Pertumbuhan Ekonomi Meleset dari Target
A
A
A
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia yang meleset dari target sudah diprediksi sebelumnya. Merujuk pada publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap pertumbuhan ekonomi hanya tercatat 5,02% secara tahunan (year on year/yoy) sepanjang 2019 atau terjadi penurunan sekitar 0,15% dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,17%. Sebelumnya pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2%. Selama tiga bulan pada pengujung 2019 perlambatan pertumbuhan ekonomi sudah memberi sinyal buruk.
Terbukti, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat melambat dan hanya tercatat sekitar 4,97%, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. BPS menyebut perlambatan perekonomian global salah satu faktor utama pemicu perlambatan ekonomi Indonesia, yakni dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu adalah yang terendah dalam empat tahun terakhir.
Selain faktor perekenomian global yang tidak bersahabat terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, masalah internal juga berkontribusi besar sebagai akibat dari pertumbuhan industri pengolahan yang melambat cukup dalam. Industri pengolahan pada triwulan keempat 2019, berdasarkan data sajian BPS hanya menunjukkan pertumbuhan sekitar 3,66% bandingkan periode yang sama pada 2018 dengan pencapaian 4,25%.
Dampak dari melemahnya pertumbuhan tersebut menjadikan kontribusi industri pada pertumbuhan ekonomi mengecil menjadi 19,7% atau lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 19,86%. Lalu, sektor apa saja yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga tetap bertengger di atas 5% sedikit? Berdasarkan data BPS ternyata konsumsi rumah tangga berkontribusi 2,73%, disusul sektor investasi sekitar 1,47%.
Sementara itu, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi secara wilayah masih berasal dari Jawa dengan sumbangan 59%. Menyusul Sumatera dengan sumbangsih sekitar 21,32%, kemudian Kalimantan 8,05%, lalu Sulawesi 6,33%, Bali dan Nusa Tenggara dengan porsi 3,06%, serta Maluku dan Papua berkontribusi 2,24%. Meski pertumbuhan ekonomi meleset dari target yang dipatok dalam APBN 2019 sekitar 5,2%, namun realisasinya sebesar 5,02% tetap berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita yang kini tercatat pada level Rp59,1 juta atau setara dengan USD4.175.
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengecewakan dengan rata-rata sedikit di atas 5%, angka itu jauh dari janji Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) pada 2014 yang menyebut siap mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh angka 7%. Ketika itu, Jokowi penuh optimisme akan menggenjot angka pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan tiga hal, yakni investasi, regulasi, dan peningkatan ekspor berbasis industri. Ditegaskan, iklim investasi dan regulasi harus bersahabat terhadap investor, baik asing maupun domestik sehingga dapat bergerak cepat tanpa hambatan dalam memutar roda pertumbuhan ekonomi. Untuk ekspor berbasis industri pemerintah tidak hanya fokus pada industri besar, tetapi juga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi industri kecil.
Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 tidak sesuai target, Presiden Jokowi menyatakan patut disyukuri karena masih di atas 5% dan berada di atas sejumlah negara, bahkan tertinggi kedua di antara negara-negara yang tergabung di ldalam G-20. Negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi diduduki China, 6,1%, namun terendah sepanjang 30 tahun terakhir dalam pertumbuhan ekonomi Negeri Panda itu.
Mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, sebagaimana dituturkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, sangat sulit dalam kondisi yang tidak menentu, terutama karena tekanan perekonomian global yang tak kunjung menunjukkan perbaikan. Meski demikian, Jokowi meminta masyarakat untuk tidak bersikap pesimistis mengingat sejumlah lembaga internasional tetap memberi apresiasi positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia, misalnya peringkat utang Indonesia dari BBB menjadi BBB+ yang disematkan Japan Credit Rating Agency, Ltd.
Lalu bagaimana prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Pemerintah telah mematok angka 5,3%, namun sebuah target yang riskan tercapai menyusul kasus virus korona yang telah mengganggu roda perekonomian Negeri Tirai Bambu. Sebagai dampak kinerja ekonomi China yang tertekan pada kuartal pertama ini akan menekan kinerja ekspor. Sebab, China adalah pasar tradisional ekspor Indonesia selain AS dan Jepang. Selama ini China menyerap 16% dari seluruh ekspor Indonesia. Artinya, bila perekonomian China melemah maka daya serap ekspor pun menurun. Sementara itu, berharap dari penyederhanaan regulasi melaluiomnibus lawyang diharapkan tuntas pertengahan tahun ini, tidak bisa serta-merta membuat investor berbondong-bondong menanamkan modal. Memang, tidak boleh pesimistis menghadapi keadaan, tetapi realitas jangan diabaikan.
Terbukti, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat melambat dan hanya tercatat sekitar 4,97%, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya. BPS menyebut perlambatan perekonomian global salah satu faktor utama pemicu perlambatan ekonomi Indonesia, yakni dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu adalah yang terendah dalam empat tahun terakhir.
Selain faktor perekenomian global yang tidak bersahabat terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, masalah internal juga berkontribusi besar sebagai akibat dari pertumbuhan industri pengolahan yang melambat cukup dalam. Industri pengolahan pada triwulan keempat 2019, berdasarkan data sajian BPS hanya menunjukkan pertumbuhan sekitar 3,66% bandingkan periode yang sama pada 2018 dengan pencapaian 4,25%.
Dampak dari melemahnya pertumbuhan tersebut menjadikan kontribusi industri pada pertumbuhan ekonomi mengecil menjadi 19,7% atau lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 19,86%. Lalu, sektor apa saja yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga tetap bertengger di atas 5% sedikit? Berdasarkan data BPS ternyata konsumsi rumah tangga berkontribusi 2,73%, disusul sektor investasi sekitar 1,47%.
Sementara itu, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi secara wilayah masih berasal dari Jawa dengan sumbangan 59%. Menyusul Sumatera dengan sumbangsih sekitar 21,32%, kemudian Kalimantan 8,05%, lalu Sulawesi 6,33%, Bali dan Nusa Tenggara dengan porsi 3,06%, serta Maluku dan Papua berkontribusi 2,24%. Meski pertumbuhan ekonomi meleset dari target yang dipatok dalam APBN 2019 sekitar 5,2%, namun realisasinya sebesar 5,02% tetap berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita yang kini tercatat pada level Rp59,1 juta atau setara dengan USD4.175.
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengecewakan dengan rata-rata sedikit di atas 5%, angka itu jauh dari janji Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) pada 2014 yang menyebut siap mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga menyentuh angka 7%. Ketika itu, Jokowi penuh optimisme akan menggenjot angka pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan tiga hal, yakni investasi, regulasi, dan peningkatan ekspor berbasis industri. Ditegaskan, iklim investasi dan regulasi harus bersahabat terhadap investor, baik asing maupun domestik sehingga dapat bergerak cepat tanpa hambatan dalam memutar roda pertumbuhan ekonomi. Untuk ekspor berbasis industri pemerintah tidak hanya fokus pada industri besar, tetapi juga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi industri kecil.
Kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 tidak sesuai target, Presiden Jokowi menyatakan patut disyukuri karena masih di atas 5% dan berada di atas sejumlah negara, bahkan tertinggi kedua di antara negara-negara yang tergabung di ldalam G-20. Negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi diduduki China, 6,1%, namun terendah sepanjang 30 tahun terakhir dalam pertumbuhan ekonomi Negeri Panda itu.
Mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, sebagaimana dituturkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, sangat sulit dalam kondisi yang tidak menentu, terutama karena tekanan perekonomian global yang tak kunjung menunjukkan perbaikan. Meski demikian, Jokowi meminta masyarakat untuk tidak bersikap pesimistis mengingat sejumlah lembaga internasional tetap memberi apresiasi positif terhadap kinerja ekonomi Indonesia, misalnya peringkat utang Indonesia dari BBB menjadi BBB+ yang disematkan Japan Credit Rating Agency, Ltd.
Lalu bagaimana prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Pemerintah telah mematok angka 5,3%, namun sebuah target yang riskan tercapai menyusul kasus virus korona yang telah mengganggu roda perekonomian Negeri Tirai Bambu. Sebagai dampak kinerja ekonomi China yang tertekan pada kuartal pertama ini akan menekan kinerja ekspor. Sebab, China adalah pasar tradisional ekspor Indonesia selain AS dan Jepang. Selama ini China menyerap 16% dari seluruh ekspor Indonesia. Artinya, bila perekonomian China melemah maka daya serap ekspor pun menurun. Sementara itu, berharap dari penyederhanaan regulasi melaluiomnibus lawyang diharapkan tuntas pertengahan tahun ini, tidak bisa serta-merta membuat investor berbondong-bondong menanamkan modal. Memang, tidak boleh pesimistis menghadapi keadaan, tetapi realitas jangan diabaikan.
(mhd)