulah sifat tertulis itu. Bila omnibus law nanti telah diundangkan, menjadi dokumen tertulis, kemudian diberlakukan dengan tegas, keras, kaku pada siapa pun sasarannya, maka sejak pemberlakuan demikian omnibus law tidak fasilitatif terhadap keadilan substantif, melainkan sekadar akomodatif terhadap keadilan formal (keadilan perundang-undangan) saja.

Implikasi lain pemberlakuan omnibus law dengan tegas adalah terjadinya penyempitan atau penutupan lorong-lorong hukum, sekaligus cara-cara berhukum dengan akal sehat (fairness, reasonableness, common sense ). Tiada lorong lain boleh dilalui kecuali melalui teks-teks omnibus law . Lorong hukum adat atau lorong lainnya tidak berlaku. Diperkirakan ke depan persoalan besar akan dihadapi masyarakat yang terbiasa hidup secara tradisional berdasarkan interactional law . Masyarakat hukum adat, petani, nelayan, termasuk rentan terjebak ke dalam lorong sempit itu.

Omnibus law sebagai tatanan simetris, rasional, sistemik, tidaklah imun dari relasi kekuatan-kekuatan (power relationships ) di negeri ini. Ada kekuatan formal dan ada pula kekuatan nonformal. Ketika masalah, perkara, atau sengketa muncul (tak terhindarkan) sebagai akibat pemberlakuan omnibus law dipastikan pemerintah—melalui lembaga-lembaga formal—akan menggunakan kekuatan dan kekuasaannya agar kepentingannya terlindungi. Masyarakat—terkena dampak—akan melihatnya sebagai ketidakadilan karena "tindakan sewenang-wenang" pemerintah. Para advokat -sebagai pembela pemerintah atau pembela rakyat—bekerja secara profesional demi nasib kliennya masing-masing. Ketika suatu perkara sampai di pengadilan, hakim mungkin membuat putusan (vonis) atas pertimbangan keyakinannya, tetapi bisa pula berkiblat pada teks-teks omnibus law.

Dalam situasi kompleks demikian, tidaklah mudah menjadikan omnibus law sebagai sistem hukum nasional. Siapa pun tidak boleh terkorbankan karena omnibus law . Keterbukaan, kejujuran, kenasionalan, sikap populis, perlu dikedepankan. Wallahu a’lam.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0969 seconds (0.1#10.140)