Din Syamsuddin: Pancasila-UUD 1945 Tampilkan Prinsip Jalan Tengah Islam
A
A
A
KAIRO - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin memaparkan peran penting organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia dalam pembaruan pemikiran Islam.
Hal itu disampaikan Din Syamsuddin saat berbicara dalam konferensi tentang Pembaruan Pemikiran Islam yang diadakan Al-Azhar, Kairo, Mesir sejak Minggu, 26 Januari 2020. Konferensi yang diselenggarakan atas arahan Presiden Mesir Abdul Fattah Asisi dan Syaikh Al-Azhar Ahmad Thoyyib ini dihadiri sekitar 300 tokoh ulama dan cendekiawan Muslim dari 41 negara.
Dari Indonesia konferensi tersebut dihadiri oleh anggota Majelis Hukama Islam Dunia Quraish Shihab, Ketua Asosiasi Alumni Al-Azhar, TGB Zainul Majdi, Direktur Museum Al-Qur’an Mukhlis Hanafi, dan Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, KH. Anizar Masyhadi.
Dalam kegiatan tersebut, Din Syamsuddin mendapat giliran berbicara pada sesi pertama setelah pembukaan yang dipimpin mantan Sekjen OKI dari Turki Akmal Ehsanoglu. Selain Din Syamsuddin, tampil pula Presiden Dewan Islam Bahrain Syaikh Abd. Rahman al-Khalifa, dan Rektor Universitas Al-Azhar Mohammad Al-Mahrasawy.
Dalam ceramahnya Din Syamsuddin menjelaskan peran Ormas-ormas Islam di Indonesia dalam pembaruan pemikiran Islam. Menurut Din, peran itu sangat nyata pada perumusan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kenegaraan yang menghasilkan dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945. Keduanya, menurut Din Syamsuddin, mengandung dan merupakan kristalisasi nilai-nilai Islam.
Pandangan ini pernah juga dinyatakan oleh Syaikh Al-Azhar, Ahmad Thoyib pada pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim yang membahas tentang Wasatiyyat Islam, di Bogor pada Mei 2018. Menurut Syaikh Al-Azhar yang menjadi pembicara kunci waktu itu bahwa Pancasila bersifat Islami karena mengandung nilai-nilai Islam.
Tentang keislaman Pancasila dan UUD 1945, Din Syamsuddin lebih lanjut menjelaskan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persaudaraan/persatuan, permusyawaratan, dan keadilan merupakan nilai-nilai Islam utama. Begitu pula, arsitektur ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia merupakan manifestasi pemikiran politik dalam paradigma Sunni.
Baik Pancasila maupun UUD 1945, tegas Din Syamsuddin, menampilkan prinsip Jalan Tengah Islam (Wasatiyyat Islam). Sebagai contoh, menurut Din, prinsip perekonomian konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 merupakan jalan tengah karena tidak condong kepada kapitalisme dan juga sosialisme. ”Prinsip tersebut menekankan kegotongroyongan dan kekeluargaan, dua ajaran Islam yang sentral,” katanya.
Pada bagian lain ceramahnya, Din Syamsuddin mengatakan, hal itulah yang mendorong dua Ormas Islam besar, yaitu NU dan Muhammadiyah menegaskan Negara Pancasila adalah ideal dan final (NU), dan Negara Pancasila merupakan Darul ‘Ahdi was Syahadah atau negara kesepakatan dan negara pembuktian.
Din Syamsuddin, yang juga Guru Besar Politik Islam Global, mengatakan kepada para ulama dan cendekiawan Muslim yang hadir bahwa rancang bangun Negara Kebangsaan Indonesia merupakan ijtihad politik para pendiri bangsa yang di dalamnya terdapat sejumlah tokoh Islam. Pembaruan pemikiran Islam, menurut Din Syamsuddin, perlu bersifat kontekstual dan mempertimbangkan latar sosio-historis dan dan sosial-budaya umat Islam.
Khusus konteks Indonesia, Din menambahkan satu pertimbangan penting yakni faktor kemajemukan bangsa. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu, di Indonesia hubungan agama dan negara bersifat simbiotis-mutualistis (saling memerlukan). Maka seyogyanya tidak terdapat ketegangan antara negara dan Islam atau umat Islam. ”Harmoni hubungan akan tetap terpelihara jika semua pihak mengamalkan Pancasila secara konsekuen dan konsisten,” ujarnya.
Ceramah Din Syamsuddin soal ijtihad Indonesia tentang hubungan Islam dan negara, dikaitkan dengan prinsip Jalan Tengah Islam mengundang komentar positif dari beberapa peserta, termasuk dari moderator Ekmal Ehsanoglu, yang merupakan mantan Sekjen Organisasi Kerja sama Islam itu.
Hal itu disampaikan Din Syamsuddin saat berbicara dalam konferensi tentang Pembaruan Pemikiran Islam yang diadakan Al-Azhar, Kairo, Mesir sejak Minggu, 26 Januari 2020. Konferensi yang diselenggarakan atas arahan Presiden Mesir Abdul Fattah Asisi dan Syaikh Al-Azhar Ahmad Thoyyib ini dihadiri sekitar 300 tokoh ulama dan cendekiawan Muslim dari 41 negara.
Dari Indonesia konferensi tersebut dihadiri oleh anggota Majelis Hukama Islam Dunia Quraish Shihab, Ketua Asosiasi Alumni Al-Azhar, TGB Zainul Majdi, Direktur Museum Al-Qur’an Mukhlis Hanafi, dan Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah, KH. Anizar Masyhadi.
Dalam kegiatan tersebut, Din Syamsuddin mendapat giliran berbicara pada sesi pertama setelah pembukaan yang dipimpin mantan Sekjen OKI dari Turki Akmal Ehsanoglu. Selain Din Syamsuddin, tampil pula Presiden Dewan Islam Bahrain Syaikh Abd. Rahman al-Khalifa, dan Rektor Universitas Al-Azhar Mohammad Al-Mahrasawy.
Dalam ceramahnya Din Syamsuddin menjelaskan peran Ormas-ormas Islam di Indonesia dalam pembaruan pemikiran Islam. Menurut Din, peran itu sangat nyata pada perumusan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kenegaraan yang menghasilkan dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945. Keduanya, menurut Din Syamsuddin, mengandung dan merupakan kristalisasi nilai-nilai Islam.
Pandangan ini pernah juga dinyatakan oleh Syaikh Al-Azhar, Ahmad Thoyib pada pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim yang membahas tentang Wasatiyyat Islam, di Bogor pada Mei 2018. Menurut Syaikh Al-Azhar yang menjadi pembicara kunci waktu itu bahwa Pancasila bersifat Islami karena mengandung nilai-nilai Islam.
Tentang keislaman Pancasila dan UUD 1945, Din Syamsuddin lebih lanjut menjelaskan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persaudaraan/persatuan, permusyawaratan, dan keadilan merupakan nilai-nilai Islam utama. Begitu pula, arsitektur ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia merupakan manifestasi pemikiran politik dalam paradigma Sunni.
Baik Pancasila maupun UUD 1945, tegas Din Syamsuddin, menampilkan prinsip Jalan Tengah Islam (Wasatiyyat Islam). Sebagai contoh, menurut Din, prinsip perekonomian konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 merupakan jalan tengah karena tidak condong kepada kapitalisme dan juga sosialisme. ”Prinsip tersebut menekankan kegotongroyongan dan kekeluargaan, dua ajaran Islam yang sentral,” katanya.
Pada bagian lain ceramahnya, Din Syamsuddin mengatakan, hal itulah yang mendorong dua Ormas Islam besar, yaitu NU dan Muhammadiyah menegaskan Negara Pancasila adalah ideal dan final (NU), dan Negara Pancasila merupakan Darul ‘Ahdi was Syahadah atau negara kesepakatan dan negara pembuktian.
Din Syamsuddin, yang juga Guru Besar Politik Islam Global, mengatakan kepada para ulama dan cendekiawan Muslim yang hadir bahwa rancang bangun Negara Kebangsaan Indonesia merupakan ijtihad politik para pendiri bangsa yang di dalamnya terdapat sejumlah tokoh Islam. Pembaruan pemikiran Islam, menurut Din Syamsuddin, perlu bersifat kontekstual dan mempertimbangkan latar sosio-historis dan dan sosial-budaya umat Islam.
Khusus konteks Indonesia, Din menambahkan satu pertimbangan penting yakni faktor kemajemukan bangsa. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu, di Indonesia hubungan agama dan negara bersifat simbiotis-mutualistis (saling memerlukan). Maka seyogyanya tidak terdapat ketegangan antara negara dan Islam atau umat Islam. ”Harmoni hubungan akan tetap terpelihara jika semua pihak mengamalkan Pancasila secara konsekuen dan konsisten,” ujarnya.
Ceramah Din Syamsuddin soal ijtihad Indonesia tentang hubungan Islam dan negara, dikaitkan dengan prinsip Jalan Tengah Islam mengundang komentar positif dari beberapa peserta, termasuk dari moderator Ekmal Ehsanoglu, yang merupakan mantan Sekjen Organisasi Kerja sama Islam itu.
(cip)