Pembentukan DKN Jangan Dijadikan sebagai Upah Politik
A
A
A
JAKARTA - Dinilai tak memiliki urgensi, rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) diwanti-wanti jangan dipaksakan karena utang politik.
Hal itu disampaikan Koordinator Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyikapi wacana pembentukan DKN. Bila pembentukan DKN dipaksakan karena utang politik, dikhawatirkan Julius, rekomendasi disampaikan kepada presiden lebih condong merupakan kepentingan politik.
“Jangan sampai DKN hadir ini jadi upah politik. Ini bahaya. Keputusan yang muncul nantinya merupakan keputusan politik sepihak,” pesan Julius ketika diskusi bertema Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di Komnas HAM, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Ia menuturkan, selama ini draft DKN dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sipil. Pemaparan dan pembahasan draft hanya dilakukan di lingkungan terbatas seperti di Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Bappenas dan TNI.
Julius menilai upaya pembentukan DKN tak lepas dari langkah kewenangan yang kandas lantaran Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) mendapat penolakan hingga tak disahkan parlemen.
“Pemaparan (DKN) sudah di Wantanas, Bappenas, dan TNI. Kebiasaan buruk dalam menyusun kebijakan dari pemerintah. Ketika RUU gagal kemudian dilemparkan ke ruang yang lebih sempit,” kata Julius.
“Belum ada undangan kepada masyarakat sipil terkait draft DKN. Tertutup. Sehingga tidak berpihak pada masyarakat. Selalu akan diidentikkan menggangu keamanan nasional,” sambungnya.
Kemunculan DKN disampaikannya justru memunculkan berbagai permasalahan di sektor keamanan nasional. Masih adanya kerancuan dalam terminologi keamanan nasional memperparah potensi tumpang tindih baik anggaran, kewenanganan dengan lembaga terkait seperti Kemenko Polhukam dan Wantanas. Ia pun mempertanyakan urgensi pembentukan DKN dengan keberadaan lembaga-lembaga lain yang memiliki fungsi serupa saat ini.
“Tumpang tindih anggaran, kewenanganan. Kepentingan publiknya dimana, lembaganya siapa. Setiap lembaga yang sudah ada tidak berjalan koordinaasi. Tidak ada evaluasi koordinasi,” kritik Julius terhadap evaluasi pemerintah terkait keamanan nasional.
Di lokasi yang sama, anggota Komisi I DPR Charles Honoris memastikan Parlemen tak sekalipun dilibatkan dalam pembahasan DKN. Ia mengemukakan saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memiliki supporting system yang baik perihal pertahanan dan keamanan, sehingga keberadaan DKN dipandangnya tak memiliki urgensi.
“Ada Menko Polhukam, mengkoordinir bidang pertahanan dan keamanan, membawahi TNI dan Polri, ada Dewan Ketahanan Nasional yang memberikan kajian ancaman nasional, ada Lemhanas, ada Wantimpres berisi tokoh-tokoh lintas sektor. Kalaupun ada ancaman multi dimensi, sudah ada Wantimpres. Ada juga KSP diisi Kepala Staf Presiden dibantu tokoh lintas sektor dan berbagai ahli di masing-masing bidang,” papar Charles.
“Bedanya apa dengan rapat terbatas kabinet? Saya belum melihat ada urgensi mendirikan institusi baru namanya DKN. Kalau pemerintah memaksakan adanya DKN, bagi saya akan menimbulkan tumpang tindih, bagaimana Menko Polhukam, atau DKN yang akan didengarkan presiden,” imbuhnya.
Hal itu disampaikan Koordinator Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyikapi wacana pembentukan DKN. Bila pembentukan DKN dipaksakan karena utang politik, dikhawatirkan Julius, rekomendasi disampaikan kepada presiden lebih condong merupakan kepentingan politik.
“Jangan sampai DKN hadir ini jadi upah politik. Ini bahaya. Keputusan yang muncul nantinya merupakan keputusan politik sepihak,” pesan Julius ketika diskusi bertema Urgensi Pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) di Komnas HAM, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Ia menuturkan, selama ini draft DKN dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sipil. Pemaparan dan pembahasan draft hanya dilakukan di lingkungan terbatas seperti di Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Bappenas dan TNI.
Julius menilai upaya pembentukan DKN tak lepas dari langkah kewenangan yang kandas lantaran Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) mendapat penolakan hingga tak disahkan parlemen.
“Pemaparan (DKN) sudah di Wantanas, Bappenas, dan TNI. Kebiasaan buruk dalam menyusun kebijakan dari pemerintah. Ketika RUU gagal kemudian dilemparkan ke ruang yang lebih sempit,” kata Julius.
“Belum ada undangan kepada masyarakat sipil terkait draft DKN. Tertutup. Sehingga tidak berpihak pada masyarakat. Selalu akan diidentikkan menggangu keamanan nasional,” sambungnya.
Kemunculan DKN disampaikannya justru memunculkan berbagai permasalahan di sektor keamanan nasional. Masih adanya kerancuan dalam terminologi keamanan nasional memperparah potensi tumpang tindih baik anggaran, kewenanganan dengan lembaga terkait seperti Kemenko Polhukam dan Wantanas. Ia pun mempertanyakan urgensi pembentukan DKN dengan keberadaan lembaga-lembaga lain yang memiliki fungsi serupa saat ini.
“Tumpang tindih anggaran, kewenanganan. Kepentingan publiknya dimana, lembaganya siapa. Setiap lembaga yang sudah ada tidak berjalan koordinaasi. Tidak ada evaluasi koordinasi,” kritik Julius terhadap evaluasi pemerintah terkait keamanan nasional.
Di lokasi yang sama, anggota Komisi I DPR Charles Honoris memastikan Parlemen tak sekalipun dilibatkan dalam pembahasan DKN. Ia mengemukakan saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memiliki supporting system yang baik perihal pertahanan dan keamanan, sehingga keberadaan DKN dipandangnya tak memiliki urgensi.
“Ada Menko Polhukam, mengkoordinir bidang pertahanan dan keamanan, membawahi TNI dan Polri, ada Dewan Ketahanan Nasional yang memberikan kajian ancaman nasional, ada Lemhanas, ada Wantimpres berisi tokoh-tokoh lintas sektor. Kalaupun ada ancaman multi dimensi, sudah ada Wantimpres. Ada juga KSP diisi Kepala Staf Presiden dibantu tokoh lintas sektor dan berbagai ahli di masing-masing bidang,” papar Charles.
“Bedanya apa dengan rapat terbatas kabinet? Saya belum melihat ada urgensi mendirikan institusi baru namanya DKN. Kalau pemerintah memaksakan adanya DKN, bagi saya akan menimbulkan tumpang tindih, bagaimana Menko Polhukam, atau DKN yang akan didengarkan presiden,” imbuhnya.
(kri)