PVMBG: Waspada Curah Hujan Tinggi Berpotensi Pemicu Longsor
A
A
A
BOGOR - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengungkapkan, curah hujan yang tinggi berpotensi menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah atau longsor.
Kepala Tim Tanggap Darurat Gerakan Tanah PVMBG, Edi Mulyadi, meminta masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki kemiringan tinggi atau lereng untuk waspada.
(Baca juga: BMKG Sebut Fenomena Bencana Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim )
Hal ini dikatakan Edi dalam diskusi panel Rapat Koordinasi Nasional Badan Penanggulangan Bencana 2020 dengan tema ‘Ancaman Hidrometeorologi: Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor, Puting Beliung, Abrasi’ di Indonesia Disaster Relief Training Ground (Ina DRTG) Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bogor, Jawa Barat (3/2/2020).
"Peningkatan curah hujan tinggi saat ini memicu terjadinya gerakan tanah," ungkap Edi.
Selain itu jelas Edi, gerakan tanah bisa akibat gempa bumi maupun letusan gunung api. "Jadi, setiap wilayah, setiap tempat di negeri kita ini memiliki tingkat kerawanan tertentu. Dan tingkatnya kita bisa representasikan dalam zona peta kerentanan gerakan tanah," jelasnya.
Edi menjelaskan penyebab terjadi gerakan tanah di Indonesia. Karena kondisi geologi tanah dan batuan yang ada.
"Kondisi bentang alam, dengan kemiringan lereng juga pengaruh, kemudian dari tataan air atau hidrogeologi yang berada di wilayah tertentu dan tata guna lahan yang berubah," ungkap Edi.
Menurutnya, tingkat kerawanan gerakan tanah berkisar dari tinggi sampai ke sangat rendah. "Tingkat kerawanan gerakan tanah sangat beresiko tinggi jika pada daerah atau wilayah yang tingkat kerawanannya tinggi itu dihuni oleh bayak penduduk," tuturnya.
"Dan banyak aktivitas yang dilakukan di daerah tersebut juga banyak dilakukan pembangunan di daerah yang beresiko gerakan tanah itu," tambahnya.
Tingkat risiko yang tinggi, kata Edi perlu dikurangi dengan penanggulangan bencana secara menyeluruh dan terorganisasi dari berbagai instansi.
"Bisa dilakukan pemulihan maupun mitigasi serta pemulihan tanah itu. Kita telah melakukan kajian geomorfologi sehingga dapat dilakukan early warning terjadinya potensi gerakan tanah," ungkapnya.
PVMBG, kata Edi juga terus melakukan koordinasi dan monitoring dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk memonitoring cuaca.
"Dalam hal ini memonitoring cuaca dalam skala regional dan bulanan. Kerjasama ini agar kita tahu lebih rinci agar prakiraan yang kita buat lebih detail lagi mengenai potensi gerakan tanah di Indonesia," katanya.
Untuk mengurangi potensi bencana akibat gerakan tanah PVMBG merekomendasikan untuk tidak membangun bangunan di wilayah yang memiliki kemiringan tinggi seperti lereng dan bantaran-bantaran sungai.
"Maka jangan membangun di daerah yang kosong jika tingkat kerawanannya tinggi sesuai zona peta kerentanan gerakan tanah. Kami juga merekomendasikan untuk tidak membangun bangunan yang menimbulkan konsentrasi orang di bantaran-bantaran sungai atau lereng yang berkemiringan sedang atau tinggi," tegas Edi.
Kepala Tim Tanggap Darurat Gerakan Tanah PVMBG, Edi Mulyadi, meminta masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki kemiringan tinggi atau lereng untuk waspada.
(Baca juga: BMKG Sebut Fenomena Bencana Hidrometeorologi Akibat Perubahan Iklim )
Hal ini dikatakan Edi dalam diskusi panel Rapat Koordinasi Nasional Badan Penanggulangan Bencana 2020 dengan tema ‘Ancaman Hidrometeorologi: Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor, Puting Beliung, Abrasi’ di Indonesia Disaster Relief Training Ground (Ina DRTG) Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bogor, Jawa Barat (3/2/2020).
"Peningkatan curah hujan tinggi saat ini memicu terjadinya gerakan tanah," ungkap Edi.
Selain itu jelas Edi, gerakan tanah bisa akibat gempa bumi maupun letusan gunung api. "Jadi, setiap wilayah, setiap tempat di negeri kita ini memiliki tingkat kerawanan tertentu. Dan tingkatnya kita bisa representasikan dalam zona peta kerentanan gerakan tanah," jelasnya.
Edi menjelaskan penyebab terjadi gerakan tanah di Indonesia. Karena kondisi geologi tanah dan batuan yang ada.
"Kondisi bentang alam, dengan kemiringan lereng juga pengaruh, kemudian dari tataan air atau hidrogeologi yang berada di wilayah tertentu dan tata guna lahan yang berubah," ungkap Edi.
Menurutnya, tingkat kerawanan gerakan tanah berkisar dari tinggi sampai ke sangat rendah. "Tingkat kerawanan gerakan tanah sangat beresiko tinggi jika pada daerah atau wilayah yang tingkat kerawanannya tinggi itu dihuni oleh bayak penduduk," tuturnya.
"Dan banyak aktivitas yang dilakukan di daerah tersebut juga banyak dilakukan pembangunan di daerah yang beresiko gerakan tanah itu," tambahnya.
Tingkat risiko yang tinggi, kata Edi perlu dikurangi dengan penanggulangan bencana secara menyeluruh dan terorganisasi dari berbagai instansi.
"Bisa dilakukan pemulihan maupun mitigasi serta pemulihan tanah itu. Kita telah melakukan kajian geomorfologi sehingga dapat dilakukan early warning terjadinya potensi gerakan tanah," ungkapnya.
PVMBG, kata Edi juga terus melakukan koordinasi dan monitoring dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk memonitoring cuaca.
"Dalam hal ini memonitoring cuaca dalam skala regional dan bulanan. Kerjasama ini agar kita tahu lebih rinci agar prakiraan yang kita buat lebih detail lagi mengenai potensi gerakan tanah di Indonesia," katanya.
Untuk mengurangi potensi bencana akibat gerakan tanah PVMBG merekomendasikan untuk tidak membangun bangunan di wilayah yang memiliki kemiringan tinggi seperti lereng dan bantaran-bantaran sungai.
"Maka jangan membangun di daerah yang kosong jika tingkat kerawanannya tinggi sesuai zona peta kerentanan gerakan tanah. Kami juga merekomendasikan untuk tidak membangun bangunan yang menimbulkan konsentrasi orang di bantaran-bantaran sungai atau lereng yang berkemiringan sedang atau tinggi," tegas Edi.
(maf)