DPR Pesimistis dengan Program Kartu Prakerja
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengaku pesimistis terhadap program kartu prakerja yang diluncurkan pemerintah. Pasalnya, lapangan kerja baru belum tersedia bagi para pencari kerja itu. Sementara, peningkatan skill calon pekerja dan ketersediaan lapangan kerja harus seimbang jumlahnya.
“Saya pesimistis, karena pelatihannya cuma 3 bulan, skill yang dipakai skill biasa, bukan yang benar-benar memberdayakan. Misalnya pelatihan komputer dilakukan 3 bulan, walaupun sudah dilatih keutamaannya apa? Sudah bisa kerja belum. Selama ini kan dunia kerja terlalu sempit dengan jumlah pengangguran yang begitu besar,” kata Saleh kepada SINDOnews, Minggu (5/1/2020).
Menurut Saleh, pemerintah sendiri belum menjelaskan apakah program kartu prakerja itu link and match dengan dunia kerja yang akan menampungnya. Dia mendukung jika para pengangguran ini dilatih tapi kalau lapangan pekerjaannya tidak ada bagaimana kelanjutannya. Jangan sampai mereka dua kali menganggur yakni sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan. “Jadi menurut saya, itu dulu yang penting dijelaskan,” pintanya.
Terkait lapangan kerja, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PAN ini mengakui bahwa selama ini memang pemerintah terus menggaungkan soal investasi asing untuk penyediaan lapangan kerja. Namun, dia melihat investasi asing belum terbukti bisa menyejahterakan atau membuka lapangan kerja bagi. Investasi asing itu justru menguntungkan pihak lain atau pihak luar. “Artinya, perusahaan-perusahaan asing yang investasi di Indonesia tidak memberikan kelebihan atau suatu keutamaan kepada pekerja lokal untuk bisa gabung. Semestinya itu dulu yang dikerjakan,” desak Saleh.
Karena itu, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu meminta kepada pemerintah untuk menyeimbangkan jumlah antara calon pekerja yang memiliki kemampuan memadai dan juga penyediaan lapangan kerja.
Untuk 2020, sambung dia, ada 2 juta target sasaran program kartu prakerja tapi, apa sudah ada tempat untuk menampung mereka sebagai pekerja. Pemerintah menjanjikan akan memberi uang saku selama 3 bulan bagi para calon pekerja, lalu diberi sertifikat. “Ya itu bagus saja, tapikan sertifikat itu hanya selembar kertas untuk memberikan pengakuan bahwa dia pernah ikut. Tapi kalau lapangan kerjanya nggak ada, mau sertifikat 10 juga enggak berguna. Mereka yang ikut pelatihan juga bukan orang yang enggak sekolah, ada juga yang mungkin sudah sekolah, kemudian ditambah skillnya,” ujar Saleh.
Menurut dia, jawaban pemerintah soal penyediaan lapangan kerja bagi pemegang kartu prakerja, bahwa Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sedang mengupayakan bagaimana lulusannya nanti bisa tersambung dengan dunia kerja.
Tapi, dirinya pesimistis karena kalau memang bisa tersambung kenapa tidak dari dulu dilakukan penyaluran tenaga kerja. Lalu alasannya karena skillnya minim, kenapa tidak sejak dulu juga ditingkatkan skillnya karena Kemenaker punya Direktorat Jenderal Peningkatan Sumber Daya Manusia yang mana mereka membuat Balai Latihan Kerja untuk 1.000 pesantren se-Indonesia. “Itu kan outputnya seharusnya bagus. Ini kan belum kelihatan hasilnya,” tandasnya.
“Saya pesimistis, karena pelatihannya cuma 3 bulan, skill yang dipakai skill biasa, bukan yang benar-benar memberdayakan. Misalnya pelatihan komputer dilakukan 3 bulan, walaupun sudah dilatih keutamaannya apa? Sudah bisa kerja belum. Selama ini kan dunia kerja terlalu sempit dengan jumlah pengangguran yang begitu besar,” kata Saleh kepada SINDOnews, Minggu (5/1/2020).
Menurut Saleh, pemerintah sendiri belum menjelaskan apakah program kartu prakerja itu link and match dengan dunia kerja yang akan menampungnya. Dia mendukung jika para pengangguran ini dilatih tapi kalau lapangan pekerjaannya tidak ada bagaimana kelanjutannya. Jangan sampai mereka dua kali menganggur yakni sebelum pelatihan dan sesudah pelatihan. “Jadi menurut saya, itu dulu yang penting dijelaskan,” pintanya.
Terkait lapangan kerja, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PAN ini mengakui bahwa selama ini memang pemerintah terus menggaungkan soal investasi asing untuk penyediaan lapangan kerja. Namun, dia melihat investasi asing belum terbukti bisa menyejahterakan atau membuka lapangan kerja bagi. Investasi asing itu justru menguntungkan pihak lain atau pihak luar. “Artinya, perusahaan-perusahaan asing yang investasi di Indonesia tidak memberikan kelebihan atau suatu keutamaan kepada pekerja lokal untuk bisa gabung. Semestinya itu dulu yang dikerjakan,” desak Saleh.
Karena itu, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu meminta kepada pemerintah untuk menyeimbangkan jumlah antara calon pekerja yang memiliki kemampuan memadai dan juga penyediaan lapangan kerja.
Untuk 2020, sambung dia, ada 2 juta target sasaran program kartu prakerja tapi, apa sudah ada tempat untuk menampung mereka sebagai pekerja. Pemerintah menjanjikan akan memberi uang saku selama 3 bulan bagi para calon pekerja, lalu diberi sertifikat. “Ya itu bagus saja, tapikan sertifikat itu hanya selembar kertas untuk memberikan pengakuan bahwa dia pernah ikut. Tapi kalau lapangan kerjanya nggak ada, mau sertifikat 10 juga enggak berguna. Mereka yang ikut pelatihan juga bukan orang yang enggak sekolah, ada juga yang mungkin sudah sekolah, kemudian ditambah skillnya,” ujar Saleh.
Menurut dia, jawaban pemerintah soal penyediaan lapangan kerja bagi pemegang kartu prakerja, bahwa Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sedang mengupayakan bagaimana lulusannya nanti bisa tersambung dengan dunia kerja.
Tapi, dirinya pesimistis karena kalau memang bisa tersambung kenapa tidak dari dulu dilakukan penyaluran tenaga kerja. Lalu alasannya karena skillnya minim, kenapa tidak sejak dulu juga ditingkatkan skillnya karena Kemenaker punya Direktorat Jenderal Peningkatan Sumber Daya Manusia yang mana mereka membuat Balai Latihan Kerja untuk 1.000 pesantren se-Indonesia. “Itu kan outputnya seharusnya bagus. Ini kan belum kelihatan hasilnya,” tandasnya.
(cip)