Di Balik Serbuan Kapal China, Ada Harta Karun di Laut Natuna

Selasa, 14 Januari 2020 - 05:28 WIB
Di Balik Serbuan Kapal...
Di Balik Serbuan Kapal China, Ada Harta Karun di Laut Natuna
A A A
SELAMA Desember lalu, Herman, nelayan dari Lubuk Lumbang, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Kepri), memutuskan untuk tidak berlayar. Herman tidak sendiri, nelayan-nelayan lainnya yang berada di Natuna melakukan hal serupa. Alasannya bukan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan menangkap ikan di laut, tetapi karena perairan Natuna makin banyak didatangi kapal ikan asing, khususnya dari Negeri Tirai Bambu.

Kedatangan kapal ikan negara lain itu mengganggu nelayan lokal. Menurut Herman, nelayan lokal kerap diusir dari perairan Natuna. Kapal-kapal asing itu berani mengusir karena dikawal oleh kapal coast guard Tiongkok. Setiap sepuluh kapal nelayan setidaknya dikawal oleh satu coast guard bertipe frigate. Saat mengusir kapal-kapal nelayan Indonesia, kapal-kapal nelayan asing itu berani menabrakkan diri. “Nelayan kalau di laut tak berani tidur saat istirahat karena khawatir ditabrak nelayan asing,” ujar Herman. Inilah yang membuat Herman -yang juga ketua kelompok nelayan- enggan melaut. Ia merasa terancam dengan kehadiran kapal-kapal nelayan asing yang dikawal kapal penjaga.

Untunglah kondisi ini tidak berlarut-larut. Pemerintah Indonesia merespons kehadiran kapal-kapal nelayan asing itu dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk melakukan patroli di kawasan perairan Natuna. Tidak hanya kapal perang, tetapi juga pesawat-pesawat tempur dikerahkan untuk membantu patroli dari udara. Sejak adanya patroli dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Herman dan teman-teman sesama nelayan mulai berani melaut kembali sejak awal bulan ini. Jika nelayan-nelayan asing itu bisa dikawal oleh coast guard, mengapa nelayan lokal tidak? “Sudah seharusnya pemerintah melakukan hal yang sama agar kami para nelayan juga aman saat melaut,” katanya.

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Kepri Isdianto secara khusus meminta lembaga-lembaga berwenang melindungi nelayan lokal yang melaut di Natuna dan Perairan Kepulauan Anambas dari gangguan kapal asing. Nelayan-nelayan itu jadi takut turun melaut lantaran kedatangan kapal ikan asing. Menurut Isdianto, kapal ikan asing memiliki peralatan yang jauh lebih canggih dibanding nelayan Indonesia. Bahkan, dari segi jumlah tenaga, kapal nelayan lokal masih kalah dengan kapal ikan asing. Makanya, begitu digertak nelayan asing, nelayan kita tak bisa berbuat banyak. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri sendiri telah mengirimkan surat resmi ke pemerintah pusat agar masalah ini tidak berlarut sehingga nelayan-nelayan di Natuna tenang melaut dan bisa menikmati hasilnya.

Konflik di perairan Natuna kembali menjadi sorotan publik setelah kapal-kapal nelayan dari Tiongkok masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia. Bukan hanya masuk, tetapi juga menangkap ikan secara ilegal dengan perlindungan kapal penjaga alias coast guard. Belum lagi kapal-kapal ilegal itu menangkap ikan menggunakan alat tangkap jenis trawl, alat tangkap ikan yang haram hukumnya digunakan di Indonesia. Sistem pemantauan Skylight telah mencatat bahwa jumlah kapal asing yang masuk ke perairan Natuna bisa mencapai ribuan kapal per hari. Berdasarkan sampel yang diambil pada tahun lalu, jumlah kapal asing yang masuk mencapai 1.647 kapal per hari pada April 2019, 810 kapal pada Mei 2019, 580 kapal pada Juni 2019, dan 768 kapal di Juli 2019. (Baca: Masuk ZEE, Tiga Kapal Perang TNI Kembali Usir Kapal China di Laut Natuna)

Merujuk pada ketentuan wilayah, aktivitas kapal-kapal asing di perairan Natuna merupakan perbuatan yang melanggar aturan. Sebab, Konvensi Hukum Laut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) sudah menetapkan perairan Natuna sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sempat melempar nota protes kepada Tiongkok, salah satu negara yang kapal nelayannya masuk ke perairan Natuna. Namun, Tiongkok mengklaim bahwa mereka tidak melanggar hukum karena perairan Natuna merupakan bagian dari kawasan Laut Cina Selatan yang sah.

Merespons klaim sepihak dari Pemerintah Tiongkok tersebut, Selasa pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyempatkan hadir ke Natuna menjumpai para nelayan. Kehadiran kepala negara ini bertujuan untuk menegaskan kembali bahwa perairan Natuna merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, negara akan selalu hadir untuk menjaga dan melindungi wilayah kedaulatan NKRI.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, mengatakan bahwa aksi yang dilakukan armada coast guard Tiongkok yang mengawal kapal-kapal nelayan Tiongkok tidak terkait dengan unjuk kekuatan militer. “Ini bukan masalah kedaulatan, tetapi soal rebutan sumber daya alam (SDA) yang ada di perairan Natuna,” ujarnya. Seperti diketahui, penduduk Tiongkok saat ini mencapai sekitar 1,3 miliar. Alhasil, mereka amat agresif dalam memanfaatkan SDA yang ada, khususnya di kawasan perbatasan. Apalagi, perairan Natuna memang amat kaya akan sumber daya ikan dan mineral. Hikmahanto menegaskan kembali bahwa jika ada yang mengaitkan konflik di kawasan Laut Cina Selatan terkait kedaulatan, itu salah.

Sebenarnya, kehadiran kapal-kapal nelayan asing yang mencuri ikan di perairan Natuna itu juga disebabkan oleh ketidakmampuan nelayan-nelayan lokal memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada di kawasan ZEE Natuna. Seperti disampaikan oleh Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti, dari sekitar 20.000 nelayan di Natuna, praktis yang mampu menangkap ikan hingga di ZEE paling banter hanya 0,5%. Bayangkan saja, untuk melaut di kawasan ZEE, dibutuhkan kapal berukuran di atas 100 gros ton (GT).

Ketidakmampuan ini seolah memberi kesempatan bagi nelayan-nelayan asing untuk menggarap perairan Natuna yang kaya akan sumber daya perikanannya. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto mengatakan Natuna memang jadi rebutan banyak negara lantaran kaya akan sumber daya ikan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perairan Natuna setiap tahunnya memiliki potensi ikan pelagis mencapai 327.976 ton, ikan demersal 159.700 ton, cumi-cumi 23.499 ton, rajungan 9.711 ton, kepiting 2.318 ton, dan lobster 1.421 ton per tahun. Kemudian, juga ada potensi ikan kerapu, tongkol, teri, tenggiri, ekor kuning, udang putih, dan lainnya.

Konflik hingga Akhir Zaman

Dalam rentang periode November–Januari, gelombang ganas mendatangi perairan Natuna dan sekitarnya. Perahu-perahu nelayan ukuran sedang hingga kecil tak akan mampu melewati gelombang tinggi tersebut. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh kapal-kapal nelayan asing itu untuk mencuri ikan. Menurut Ngesti Yuni, kedatangan Presiden Jokowi ke Natuna bisa menjadi momentum agar pemerintah mampu memfasilitasi nelayan-nelayan di Natuna untuk dapat melaut hingga perairan ZEE. Kawasan perairan itu memang menjadi hak Indonesia untuk dimanfaatkan.

Hikmahanto mengatakan pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Tiongkok di perairan Natuna masih akan terus berlanjut. Ia pun meyakini sampai akhir zaman konflik di Natuna akan terus terjadi. Itu sebabnya pemerintah tidak boleh hanya mengklaim perairan Natuna sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia di atas peta saja. Nelayan-nelayan Indonesia harus hadir di sana untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di sana.

Persoalannya, nelayan-nelayan Indonesia kadang tidak mau hadir ke sana karena terlalu jauh dan tantangannya juga berat. Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan insentif bagi nelayan-nelayan yang akan mencari ikan di perairan ZEE. Di sisi lain, pemerintah harus secara insentif melakukan patroli di kawasan perbatasan, seperti di perairan Natuna Utara. “Patroli yang dilakukan ini bertujuan untuk penegakan hukum, bukan melakukan penegakan kedaulatan,“ kata Hikmahanto.

Demi memaksimalkan sumber daya perikanan di perairan Natuna, pemerintah melalui KKP pada Oktober 2019 lalu telah meresmikan berdirinya Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna. Pusat ekonomi untuk sektor kelautan dan perikanan yang dibangun di Selat Lampa, Kabupaten Natuna, ini sejatinya sudah beroperasi sejak 2018. Lokasi SKPT Natuna secara geografis sangat strategis, yakni berhadapan langsung dengan Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Selat Lampa juga menjadi akses utama dari kawasan Natuna menuju negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan Singapura. (Baca juga: Kapal China Masuk Perairan Natuna, Pembelajaran untuk Perketat Pertahanan)

SKPT yang dibangun dengan dana sebesar Rp221,7 miliar ini merupakan bentuk dukungan pemerintah pusat kepada Pemerintah Kabupaten Natuna yang telah menetapkan sektor kelautan dan perikanan serta pariwisata sebagai fokus pembangunan ekonomi.

Sepanjang 2018 lalu, di SKPT ini tercatat sudah ada pendaratan ikan hingga 1.361 ton dengan nilai Rp34 miliar. SKPT Natuna ini juga telah melakukan ekspor. Akhir tahun lalu, sebanyak 15 ribu kilogram gurita (Callistoctopus ornatus) berhasil diekspor ke Jepang. Produk laut tersebut adalah hasil tangkapan nelayan di perairan Natuna dan sekitarnya. Permintaan ekspor gurita diperkirakan terus meningkat. Pada Januari ini, diprediksi ekspor gurita akan mencapai dua sampai empat kontainer per bulan dengan kapasitas 15 ton per kontainer. Dari setiap kontainer, nilai ekonomi yang dihasilkan mencapai Rp1 miliar.

Kehadiran SKPT Natuna dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat di Natuna. Menurut Bupati Natuna Hamid Rizal, hadirnya SKPT ini telah memberi kontribusi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Buktinya, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Natuna melejit dari 3,5% pada 2016 menjadi 5,8% pada 2018.

Kekayaan yang ada dalam perut Natuna bukan hanya ikan. Natuna juga menyimpan cadangan gas raksasa di bawah lautnya. Bahkan, cadangan gasnya disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan Indonesia memiliki cadangan gas bumi mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF). Nah, cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya berada di Blok East Natuna 49,87 TCF. Selanjutnya, disusul Blok Masela di Maluku 16,73 TCF, dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar 2,66 TCF.
Besarnya kandungan gas alam tersebut membuat Natuna disebut-sebut sebagai wilayah cadangan gas terbesar di Asia-Pasifik. East Natuna direncanakan baru bisa memproduksi gas pada 2027. Sebab, belum ada teknologi yang mumpuni untuk menyedot gas di kedalaman laut Nantuna.

Di Natuna, lapangan gas dengan produksi terbesar saat ini berada di Blok Corridor yang terletak di West Natuna. Lapangan gas ini dikelola ConocoPhillip dengan komposisi 54% untuk Conocophillips, 10% untuk Pertamina, dan 36% untuk Repsol. Gas yang disedot dari lapangan ini hampir seluruhnya disalurkan ke Singapura. Dalam kontrak jangka panjang, gas dari Natuna ini disalurkan ke Singapura melalui pipa sepanjang 656 kilometer ke Sakra, Singapura. Produksi harian dari lapangan ini tercatat sebesar 325 juta kaki kubik atau MMBTU. Di Singapura, gas ini digunakan untuk kebutuhan pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga lewat jaringan gas perkotaan. Jika begitu faktanya, pasokan energi di Singapura sangat tergantung dari gas Natuna.

Prediksi yang disampaikan oleh Hikmahanto berpotensi menjadi nyata. Konflik di Natuna tak akan ada akhirnya. Setelah bersitegang dengan Tiongkok, berikutnya boleh jadi Singapura mulai iseng mengutak-atik sumber daya yang ada di kawasan ini. Maklum saja, menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, mulai 2023, suplai gas ke Singapura bakal dihentikan karena akan digunakan untuk kebutuhan di dalam negeri. Jika ini memang benar terjadi, Singapura pun terancam gelap gulita dan lumpuh total.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1847 seconds (0.1#10.140)