Eks Dirut Perikanan Indonesia Didakwa Terima USD60.000 dan SGD80.000
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Risyanto Suanda selaku Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia menerima suap sebesar USD30.000 dan gratifikasi sejumlah USD30.000 dan SGD80.000.
Dakwaan itu dibacakan bergantian oleh JPU yang dipimpin Mohamad Nur Azis dan Dormian dengan anggota Dame Maria Silaban dan Yosi Andika Herlambang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (12/2/2020).
JPU Mohamad Nur Azis mengatakan, terdakwa Risyanto Suanda selaku Direktur Utama Perum Perindo yang merupakan penyelenggara negara telah melakukan perbuatan pidana penerimaan suap sebesar USD30.000 dari terdakwa pemberi Direktur Utama PT Navy Arsa Sejahtera Mujib Mustofa (dituntut 2 tahun penjara).
Perbuatan Risyanto bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pasal 97 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9/2013 tentang Perusahaan Umum (Perum) Perikanan Indonesia, dan Pasal 23 Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa pemberian uang suap tersebut sebagai akibat atau disebabkan karena Terdakwa telah menyetujui Mujib Mustofa untuk memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan berupa Frozen Pasific Mackarel/Scomber Japonicus (ikan salem) milik Perum Perindo," kata JPU Azis.
Dia mengungkapkan Perum Perikanan Indonesia merupakan perusahaan BUMN yang melakukan kegiatan usaha utama pada tujuh kegiatan. Pertama, pelayanan jasa tambat labuh pasca penyelesaian administrasi (clearance) oleh instansi yang berwenang di Pelabuhan Perikanan, pelayanan jasa bongkar muat hingga pengelolaan sarana dan prasarana perikanan.
Kedua, penyelenggaraan penyaluran benih ikan, pakan, dan sarana produksi lainnya. Ketiga, penyelenggaraan usaha budi daya sumber daya ikan. Keempat, penyelenggaraan pengolahan hasil perikanan. Kelima, penyelenggaraan pemasaran ikan hias dan pengelolaan pasar ikan hygienis. Keenam, penyelenggaraan perdagangan ikan dan produk Perikanan. Ketujuh, penyelenggaraan perdagangan lainnya yang terkait dengan bisnis perikanan.
"Dalam kegiatannya Perum Perikanan Indonesia dapat mengajukan Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan (RPHP) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan," bebernya.
JPU Azis memaparkan, proses pemberian dan penerimaan suap bermula pada Januari 2019. Bulan itu, Risyanto yang menjabat sebagai Dirut Perum Perikanan Indonesia bertemu dengan Mujib.
Mujib adalah pengusaha di bidang perikanan yang selama ini memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan frozen pasific mackarel/scomber japonicus (ikan salem) milik Perum Perindo sekaligus pemilik perusahaan pengurusan jasa kepabeanan. Saat pertemuan, Risyanto dan Mujib membicarakan peluang kerjasama antara Perum Perindo dengan Mujib.
Berikutnya Perum Perikanan Indonesia mengajukan permohonan RPHP frozen pasific makarel sebanyak 2.000 ton ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal Juli 2019.
Kementerian hanya menyetujui sebanyak 500 ton pada akhir Juli. Kemudian Kementerian Perdagangan juga menyetujui dan memberikan persetujuan impor sebanyak 500 ton pada pertengahan Agustus 2019.
JPU Azis melanjutkan, setelah persetujuan impor terbit Risyanto melakukan rapat dengan Aslam Basir selaku Kepala Divisi Sales dan Sigit selaku Plt Kepala Divisi Pengelolaan Hasil Perikanan.
Risyanto, kata JPU, menyetujui nama-nama pihak yang dapat memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan berupa frozen pasific mackarel milik Perum Perikanan Indonesia, yakni Tan, Mujib, Rudi, dan Desmond berikut jumlah kuota untuk masing-masing nama tersebut. Khusus untuk Mujib mendapatkan jatah impor 150 ton.
Setelah itu, Mujib menghubungi Direktur PT Sanjaya Internasional Fishery (SIF) Antoni untuk memanfaatkan persetujuan impor tersebut sebagaimana praktek sebelumnya.
Atas tawaran tersebut, Antoni menerimanya dan mencari pemasok dari China untuk memenuhi kebutuhan ikan salem dan mendapat perusahaan Tengxiang (Shishi) Marine Product Co Ltd. Impor kemudian terjadi dua tahap. Masing-masing 100 ton pada 6 September dan 50 ton pada 13 September.
Selanjutnya Risyanto bertemu dengan Muji di Hotel Mulia Jakarta pada 16 September 2019. Mujib mengusulkan ke Risyanto agar Perum Perikanan Indonesia mengajukan impor komoditas perikanan lain dan Risyanto menyanggupinya. Dalam pertemuan, Risyanto juga meminta Mujib untuk menyiapkan uang sejumlah USD30.000.
Atas permintaan itu, Mujib menyanggupinya. Akhirnya uang tersebut diserahkan Mujib ke Risyanto lewat orang suruhan Risyanto yakni Adi Susilo alias Mahmud pada 23 September 2019 di Cascade Lounge Hotel Mulia Senayan.
JPU Yosi Andika Herlambang memaparkan dakwaan kedua tentang penerimaan gratifikasi. JPU Yosi mengungkapkan, Risyanto Suanda selaku Dirut Perum Perindo telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yakni menerima gratifikasi dengan total USD30.000 dan SGD80.000 dari tiga orang.
Pertama, sejumlah USD30.000 dari Richard Alexander Anthony selaku Komisaris PT Inti Samudera Hasilindo. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan hasil perikanan. Dalam melaksanakan usahanya tersebut PT Inti Samudera Hasilindo bekerja sama dengan Perum Perindo termasuk juga kerjasama penyewaan lahan milik Perum Perikanan Indonesia seluas 540 meter per segi dan 14.000 meter per segi di Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Penerimaan gratifikasi dari Richard terjadi pada Februari 2019.
Kedua, sebesar SGD30,000 dari Desmond Previn yang merupakan pengusaha di bidang perikanan dan salah satu orang yang memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan milik Perum Perikanan Indonesia. Penerimaan gratifikasi dari Desmond berlangsung pada 9 Juli 2019.
Ketiga, sejumlah SGD50.000 dari Juniusco Cuaca alias Jack Hoa alias Jack Yfin selaku Direktur Utama PT Yfin Internasional. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor hasil perikanan.
Dalam melaksanakan usahanya tersebut PT Yfin Internasional bekerjasama dengan Perum Perindo termasuk juga kerjasama penyewaan lahan milik Perum Perikanan Indonesia seluas 160 meter per segi di Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Penerimaan gratifikasi ini terjadi pada 16 September 2019.
JPU Yosi menegaskan, sejak menerima gratifikasi dari Richard, Desmond, dan Jack Yfin, Risyanto tidak melaporkan ke KPK sampai dengan batas waktu 30 hari sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, tutur JPU Yosi, penerimaan-penerimaan uang gratifikasi itu tidak ada alasan hak yang sah menurut hukum.
"Bahwa perbuatan terdakwa menerima gratifikasi dalam bentuk uang sebesar USD30.000 dari Richard Alexander Anthony, sebesar SGD30.000 dari Desmond Previn, dan sebesar SGD50.000 dari Juniusco Cuaca alias Jack Hoa alias Jack Yfin haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu selaku Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia," tutur JPU Yosi.
Dakwaan itu dibacakan bergantian oleh JPU yang dipimpin Mohamad Nur Azis dan Dormian dengan anggota Dame Maria Silaban dan Yosi Andika Herlambang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (12/2/2020).
JPU Mohamad Nur Azis mengatakan, terdakwa Risyanto Suanda selaku Direktur Utama Perum Perindo yang merupakan penyelenggara negara telah melakukan perbuatan pidana penerimaan suap sebesar USD30.000 dari terdakwa pemberi Direktur Utama PT Navy Arsa Sejahtera Mujib Mustofa (dituntut 2 tahun penjara).
Perbuatan Risyanto bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pasal 97 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9/2013 tentang Perusahaan Umum (Perum) Perikanan Indonesia, dan Pasal 23 Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa pemberian uang suap tersebut sebagai akibat atau disebabkan karena Terdakwa telah menyetujui Mujib Mustofa untuk memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan berupa Frozen Pasific Mackarel/Scomber Japonicus (ikan salem) milik Perum Perindo," kata JPU Azis.
Dia mengungkapkan Perum Perikanan Indonesia merupakan perusahaan BUMN yang melakukan kegiatan usaha utama pada tujuh kegiatan. Pertama, pelayanan jasa tambat labuh pasca penyelesaian administrasi (clearance) oleh instansi yang berwenang di Pelabuhan Perikanan, pelayanan jasa bongkar muat hingga pengelolaan sarana dan prasarana perikanan.
Kedua, penyelenggaraan penyaluran benih ikan, pakan, dan sarana produksi lainnya. Ketiga, penyelenggaraan usaha budi daya sumber daya ikan. Keempat, penyelenggaraan pengolahan hasil perikanan. Kelima, penyelenggaraan pemasaran ikan hias dan pengelolaan pasar ikan hygienis. Keenam, penyelenggaraan perdagangan ikan dan produk Perikanan. Ketujuh, penyelenggaraan perdagangan lainnya yang terkait dengan bisnis perikanan.
"Dalam kegiatannya Perum Perikanan Indonesia dapat mengajukan Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan (RPHP) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan," bebernya.
JPU Azis memaparkan, proses pemberian dan penerimaan suap bermula pada Januari 2019. Bulan itu, Risyanto yang menjabat sebagai Dirut Perum Perikanan Indonesia bertemu dengan Mujib.
Mujib adalah pengusaha di bidang perikanan yang selama ini memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan frozen pasific mackarel/scomber japonicus (ikan salem) milik Perum Perindo sekaligus pemilik perusahaan pengurusan jasa kepabeanan. Saat pertemuan, Risyanto dan Mujib membicarakan peluang kerjasama antara Perum Perindo dengan Mujib.
Berikutnya Perum Perikanan Indonesia mengajukan permohonan RPHP frozen pasific makarel sebanyak 2.000 ton ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada awal Juli 2019.
Kementerian hanya menyetujui sebanyak 500 ton pada akhir Juli. Kemudian Kementerian Perdagangan juga menyetujui dan memberikan persetujuan impor sebanyak 500 ton pada pertengahan Agustus 2019.
JPU Azis melanjutkan, setelah persetujuan impor terbit Risyanto melakukan rapat dengan Aslam Basir selaku Kepala Divisi Sales dan Sigit selaku Plt Kepala Divisi Pengelolaan Hasil Perikanan.
Risyanto, kata JPU, menyetujui nama-nama pihak yang dapat memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan berupa frozen pasific mackarel milik Perum Perikanan Indonesia, yakni Tan, Mujib, Rudi, dan Desmond berikut jumlah kuota untuk masing-masing nama tersebut. Khusus untuk Mujib mendapatkan jatah impor 150 ton.
Setelah itu, Mujib menghubungi Direktur PT Sanjaya Internasional Fishery (SIF) Antoni untuk memanfaatkan persetujuan impor tersebut sebagaimana praktek sebelumnya.
Atas tawaran tersebut, Antoni menerimanya dan mencari pemasok dari China untuk memenuhi kebutuhan ikan salem dan mendapat perusahaan Tengxiang (Shishi) Marine Product Co Ltd. Impor kemudian terjadi dua tahap. Masing-masing 100 ton pada 6 September dan 50 ton pada 13 September.
Selanjutnya Risyanto bertemu dengan Muji di Hotel Mulia Jakarta pada 16 September 2019. Mujib mengusulkan ke Risyanto agar Perum Perikanan Indonesia mengajukan impor komoditas perikanan lain dan Risyanto menyanggupinya. Dalam pertemuan, Risyanto juga meminta Mujib untuk menyiapkan uang sejumlah USD30.000.
Atas permintaan itu, Mujib menyanggupinya. Akhirnya uang tersebut diserahkan Mujib ke Risyanto lewat orang suruhan Risyanto yakni Adi Susilo alias Mahmud pada 23 September 2019 di Cascade Lounge Hotel Mulia Senayan.
JPU Yosi Andika Herlambang memaparkan dakwaan kedua tentang penerimaan gratifikasi. JPU Yosi mengungkapkan, Risyanto Suanda selaku Dirut Perum Perindo telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yakni menerima gratifikasi dengan total USD30.000 dan SGD80.000 dari tiga orang.
Pertama, sejumlah USD30.000 dari Richard Alexander Anthony selaku Komisaris PT Inti Samudera Hasilindo. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan hasil perikanan. Dalam melaksanakan usahanya tersebut PT Inti Samudera Hasilindo bekerja sama dengan Perum Perindo termasuk juga kerjasama penyewaan lahan milik Perum Perikanan Indonesia seluas 540 meter per segi dan 14.000 meter per segi di Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Penerimaan gratifikasi dari Richard terjadi pada Februari 2019.
Kedua, sebesar SGD30,000 dari Desmond Previn yang merupakan pengusaha di bidang perikanan dan salah satu orang yang memanfaatkan persetujuan impor hasil perikanan milik Perum Perikanan Indonesia. Penerimaan gratifikasi dari Desmond berlangsung pada 9 Juli 2019.
Ketiga, sejumlah SGD50.000 dari Juniusco Cuaca alias Jack Hoa alias Jack Yfin selaku Direktur Utama PT Yfin Internasional. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor-impor hasil perikanan.
Dalam melaksanakan usahanya tersebut PT Yfin Internasional bekerjasama dengan Perum Perindo termasuk juga kerjasama penyewaan lahan milik Perum Perikanan Indonesia seluas 160 meter per segi di Muara Baru Ujung, Jakarta Utara. Penerimaan gratifikasi ini terjadi pada 16 September 2019.
JPU Yosi menegaskan, sejak menerima gratifikasi dari Richard, Desmond, dan Jack Yfin, Risyanto tidak melaporkan ke KPK sampai dengan batas waktu 30 hari sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, tutur JPU Yosi, penerimaan-penerimaan uang gratifikasi itu tidak ada alasan hak yang sah menurut hukum.
"Bahwa perbuatan terdakwa menerima gratifikasi dalam bentuk uang sebesar USD30.000 dari Richard Alexander Anthony, sebesar SGD30.000 dari Desmond Previn, dan sebesar SGD50.000 dari Juniusco Cuaca alias Jack Hoa alias Jack Yfin haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas terdakwa selaku Penyelenggara Negara yaitu selaku Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia," tutur JPU Yosi.
(dam)