Ngemplang Pajak, DPR Nilai Kebijakan Nadiem Gandeng Netflix Kebablasan
A
A
A
JAKARTA - Langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti) Nadiem Anwar Makarim menggandeng Netflix dalam menyelenggarakan Festival Film bertema Pancasila mengundang kritikan wakil rakyat. Langkah menteri milenial tersebut dinilai kebablasan karena perusahaan kanal berbayar asal Amerika Serikat tersebut masih bermasalah dengan pajak.
“Idenya oke, tapi lihat siapa yang digandeng, malah jadi kontra produktif di saat Netflix sedang jadi tersangka,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. (Baca: Pemerintah Minta Netflix Bayar Pajak)
Fikri mengakui bahwa niatnya baik, tapi dengan cara yang salah hanya akan membuat kekacauan koordinasi antar instansi dan kementerian di bawah Presiden Jokowi. “Menteri yang lain lagi ngejar-ngejar pajaknya (Netflix), yang satu malah melindungi dan mengajak bermitra, kan kacau,” imbuh politikus PKS itu.
Karena itu Fikri meminta Mendikbud mengkaji ulang kerja sama tersebut agar tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Netflix juga harus menyelesaikan kewajibannya lebih dulu sesuai dengan perundangan yang berlaku, termasuk kewajiban terkait investasi badan hukum dan pajak. Selain itu Fikri mempertanyakan kenapa program seperti festival film pendek yang digagas bersama Netflix tersebut tidak bermitra dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) yang memang menjadi domain kementerian baru itu. “Bekraf (sekarang Parekraf) sebelumnya kan sudah menggelar ratusan festival film di Indonesia selama lima tahun terakhir,” tuturnya.
Lebih dari itu Fikri juga mengkhawatirkan pendekatan Mendikbud yang menggandeng kanal asing seperti Netflix yang produksinya berisikan film-film lintas genre, termasuk film dewasa yang tanpa sensor, sehingga justru akan memberikan afirmasi terhadap konten yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh anak. “Sebagai instansi yang mengemban citra pendidikan, rasanya Mendikbud kebablasan,” tegas Fikri.
Perlu diketahui bahwa Netflix merupakan perusahaan digital streaming yang berbasis di California, Amerika Serikat. Mengutip data Statista, Netflix memiliki 481.450 pelanggan berbayar di Indonesia hingga 2019. Pelanggannya bahkan diperkirakan naik dua kali lipat pada 2020 menjadi 906.800. Tapi sangat disayangkan Netflix ternyata tidak membayar pajak. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Kominfo mengaku akan mengejar hal itu sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. (Baca juga: Pengamat Nilai Nadiem Cuekin Sejumlah Regulasi Demi Netflix)
Pandangan senada disampaikan Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya Kemendikbud harusnya melihat dulu badan hukum dari Netflik di Indonesia. Jangan sampai Kemendikbud sebagai institusi resmi negara bekerjasama dengan pihak ketiga yang tidak memiliki badan hukum di Indonesia.
“Berdasarkan PP No 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik disebutkan perusahaan seperti Netflix harus memiliki badan usaha tetap di Indonesia. Nah, sudah ada PT atau badan hukum Indonesia apa belum Netflix,” ujarnya.
“Idenya oke, tapi lihat siapa yang digandeng, malah jadi kontra produktif di saat Netflix sedang jadi tersangka,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. (Baca: Pemerintah Minta Netflix Bayar Pajak)
Fikri mengakui bahwa niatnya baik, tapi dengan cara yang salah hanya akan membuat kekacauan koordinasi antar instansi dan kementerian di bawah Presiden Jokowi. “Menteri yang lain lagi ngejar-ngejar pajaknya (Netflix), yang satu malah melindungi dan mengajak bermitra, kan kacau,” imbuh politikus PKS itu.
Karena itu Fikri meminta Mendikbud mengkaji ulang kerja sama tersebut agar tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Netflix juga harus menyelesaikan kewajibannya lebih dulu sesuai dengan perundangan yang berlaku, termasuk kewajiban terkait investasi badan hukum dan pajak. Selain itu Fikri mempertanyakan kenapa program seperti festival film pendek yang digagas bersama Netflix tersebut tidak bermitra dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) yang memang menjadi domain kementerian baru itu. “Bekraf (sekarang Parekraf) sebelumnya kan sudah menggelar ratusan festival film di Indonesia selama lima tahun terakhir,” tuturnya.
Lebih dari itu Fikri juga mengkhawatirkan pendekatan Mendikbud yang menggandeng kanal asing seperti Netflix yang produksinya berisikan film-film lintas genre, termasuk film dewasa yang tanpa sensor, sehingga justru akan memberikan afirmasi terhadap konten yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh anak. “Sebagai instansi yang mengemban citra pendidikan, rasanya Mendikbud kebablasan,” tegas Fikri.
Perlu diketahui bahwa Netflix merupakan perusahaan digital streaming yang berbasis di California, Amerika Serikat. Mengutip data Statista, Netflix memiliki 481.450 pelanggan berbayar di Indonesia hingga 2019. Pelanggannya bahkan diperkirakan naik dua kali lipat pada 2020 menjadi 906.800. Tapi sangat disayangkan Netflix ternyata tidak membayar pajak. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan Kominfo mengaku akan mengejar hal itu sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. (Baca juga: Pengamat Nilai Nadiem Cuekin Sejumlah Regulasi Demi Netflix)
Pandangan senada disampaikan Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Menurutnya Kemendikbud harusnya melihat dulu badan hukum dari Netflik di Indonesia. Jangan sampai Kemendikbud sebagai institusi resmi negara bekerjasama dengan pihak ketiga yang tidak memiliki badan hukum di Indonesia.
“Berdasarkan PP No 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik disebutkan perusahaan seperti Netflix harus memiliki badan usaha tetap di Indonesia. Nah, sudah ada PT atau badan hukum Indonesia apa belum Netflix,” ujarnya.
(ysw)