Staf Khusus Presiden: Tidak Ada Niat Jokowi Dikte KPK
A
A
A
JAKARTA - Tudingan adanya keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengendalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui peraturan presiden (perpres) terus dibantah pihak Istana. Bahkan Istana meragukan keaslian draf perpres yang menyatakan posisi pimpinan KPK akan setingkat menteri dan di bawah koordinasi Presiden.
“Saat ini draf peraturan presiden (perpres) terkait posisi pimpinan KPK yang setingkat dengan menteri dan di bawah Presiden masih tahap finalisasi. Jadi kalau ada draf perpres yang beredar kita tidak bisa memastikan apakah kontennya benar karena tidak jelas dari mana sumber draf tersebut," kata staf khusus (stafsus) Presiden, Dini Purwono, di Jakarta kemarin.
Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menegaskan tidak ada niat Presiden Jokowi melemahkan atau apalagi mendikte pimpinan KPK. Lebih dari itu, kata Dini, Presiden ingin KPK menjadi lembaga yang sehat dan kuat, melaksanakan fungsi sesuai dengan tujuan awal pembentukannya, dan tidak disalahgunakan oleh oknum mana pun.
“Untuk itu harus ada sistem yang bisa mengawal kinerja KPK, bukan mendikte,” tegasnya. Dia menganggap KPK tetap menjadi lembaga independen yang hanya menyampaikan laporan kinerja mereka setahun sekali kepada Presiden dan DPR. Karena itu dia meyakini tidak ada yang berubah atas kewenangan KPK.
Sementara itu mengenai pengangkatan Dewan Pengawas (Dewas) KPK oleh Presiden itu hanya untuk yang pertama kali karena adanya urgensi waktu supaya pelantikan dapat dilakukan bersamaan dengan pelantikan pimpinan KPK. "Untuk pengangkatan Dewas selanjutnya akan melibatkan pansel. Sama dengan proses pemilihan pimpinan KPK," ujar Dini.
Sebelumnya mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) menilai draf Perpres tentang KPK yang disiapkan pemerintah telah mencabik independensi KPK. "Draf Perpres KPK yang diedarkan ke publik adalah sinyal dan lonceng yang menandakan palu godam dan sembilu dari kekuasaan yang tengah menggedor-gedor dan mencabik-cabik prinsip independensi lembaga pemberantasan korupsi," tegas BW kepada KORAN SINDO, Kamis (2/1).
Dia mengungkapkan independensi adalah prasyarat penting dan indikator untuk menilai dua aspek penting. Pertama, keseriusan pemerintah dalam perang melawan korupsi. Kedua, apakah pemerintah telah bertekuk lutut dan menjadi bagian persekutuan koruptor dalam corruptor fights back gangs.
"Draf perpres yang diedarkan ke publik secara nyata telah melanggar prinsip penting yang tersebut di dalam Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC (The United Nations Convention Against Corruption) Tahun 2003 yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7 Tahun 2006," ujarnya.
BW menjelaskan, Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC menyatakan bahwa negara sebagai pihak yang meratifikasi wajib menjamin adanya badan atau orang khusus yang harus diberi kemandirian atau independensi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karenanya menurut dia, jika draf perpres tersebut kelak diterbitkan, perpres itu akan menjadi indikasi kuat bahwa Presiden dengan sengaja telah menempatkan KPK sebagai lembaga yang tidak independen.
"Karena (KPK) secara langsung berada di bawah pengaruh dan kekuasaannya. KPK bisa jatuh hanya menjadi alat kekuasaan belaka," paparnya. Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) itu berharap, semoga akal sehat dan nurani kewarasan masih terus hadir untuk dapat memimpin bangsa ini keluar dari kejumudan yang kini tengah menyandera ruang publik dan perilaku penguasa.
Lebih dari itu BW berpandangan, masyarakat sipil harus melakukan upaya dan cara terbaik untuk mencegah agar draf perpres tidak keluar serta agar independensi KPK tidak dimatikan oleh Presiden dan pemerintah.
"Sudah saatnya masyarakat sipil melakukan call emergency keputusan international institution dan community bahwa Indonesia tengah melanggar prinsip penting di dalam Konvensi UNCAC 2003. Karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut, wajib untuk mengikutinya. Pasal 6 jo Pasal 36 secara jelas mewajibkan negara penandatangan menjamin independensi badan dan orang untuk pemberantasan korupsi," ucapnya.
“Saat ini draf peraturan presiden (perpres) terkait posisi pimpinan KPK yang setingkat dengan menteri dan di bawah Presiden masih tahap finalisasi. Jadi kalau ada draf perpres yang beredar kita tidak bisa memastikan apakah kontennya benar karena tidak jelas dari mana sumber draf tersebut," kata staf khusus (stafsus) Presiden, Dini Purwono, di Jakarta kemarin.
Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menegaskan tidak ada niat Presiden Jokowi melemahkan atau apalagi mendikte pimpinan KPK. Lebih dari itu, kata Dini, Presiden ingin KPK menjadi lembaga yang sehat dan kuat, melaksanakan fungsi sesuai dengan tujuan awal pembentukannya, dan tidak disalahgunakan oleh oknum mana pun.
“Untuk itu harus ada sistem yang bisa mengawal kinerja KPK, bukan mendikte,” tegasnya. Dia menganggap KPK tetap menjadi lembaga independen yang hanya menyampaikan laporan kinerja mereka setahun sekali kepada Presiden dan DPR. Karena itu dia meyakini tidak ada yang berubah atas kewenangan KPK.
Sementara itu mengenai pengangkatan Dewan Pengawas (Dewas) KPK oleh Presiden itu hanya untuk yang pertama kali karena adanya urgensi waktu supaya pelantikan dapat dilakukan bersamaan dengan pelantikan pimpinan KPK. "Untuk pengangkatan Dewas selanjutnya akan melibatkan pansel. Sama dengan proses pemilihan pimpinan KPK," ujar Dini.
Sebelumnya mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) menilai draf Perpres tentang KPK yang disiapkan pemerintah telah mencabik independensi KPK. "Draf Perpres KPK yang diedarkan ke publik adalah sinyal dan lonceng yang menandakan palu godam dan sembilu dari kekuasaan yang tengah menggedor-gedor dan mencabik-cabik prinsip independensi lembaga pemberantasan korupsi," tegas BW kepada KORAN SINDO, Kamis (2/1).
Dia mengungkapkan independensi adalah prasyarat penting dan indikator untuk menilai dua aspek penting. Pertama, keseriusan pemerintah dalam perang melawan korupsi. Kedua, apakah pemerintah telah bertekuk lutut dan menjadi bagian persekutuan koruptor dalam corruptor fights back gangs.
"Draf perpres yang diedarkan ke publik secara nyata telah melanggar prinsip penting yang tersebut di dalam Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC (The United Nations Convention Against Corruption) Tahun 2003 yang sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7 Tahun 2006," ujarnya.
BW menjelaskan, Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC menyatakan bahwa negara sebagai pihak yang meratifikasi wajib menjamin adanya badan atau orang khusus yang harus diberi kemandirian atau independensi dalam upaya pemberantasan korupsi. Karenanya menurut dia, jika draf perpres tersebut kelak diterbitkan, perpres itu akan menjadi indikasi kuat bahwa Presiden dengan sengaja telah menempatkan KPK sebagai lembaga yang tidak independen.
"Karena (KPK) secara langsung berada di bawah pengaruh dan kekuasaannya. KPK bisa jatuh hanya menjadi alat kekuasaan belaka," paparnya. Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) itu berharap, semoga akal sehat dan nurani kewarasan masih terus hadir untuk dapat memimpin bangsa ini keluar dari kejumudan yang kini tengah menyandera ruang publik dan perilaku penguasa.
Lebih dari itu BW berpandangan, masyarakat sipil harus melakukan upaya dan cara terbaik untuk mencegah agar draf perpres tidak keluar serta agar independensi KPK tidak dimatikan oleh Presiden dan pemerintah.
"Sudah saatnya masyarakat sipil melakukan call emergency keputusan international institution dan community bahwa Indonesia tengah melanggar prinsip penting di dalam Konvensi UNCAC 2003. Karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut, wajib untuk mengikutinya. Pasal 6 jo Pasal 36 secara jelas mewajibkan negara penandatangan menjamin independensi badan dan orang untuk pemberantasan korupsi," ucapnya.
(don)