Predator Makan Gorengan
A
A
A
Tito Sulistio
Mantan Direktur Utama BEI
SAMBUTAN Bapak Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan perdagangan hari pertama bursa efek, menyisakan satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Otoritas pasar modal. Presiden , secara khusus menekankan perlunya menertibkan ‘gorenggorengan’ saham dan para manipulator.
Presiden adalah pimpinan negara. Jadi walaupun OJK adalah Lembaga negara (independen) nonpemerintahan maka pernyataan Presiden di atas perlu mendapat atensi.
Hanya sebagai orang yang karatan di pasar, saya mempunyai pertanyaan besar mengenai apa itu saham "gorengan".Tidak seperti bantahan mengenai adanya predator di bursa efek Indonesia. Pertanyaan ke ‘saham gorengan’ lebih kepada definisinya.
Saya tidak punya definisi itu. Karena buat saya tidak ada itu saham gorengan. Karena itulah saya bertanya kepada para pelaku pasar. Saya bertanya dan mendapat respons dari sekitar 50 pelaku pasar yang terdiri atas para Investor (termasuk dana pensiun dan manager investasi), pimpinan sekuritas, pimpinan asosiasi di pasar modal, Lembaga penunjang (penasehat hukum dan akuntan publik), emitten dan mantan regulator.
Begini tanggapan mereka, (saya sudah ringkas sesuai maknanya). Pertama, yang terbanyak tidak memberikan jawaban tuntas ada atau tidak, tapi hanya memberi definisi. Maaf saya anggap ini keraguan ada tidaknya "saham gorengan".
Kedua, yang secara langsung mengatakan ada, tidak memberi definisi, beberapa hanya memberi contoh (saya tidak tuliskan di sini).
Ketiga, yang terbanyak adalah yang langsung mengatakan tidak ada, dengan pandangan semua saham ada kepentingan pemegang mayoritas. Beda harga pasar dengan nilai fundamental tidak bisa jadi patokan ada tidaknya yang memainkan harga saham itu. Seorang investor yang membeli dalam jumlah banyak lalu menjual pada harga tinggi, bahkan bila berkali kali jual beli, tidak dilarang oleh peraturan didunia manapun.,
Secara implisit terkandung pendapat bahwa saham itu kalau hanya di perjual belikan (apakah ini “dimainkan”) dalam jumlah besar bukan berarti langsung dosa. Tapi menjadi eksplisit dosa jika perdagangannya itu semu, atau ada manipulasi (informasi atau laporan keuangan misalnya). Sesuai dengan larangan yang ada di UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 90.
Jadi saham ‘gorengan’ itu apa?
Mayoritas sepakat bahwa saham yang dipanggil “gorengan” itu adalah saham yang naik tinggi dalam waktu relatif cepat lalu bergejolak naik turun karena ada yang berkepentingan. Tapi apakah hanya saham jelek, hanya saham dengan kapitalisasi kecil, saham dengan fundamental tidak kuat yang bisa dipanggil "gorengan".
Secara eksplisit bahkan ini dibantah. Ada saham BUMN yang di mainkan, dalam arti dibeli secara bersama sama oleh beberapa dana pensiun secara berkala, sehingga harganya naik tinggi. Ada saham BUMN yang naik melesat tinggi, lalu terbanting karena pemerintah tidak konsisten dalam menentukan harga jual produknya. Atau saham BUMN yang dari mulai IPO sudah dipaksakan untuk ditelan oleh perseroan negara lainnya dan sampai saat ini tidak pernah kembali keharga IPO.
Apakah itu semua juga "gorengan"? Hanya semua sepakat bahwa melakukan perdagangan semu untuk memainkan harga saham itu suatu pelanggaran dan pantas untuk dihukum.
Yang pasar dan mayoritas emitten tidak bisa terima adalah bahwa dosa “gorengan” atau ”manipulasi” ditimpakan hanya ke saham lapis dua. Bukankah ini adalah prioritas pemerintah dan otoritas untuk meng- encourage perusahaan menengah untuk go public agar punya sumber dana yang efisien?. Tapi struktur bursa Indonesia memang secara keaktifan berat ke bawah. Sekitar 8% atau 52 emitten di bursa menguasai lebih dari 75 % kapitalisasi pasar, dengan nilai perdagangan hanya 56,8 %. Tapi keaktifan saham berkapitalisasi besar ini sangat kecil. Volume hanya 10,8 % dan frekuensi keaktifan 33 %.
Artinya keaktifan transaksi di bursa efek Indonesia yang dibanggakan sebagai salah satu teraktif di ASEAN itu, sekitar 90 % volume dan 67 % frekuensi adalah kontribusi dari perusahaan lapis dua. Tolong perseroan lapis kedua ini jangan selalu di- bully sebagai manipulator.
Jadi apakah “menggoreng” saham itu berdosa. Bagaimana jika semua transaksinya riel dilakukan oleh yang berkepentingan secara terbuka melalui mekanisme di bursa efek, tanpa perdagangan semu?
Satu respons menganggap “gorengan” adalah market making. Di banyak bursa efek, market maker diperbolehkan. Di New york Stock Exchanges (NYSE), para market maker-lah yang mayoritas masih duduk difloor, bahkan menjadi show room peninggalan tradisi sejarah perdagangan di sana.
Di beberapa negara gugusan Nordic, market making direkomendasikan untuk dilakukan oleh emitten yang sahamnya tidak aktif, dengan tujuan utama aktifitas transaksi dibursa untuk meningkatkan likuiditas perdagangan.
Dua sambutan pada saat penutupan perdagangan 2019 dan pembukaan perdagangan 2020 membuat kening saya berkerut. Saya membayangkan bagaimana mereka yang harus terbang lebih dari 12 jam untuk sampai ke Indonesia, apalagi yang belum pernah ke Indonesia, sebagai seorang investor menterjemahkan arti “predator” dan “gorengan” dalam strategi investasi mereka di Indonesia.
Pembukaan dan penutupan perdagangan tahunan dibursa efek adalah suatu ritual seremonial yang biasanya dilakukan oleh para tokoh pimpinan ekonomi. Dengan tujuan agar menyebarkan nafas segar wangi untuk mengundang investor berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Karenanya , buat saya, agak tidak tepat menebarkan berita yang menggambarkan adanya pemain kasar (kalau dilapangan bola) di pasar modal kita di momen itu. Pembukaan dan penutupan adalah saat yang paling tepat untuk membantu ekspos keberhasilan kerja bursa efek. Keberhasilan mencetak 58 saham perdana atau kelancaran efisiensi transaksi dibursa efek selama 2019, patut di acungi jempol dan seyogianya ini lah topik utama yang harus di informasikan oleh pembantu Presiden kepada Bapak Presiden, sebelum beliau melangkah ke bursa.
Predator di bursa efek, saya berani katakan tidak ada, dan itu hanya statement yang menimbulkan efek kejut negatif untuk bursa. Saham “gorengan”, satu istilah khas di pasar modal Indonesia yang menggambarkan aktifitas perdagangan aktif saham tertentu, yang jika dilakukan tanpa perdagangan semu atau niat Cornering belum tentu berdampak negatif untuk pasar.
Bagaimanapun, saya sangat menghargai kedatangan dan perhatian bapak Presiden untuk meningkatkan kredibilitas pasar modal kita. Tapi dalam konteks itu regulator mungkin harus berhati hati menanggapi istilah dan himbauan bapak Presiden .
Pasar percaya informasi mengenai “gorengan’ yang dianggap negatif ini, didapatkan oleh Bapak Presiden bukan dari pelaku atau otoritas pasar modal. Karena itu dalam sambutannya beliau meminta otoritas untuk memberi atensi dan meningkatkan pengawasan yang lebih ketat. Semoga saja para pembantu Presiden lebih memberikan informasi yang lebih positif mengenai pasar modal Indonesia.
Mantan Direktur Utama BEI
SAMBUTAN Bapak Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan perdagangan hari pertama bursa efek, menyisakan satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Otoritas pasar modal. Presiden , secara khusus menekankan perlunya menertibkan ‘gorenggorengan’ saham dan para manipulator.
Presiden adalah pimpinan negara. Jadi walaupun OJK adalah Lembaga negara (independen) nonpemerintahan maka pernyataan Presiden di atas perlu mendapat atensi.
Hanya sebagai orang yang karatan di pasar, saya mempunyai pertanyaan besar mengenai apa itu saham "gorengan".Tidak seperti bantahan mengenai adanya predator di bursa efek Indonesia. Pertanyaan ke ‘saham gorengan’ lebih kepada definisinya.
Saya tidak punya definisi itu. Karena buat saya tidak ada itu saham gorengan. Karena itulah saya bertanya kepada para pelaku pasar. Saya bertanya dan mendapat respons dari sekitar 50 pelaku pasar yang terdiri atas para Investor (termasuk dana pensiun dan manager investasi), pimpinan sekuritas, pimpinan asosiasi di pasar modal, Lembaga penunjang (penasehat hukum dan akuntan publik), emitten dan mantan regulator.
Begini tanggapan mereka, (saya sudah ringkas sesuai maknanya). Pertama, yang terbanyak tidak memberikan jawaban tuntas ada atau tidak, tapi hanya memberi definisi. Maaf saya anggap ini keraguan ada tidaknya "saham gorengan".
- Saham yang harganya naik turun secara volatile, terlihat dimainkan/dimanipulasi, sehingga harganya terbentuk tidak berdasar mekanisme pasar. Caranya bisa pakai issue liar biar terlihat menarik, misal volume perdagangannya, berita/informasi palsu sampai window dressing laporan keuangan, atau melalui perdagangan yang bersifat semu. Sehingga harga sahamnya tidak mencerminkan fundamental ataupun refleksi dari ekonomi makro.
- Saham berkwalitas jelek direkayasa untuk ambil keuntungan.
Kedua, yang secara langsung mengatakan ada, tidak memberi definisi, beberapa hanya memberi contoh (saya tidak tuliskan di sini).
- Anggapannya saham gorengan adalah sama dengan perdagangan semu
- Saham “gorengan” arahnya adalah “Cornering”
Ketiga, yang terbanyak adalah yang langsung mengatakan tidak ada, dengan pandangan semua saham ada kepentingan pemegang mayoritas. Beda harga pasar dengan nilai fundamental tidak bisa jadi patokan ada tidaknya yang memainkan harga saham itu. Seorang investor yang membeli dalam jumlah banyak lalu menjual pada harga tinggi, bahkan bila berkali kali jual beli, tidak dilarang oleh peraturan didunia manapun.,
Secara implisit terkandung pendapat bahwa saham itu kalau hanya di perjual belikan (apakah ini “dimainkan”) dalam jumlah besar bukan berarti langsung dosa. Tapi menjadi eksplisit dosa jika perdagangannya itu semu, atau ada manipulasi (informasi atau laporan keuangan misalnya). Sesuai dengan larangan yang ada di UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 90.
Jadi saham ‘gorengan’ itu apa?
Mayoritas sepakat bahwa saham yang dipanggil “gorengan” itu adalah saham yang naik tinggi dalam waktu relatif cepat lalu bergejolak naik turun karena ada yang berkepentingan. Tapi apakah hanya saham jelek, hanya saham dengan kapitalisasi kecil, saham dengan fundamental tidak kuat yang bisa dipanggil "gorengan".
Secara eksplisit bahkan ini dibantah. Ada saham BUMN yang di mainkan, dalam arti dibeli secara bersama sama oleh beberapa dana pensiun secara berkala, sehingga harganya naik tinggi. Ada saham BUMN yang naik melesat tinggi, lalu terbanting karena pemerintah tidak konsisten dalam menentukan harga jual produknya. Atau saham BUMN yang dari mulai IPO sudah dipaksakan untuk ditelan oleh perseroan negara lainnya dan sampai saat ini tidak pernah kembali keharga IPO.
Apakah itu semua juga "gorengan"? Hanya semua sepakat bahwa melakukan perdagangan semu untuk memainkan harga saham itu suatu pelanggaran dan pantas untuk dihukum.
Yang pasar dan mayoritas emitten tidak bisa terima adalah bahwa dosa “gorengan” atau ”manipulasi” ditimpakan hanya ke saham lapis dua. Bukankah ini adalah prioritas pemerintah dan otoritas untuk meng- encourage perusahaan menengah untuk go public agar punya sumber dana yang efisien?. Tapi struktur bursa Indonesia memang secara keaktifan berat ke bawah. Sekitar 8% atau 52 emitten di bursa menguasai lebih dari 75 % kapitalisasi pasar, dengan nilai perdagangan hanya 56,8 %. Tapi keaktifan saham berkapitalisasi besar ini sangat kecil. Volume hanya 10,8 % dan frekuensi keaktifan 33 %.
Artinya keaktifan transaksi di bursa efek Indonesia yang dibanggakan sebagai salah satu teraktif di ASEAN itu, sekitar 90 % volume dan 67 % frekuensi adalah kontribusi dari perusahaan lapis dua. Tolong perseroan lapis kedua ini jangan selalu di- bully sebagai manipulator.
Jadi apakah “menggoreng” saham itu berdosa. Bagaimana jika semua transaksinya riel dilakukan oleh yang berkepentingan secara terbuka melalui mekanisme di bursa efek, tanpa perdagangan semu?
Satu respons menganggap “gorengan” adalah market making. Di banyak bursa efek, market maker diperbolehkan. Di New york Stock Exchanges (NYSE), para market maker-lah yang mayoritas masih duduk difloor, bahkan menjadi show room peninggalan tradisi sejarah perdagangan di sana.
Di beberapa negara gugusan Nordic, market making direkomendasikan untuk dilakukan oleh emitten yang sahamnya tidak aktif, dengan tujuan utama aktifitas transaksi dibursa untuk meningkatkan likuiditas perdagangan.
Dua sambutan pada saat penutupan perdagangan 2019 dan pembukaan perdagangan 2020 membuat kening saya berkerut. Saya membayangkan bagaimana mereka yang harus terbang lebih dari 12 jam untuk sampai ke Indonesia, apalagi yang belum pernah ke Indonesia, sebagai seorang investor menterjemahkan arti “predator” dan “gorengan” dalam strategi investasi mereka di Indonesia.
Pembukaan dan penutupan perdagangan tahunan dibursa efek adalah suatu ritual seremonial yang biasanya dilakukan oleh para tokoh pimpinan ekonomi. Dengan tujuan agar menyebarkan nafas segar wangi untuk mengundang investor berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Karenanya , buat saya, agak tidak tepat menebarkan berita yang menggambarkan adanya pemain kasar (kalau dilapangan bola) di pasar modal kita di momen itu. Pembukaan dan penutupan adalah saat yang paling tepat untuk membantu ekspos keberhasilan kerja bursa efek. Keberhasilan mencetak 58 saham perdana atau kelancaran efisiensi transaksi dibursa efek selama 2019, patut di acungi jempol dan seyogianya ini lah topik utama yang harus di informasikan oleh pembantu Presiden kepada Bapak Presiden, sebelum beliau melangkah ke bursa.
Predator di bursa efek, saya berani katakan tidak ada, dan itu hanya statement yang menimbulkan efek kejut negatif untuk bursa. Saham “gorengan”, satu istilah khas di pasar modal Indonesia yang menggambarkan aktifitas perdagangan aktif saham tertentu, yang jika dilakukan tanpa perdagangan semu atau niat Cornering belum tentu berdampak negatif untuk pasar.
Bagaimanapun, saya sangat menghargai kedatangan dan perhatian bapak Presiden untuk meningkatkan kredibilitas pasar modal kita. Tapi dalam konteks itu regulator mungkin harus berhati hati menanggapi istilah dan himbauan bapak Presiden .
Pasar percaya informasi mengenai “gorengan’ yang dianggap negatif ini, didapatkan oleh Bapak Presiden bukan dari pelaku atau otoritas pasar modal. Karena itu dalam sambutannya beliau meminta otoritas untuk memberi atensi dan meningkatkan pengawasan yang lebih ketat. Semoga saja para pembantu Presiden lebih memberikan informasi yang lebih positif mengenai pasar modal Indonesia.
(dam)