Proyek Antibanjir Jangan Berhenti
A
A
A
DALAM tiga hari ke depan diprediksi bakal masuk aliran udara basah dari arah Samudera Hindia sebelah barat Pulau Sumatera di sepanjang ekuator. Setelah itu aliran udara basah masih berlanjut pada 10 hingga 15 Januari 2020 yang bergerak ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Tenggara.
Situasi tersebut diperkirakan berulang lagi pada akhir Januari hingga awal dan pertengahan Februari 2020. Kondisi tersebut memicu peningkatan intensitas curah hujan menjadi lebih ekstrem, yang ujungnya berpotensi hujan ekstrem di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Lampung, dan Jawa, tak terkecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Prediksi iklim dan cuaca berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) itu sebuah peringatan yang senantiasa meningkatkan kewaspadaan terjadi musibah banjir. Analisis BMKG yang menyebut wilayah Jabodetabek bagian dari ancaman hujan ekstrem harus direspons serius baik dari warga Ibu Kota dan sekitarnya maupun pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta.
Sebab, banjir yang melanda Jabodetabek terutama di Jakarta telah membuat masyarakat trauma, tidak hanya merusak harta benda, tetapi juga menelan puluhan korban meninggal dunia. Laporan dari asosiasi bisnis yang bergerak di bidang ritel menyebut kerugian mencapai Rp1 triliun lebih, belum termasuk kerugian warga dan fasilitas pemerintah yang rusak.
Kondisi Jakarta yang selalu menjadi langganan banjir tahunan yang belum bisa diatasi seolah-olah menegaskan bahwa masa depan Jakarta bakal tenggelam. Benarkah Jakarta terancam tenggelam? Merujuk pada laporan New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding yang dipublikasi pada jurnal Nature Communications pada akhir Oktober 2019 memprediksi Jakarta dan tujuh negara Asia akan tenggelam pada 2050.
Alasannya, topografi garis pantai dan permukaan air laut di seluruh dunia bakal naik drastis hingga 2 meter lebih pada tahun-tahun mendatang. Sebagai sebuah prediksi bahwa Jakarta bakal tenggelam sah-sah saja. Namun, terpenting sudah sejauh mana gerak pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah pusat dan terutama Pemda DKI Jakarta, mengantisipasi semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Sebenarnya untuk menanggulangi bencana banjir, sejumlah proyek besar sudah dibentangkan jauh sebelum Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjabat. Mulai dari Terowongan Raksasa Anti Banjir atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT), Tanggul Raksasa Muara Baru, Bendungan Ciawi dan Sukamahi, hingga Sodetan Ciliwung. Sayangnya, empat proyek raksasa yang berbiaya besar tersebut belum ada yang rampung hingga saat ini.
Terowongan Raksasa Anti Banjir digagas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso periode 1997-2007. Proyek terowongan tersebut dirancang bukan hanya sebagai pelancar dan penampung air, tetapi juga berfungsi penghubung jalan tol. Setelah Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang nomor satu di Jakarta, proyek tersebut sempat mencuat lagi, tepatnya pada 2013. Setelah itu kabar progres proyek bak ditelan air. Belakangan berembus sanggahan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bahwa proyek terowongan itu hanya kajian. Pasalnya, proyek yang membutuhkan dana sebesar Rp26 triliun tidak sebanding efek yang diharapkan.
Selanjutnya, proyek Tanggul Raksasa Muara Baru ditujukan untuk menjaga sebagian wilayah utara Jakarta yang terancam tenggelam pada 2030 akibat permukaan tanah yang terus turun. Peletakan batu pertama proyek dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan Presiden Jokowi setelah dikaji selama dua tahun.
Pembangunan tanggul fase darurat sudah rampung dan proyek tanggul itu masih bergulir. Adapun proyek Bendungan Ciawi dan Sukamahi, Jawa Barat mulai digagas pada 2005. Ketika menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyeriusi proyek tersebut, namun terganjal pengadaan dana pembebasan lahan pada 2014 dan baru berjalan lagi pada 2016. Dua waduk tersebut ditargetkan sudah bisa operasi pada akhir tahun ini.
Adapun proyek Sodetan Ciliwung kandas di tengah jalan. Proyek antibanjir yang dimunculkan pada 2012 akan membuat sodetan yang menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Banjir Kanal Timur (BKT). Sodetan diperkirakan dapat mengalirkan air Sungai Ciliwung ke BKT hingga 60 milimeter per detik sehingga dapat mengurangi beban pintu air Manggarai.
Sodetan yang direncanakan sepanjang 1,2 kilometer baru tuntas sekitar 600 meter. Proyek terkendala pembebasan lahan dan pengerjaan berhenti sejak 2018. Seharusnya proyek besar mengatasi banjir di Jakarta tidak boleh berhenti dengan alasan apa pun, kecuali proyek terowongan raksasa yang kemahalan. Ingat, dampak banjir tahunan Jakarta semakin serius, bahkan diperkirakan bakal memengaruhi laju inflasi pada Januari 2020.
Situasi tersebut diperkirakan berulang lagi pada akhir Januari hingga awal dan pertengahan Februari 2020. Kondisi tersebut memicu peningkatan intensitas curah hujan menjadi lebih ekstrem, yang ujungnya berpotensi hujan ekstrem di wilayah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Lampung, dan Jawa, tak terkecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Prediksi iklim dan cuaca berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) itu sebuah peringatan yang senantiasa meningkatkan kewaspadaan terjadi musibah banjir. Analisis BMKG yang menyebut wilayah Jabodetabek bagian dari ancaman hujan ekstrem harus direspons serius baik dari warga Ibu Kota dan sekitarnya maupun pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta.
Sebab, banjir yang melanda Jabodetabek terutama di Jakarta telah membuat masyarakat trauma, tidak hanya merusak harta benda, tetapi juga menelan puluhan korban meninggal dunia. Laporan dari asosiasi bisnis yang bergerak di bidang ritel menyebut kerugian mencapai Rp1 triliun lebih, belum termasuk kerugian warga dan fasilitas pemerintah yang rusak.
Kondisi Jakarta yang selalu menjadi langganan banjir tahunan yang belum bisa diatasi seolah-olah menegaskan bahwa masa depan Jakarta bakal tenggelam. Benarkah Jakarta terancam tenggelam? Merujuk pada laporan New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-Level Rise and Coastal Flooding yang dipublikasi pada jurnal Nature Communications pada akhir Oktober 2019 memprediksi Jakarta dan tujuh negara Asia akan tenggelam pada 2050.
Alasannya, topografi garis pantai dan permukaan air laut di seluruh dunia bakal naik drastis hingga 2 meter lebih pada tahun-tahun mendatang. Sebagai sebuah prediksi bahwa Jakarta bakal tenggelam sah-sah saja. Namun, terpenting sudah sejauh mana gerak pihak berwenang, dalam hal ini pemerintah pusat dan terutama Pemda DKI Jakarta, mengantisipasi semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Sebenarnya untuk menanggulangi bencana banjir, sejumlah proyek besar sudah dibentangkan jauh sebelum Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjabat. Mulai dari Terowongan Raksasa Anti Banjir atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT), Tanggul Raksasa Muara Baru, Bendungan Ciawi dan Sukamahi, hingga Sodetan Ciliwung. Sayangnya, empat proyek raksasa yang berbiaya besar tersebut belum ada yang rampung hingga saat ini.
Terowongan Raksasa Anti Banjir digagas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso periode 1997-2007. Proyek terowongan tersebut dirancang bukan hanya sebagai pelancar dan penampung air, tetapi juga berfungsi penghubung jalan tol. Setelah Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang nomor satu di Jakarta, proyek tersebut sempat mencuat lagi, tepatnya pada 2013. Setelah itu kabar progres proyek bak ditelan air. Belakangan berembus sanggahan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bahwa proyek terowongan itu hanya kajian. Pasalnya, proyek yang membutuhkan dana sebesar Rp26 triliun tidak sebanding efek yang diharapkan.
Selanjutnya, proyek Tanggul Raksasa Muara Baru ditujukan untuk menjaga sebagian wilayah utara Jakarta yang terancam tenggelam pada 2030 akibat permukaan tanah yang terus turun. Peletakan batu pertama proyek dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan Presiden Jokowi setelah dikaji selama dua tahun.
Pembangunan tanggul fase darurat sudah rampung dan proyek tanggul itu masih bergulir. Adapun proyek Bendungan Ciawi dan Sukamahi, Jawa Barat mulai digagas pada 2005. Ketika menjabat gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyeriusi proyek tersebut, namun terganjal pengadaan dana pembebasan lahan pada 2014 dan baru berjalan lagi pada 2016. Dua waduk tersebut ditargetkan sudah bisa operasi pada akhir tahun ini.
Adapun proyek Sodetan Ciliwung kandas di tengah jalan. Proyek antibanjir yang dimunculkan pada 2012 akan membuat sodetan yang menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Banjir Kanal Timur (BKT). Sodetan diperkirakan dapat mengalirkan air Sungai Ciliwung ke BKT hingga 60 milimeter per detik sehingga dapat mengurangi beban pintu air Manggarai.
Sodetan yang direncanakan sepanjang 1,2 kilometer baru tuntas sekitar 600 meter. Proyek terkendala pembebasan lahan dan pengerjaan berhenti sejak 2018. Seharusnya proyek besar mengatasi banjir di Jakarta tidak boleh berhenti dengan alasan apa pun, kecuali proyek terowongan raksasa yang kemahalan. Ingat, dampak banjir tahunan Jakarta semakin serius, bahkan diperkirakan bakal memengaruhi laju inflasi pada Januari 2020.
(thm)