Pupuk Bersubsidi Harus Diawasi Ketat
A
A
A
SUDAH dua dua pekan ini beredar kabar tak sedap bahwa kuota pupuk bersubsidi tak mencukupi. Sejumlah komentar miring yang berseliweran di media sosial (medsos) pun tak terhindarkan. ”Petani tidak kebagian pupuk subsidi, giliran panen tiba produk pertanian impor membanjiri pasar. Sungguh malang nasib petani Indonesia”. Demikian suara kritis yang berkembang di medsos. Benarkah kuota pupuk bersubsidi lagi kritis? Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) membantah keras isu tersebut. Kementan mengklaim kuota atau stok pupuk bersubsidi untuk periode musim tanam Oktober 2019 hingga Maret 2020 dinyatakan aman. Walau pupuk bersubsidi disebut tidak ada masalah, namun Kementan menyatakan penyaluran kepada petani tetap harus diawasi dengan ketat.
Selain itu, produsen pupuk juga sudah diwanti-wanti untuk menyalurkan pupuk bersubsidi dengan baik dan tepat sasaran. Untuk meminimalisasi agar petani bisa membedakan mana pupuk bersubsidi dan pupuk nonsubsidi, maka telah disepakati pupuk bersubsidi diberi warna, yakni Urea warna pink dan ZA warna oranye. Pada kantong pupuk bersubsidi tertera nomor call centre, bag code, stamp, dan kantong satu merek guna menghindari munculnya fanatisme pada merek tertentu. Adanya ciri khusus dari pupuk bersubsidi tersebut untuk memudahkan pemenuhan bila terjadi kekurangan pasokan, dan dapat menelusuri sumber pupuk berasal apabila ditemukan penyimpangan di lapangan. Untuk musim Oktober 2019-Maret 2020 telah disiapkan stok pupuk bersubsidi sebanyak 1,26 juta ton.
Untuk mengawasi pendistribusian pupuk bersubsidi agar tidak terjadi penyelewengan di lapangan, Kementan menerapkan enam prinsip utama yang lebih akrab di telinga dengan istilah Strategi 6T (tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu). Berbagai program telah lahir sebagai implementasi dari Strategi 6T. Di antaranya, program e-Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan penerapan kartu tani serta memperketat pengawasan. Pihak Kementan mengakui Strategi 6T itu satu di antara implementasi rekomendasi yang diusulkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun payung hukum yang mengatur pupuk bersubsidi tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Memperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Ditegaskan sebagaimana bunyi Pasal 1 dalam SK yang sudah berusia hampir 17 tahun itu bahwa “Pupuk bersubsidi pengadaan dan penyalurannya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah”.
Dalam periode 2015 – 2019, pemerintah telah menggelontorkan anggaran pupuk bersubsidi sebesar Rp145,1 triliun. Rinciannya, pada 2015 alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp28,2 triliun, selanjutnya 2016 penyaluran pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp30 triliun, dan pada 2017 pupuk bersubsidi digelontorkan sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp31,1 triliun. Kemudian, pada 2018 pupuk bersubsidi yang ditebar tetap 9,5 juta ton atau senilai Rp28,5 triliun. Dan, pada 2019 alokasi pupuk bersubsidi berkurang menjadi 8,8 juta ton atau senilai Rp27,3 triliun.
Selanjutnya, berapa banyak alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun ini? Data yang dirilis Kementan menyebutkan pupuk bersubsidi yang akan digelontorkan sepanjang 2020 sebanyak 7,94 juta ton dengan total anggaran sebesar Rp26,6 triliun. Dari angka tersebut, terbagi atas pupuk Urea sebanyak 3,27 juta ton atau senilai Rp11,34 triliun, SP-36 sebanyak 500.000 ton atau senilai Rp1,65 triliun, ZA sekitar 750.000 ton atau senilai Rp1,34 triliun, dan NPK sebanyak 2,7 juta ton atau setara sebesar Rp11,12 triliun. Dan, pupuk organik atau kompos kualitas tertentu senilai Rp1,14 triliun.
Adapun alokasi pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan data luas baku lahan sawah sebesar 7,1 juta hektare yang ditetapkan pada akhir tahun lalu. Belakangan ini pemerintah telah melonggarkan kebijakan untuk penyesuaian kebutuhan pupuk bagi petani. Lalu, mengapa masih terdengar sejumlah petani di daerah protes karena tak bisa menikmati pupuk bersubsidi? Pihak Kementan berdalih bahwa petani yang tidak kebagian pupuk bersubsidi karena belum menyusun RDKK sehingga terlewatkan alokasi pupuk bersubsidi. Sebab, pupuk bersubsidi hanya diperuntukkan bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani. Semoga alasan itu benar sehingga kelangkaan pupuk bersubsidi bukan dimainkan mafia pupuk. Pasalnya, barang bersubsidi di negeri ini adalah sarana bancakan paling empuk.
Selain itu, produsen pupuk juga sudah diwanti-wanti untuk menyalurkan pupuk bersubsidi dengan baik dan tepat sasaran. Untuk meminimalisasi agar petani bisa membedakan mana pupuk bersubsidi dan pupuk nonsubsidi, maka telah disepakati pupuk bersubsidi diberi warna, yakni Urea warna pink dan ZA warna oranye. Pada kantong pupuk bersubsidi tertera nomor call centre, bag code, stamp, dan kantong satu merek guna menghindari munculnya fanatisme pada merek tertentu. Adanya ciri khusus dari pupuk bersubsidi tersebut untuk memudahkan pemenuhan bila terjadi kekurangan pasokan, dan dapat menelusuri sumber pupuk berasal apabila ditemukan penyimpangan di lapangan. Untuk musim Oktober 2019-Maret 2020 telah disiapkan stok pupuk bersubsidi sebanyak 1,26 juta ton.
Untuk mengawasi pendistribusian pupuk bersubsidi agar tidak terjadi penyelewengan di lapangan, Kementan menerapkan enam prinsip utama yang lebih akrab di telinga dengan istilah Strategi 6T (tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu). Berbagai program telah lahir sebagai implementasi dari Strategi 6T. Di antaranya, program e-Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan penerapan kartu tani serta memperketat pengawasan. Pihak Kementan mengakui Strategi 6T itu satu di antara implementasi rekomendasi yang diusulkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun payung hukum yang mengatur pupuk bersubsidi tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Memperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Ditegaskan sebagaimana bunyi Pasal 1 dalam SK yang sudah berusia hampir 17 tahun itu bahwa “Pupuk bersubsidi pengadaan dan penyalurannya mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program pemerintah”.
Dalam periode 2015 – 2019, pemerintah telah menggelontorkan anggaran pupuk bersubsidi sebesar Rp145,1 triliun. Rinciannya, pada 2015 alokasi pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp28,2 triliun, selanjutnya 2016 penyaluran pupuk bersubsidi sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp30 triliun, dan pada 2017 pupuk bersubsidi digelontorkan sebanyak 9,5 juta ton atau senilai Rp31,1 triliun. Kemudian, pada 2018 pupuk bersubsidi yang ditebar tetap 9,5 juta ton atau senilai Rp28,5 triliun. Dan, pada 2019 alokasi pupuk bersubsidi berkurang menjadi 8,8 juta ton atau senilai Rp27,3 triliun.
Selanjutnya, berapa banyak alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun ini? Data yang dirilis Kementan menyebutkan pupuk bersubsidi yang akan digelontorkan sepanjang 2020 sebanyak 7,94 juta ton dengan total anggaran sebesar Rp26,6 triliun. Dari angka tersebut, terbagi atas pupuk Urea sebanyak 3,27 juta ton atau senilai Rp11,34 triliun, SP-36 sebanyak 500.000 ton atau senilai Rp1,65 triliun, ZA sekitar 750.000 ton atau senilai Rp1,34 triliun, dan NPK sebanyak 2,7 juta ton atau setara sebesar Rp11,12 triliun. Dan, pupuk organik atau kompos kualitas tertentu senilai Rp1,14 triliun.
Adapun alokasi pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan data luas baku lahan sawah sebesar 7,1 juta hektare yang ditetapkan pada akhir tahun lalu. Belakangan ini pemerintah telah melonggarkan kebijakan untuk penyesuaian kebutuhan pupuk bagi petani. Lalu, mengapa masih terdengar sejumlah petani di daerah protes karena tak bisa menikmati pupuk bersubsidi? Pihak Kementan berdalih bahwa petani yang tidak kebagian pupuk bersubsidi karena belum menyusun RDKK sehingga terlewatkan alokasi pupuk bersubsidi. Sebab, pupuk bersubsidi hanya diperuntukkan bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani. Semoga alasan itu benar sehingga kelangkaan pupuk bersubsidi bukan dimainkan mafia pupuk. Pasalnya, barang bersubsidi di negeri ini adalah sarana bancakan paling empuk.
(mhd)