Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Menuai Kritikan Anggota DPR
A
A
A
JAKARTA - Naiknya iuran BPJS Kesehatan membuat kecewa Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati. Maka itu, Kurniasih mengkritik kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang resmi mulai diberlakukan sesuai dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu.
"Kenaikan iuran BPJS yang mulai diberlakukan ini sangat mengecewakan, karena pemerintah mengabaikan keputusan yang sudah dibuat bersama dengan DPR,” kata Kurniasih Mufidayati dalam keterangan persnya, Jumat (3/1/2020).
Dia mengatakan, pemerintah yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, DJSN dan BPJS Kesehatan telah melakukan rapat maraton bersama dengan Komisi IX sampai dini hari sebanyak 2 kali yaitu pada 7 November 2019 dan 12 Desember 2019.
Rapat dilakukan untuk mencari solusi bagaimana kenaikan iuran yang cukup besar ini tidak dilakukan, setidaknya bagi peserta kelas III dari PBPU dan BP karena akan cukup memberatkan di tengah situasi ekonomi yang masih lesu.
Dia menerangkan, sejak rapat gabungan 2 September 2019, Komisi IX tegas menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan terutama untuk peserta kelas III PBPU dan BP.
Bahkan, kata dia, dalam rapat pada 12 Desember sudah ada kesepakatan untuk mengambil alternatif kedua diantara 3 alternatif yang diusulakan oleh kementrian kesehatan untuk mengatasi keberatan kenaikan iuran untuk kelas 3 peserta PBPU dan BP.
Dikatakannya, alternatif yang disepakati saat itu adalah alternatif 2, bahwa manajemen BPJS akan memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres Nomor 75/2019.
"Profit inilah yang akan digunakan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta PBPU dan BP kelas III. Dengan kata lain, dalam kesepakatan ini tidak ada kenaikan iuran yang akan dibebankan kepada peserta PBPU dan BP kelas III," ungkapnya.
Namun kenyataannya, lanjut dia, kenaikan yang mulai diberlakukan, akan dibebankan pada semua peserta BPJS mulai 2020.
"Keputusan ini berarti Pemerintah mengingkari kesepakatan, bahkan yang diusulkan sendiri oleh Menteri Kesehatan dan disetujui BPJS Kesehatan saat rapat tanggal 12/12/2019 lalu," ujarnya.
Maka itu, dirinya merasa sangat kecewa dengan keputusan pemerintah yang pada akhirnya tetap menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibebankan kepada semua peserta. "Ini untuk kedua kalinya pemerintah mengingkari hasil rapat dengan DPR tentang kenaikan iuran BPJS ini," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tentu saja kenaikan iuran itu sangat memprihatinkan karena pemerintah tidak punya komitmen yang kuat untuk mengurangi beban masyarakat terutama peserta kelas III PBPU dan BP ini dengan tetap menaikan iuran BPJS nya dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.
Sekadar diketahui, kenaikan itu berlaku untuk semua kelas dan klasifikasi peserta tanpa terkecuali yang tentu saja cukup memberatkan bagi peserta BPJS Mandiri. Peserta kelas 1 dan 2 mengalami kenaikan lebih dari 100% dari iuran semula.
Sementara, peserta kelas 3 mandiri naik sebesar 65% yang akan dialami oleh peserta dari Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). "Kedua kelompok ini sebetulnya berada dalam kondisi yang cukup rentan miskin dan selama ini sangat berat untuk memenuhi kewajiban membayar iuran BPJS," pungkasnya.
"Kenaikan iuran BPJS yang mulai diberlakukan ini sangat mengecewakan, karena pemerintah mengabaikan keputusan yang sudah dibuat bersama dengan DPR,” kata Kurniasih Mufidayati dalam keterangan persnya, Jumat (3/1/2020).
Dia mengatakan, pemerintah yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, DJSN dan BPJS Kesehatan telah melakukan rapat maraton bersama dengan Komisi IX sampai dini hari sebanyak 2 kali yaitu pada 7 November 2019 dan 12 Desember 2019.
Rapat dilakukan untuk mencari solusi bagaimana kenaikan iuran yang cukup besar ini tidak dilakukan, setidaknya bagi peserta kelas III dari PBPU dan BP karena akan cukup memberatkan di tengah situasi ekonomi yang masih lesu.
Dia menerangkan, sejak rapat gabungan 2 September 2019, Komisi IX tegas menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan terutama untuk peserta kelas III PBPU dan BP.
Bahkan, kata dia, dalam rapat pada 12 Desember sudah ada kesepakatan untuk mengambil alternatif kedua diantara 3 alternatif yang diusulakan oleh kementrian kesehatan untuk mengatasi keberatan kenaikan iuran untuk kelas 3 peserta PBPU dan BP.
Dikatakannya, alternatif yang disepakati saat itu adalah alternatif 2, bahwa manajemen BPJS akan memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta PBI yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres Nomor 75/2019.
"Profit inilah yang akan digunakan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta PBPU dan BP kelas III. Dengan kata lain, dalam kesepakatan ini tidak ada kenaikan iuran yang akan dibebankan kepada peserta PBPU dan BP kelas III," ungkapnya.
Namun kenyataannya, lanjut dia, kenaikan yang mulai diberlakukan, akan dibebankan pada semua peserta BPJS mulai 2020.
"Keputusan ini berarti Pemerintah mengingkari kesepakatan, bahkan yang diusulkan sendiri oleh Menteri Kesehatan dan disetujui BPJS Kesehatan saat rapat tanggal 12/12/2019 lalu," ujarnya.
Maka itu, dirinya merasa sangat kecewa dengan keputusan pemerintah yang pada akhirnya tetap menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibebankan kepada semua peserta. "Ini untuk kedua kalinya pemerintah mengingkari hasil rapat dengan DPR tentang kenaikan iuran BPJS ini," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tentu saja kenaikan iuran itu sangat memprihatinkan karena pemerintah tidak punya komitmen yang kuat untuk mengurangi beban masyarakat terutama peserta kelas III PBPU dan BP ini dengan tetap menaikan iuran BPJS nya dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.
Sekadar diketahui, kenaikan itu berlaku untuk semua kelas dan klasifikasi peserta tanpa terkecuali yang tentu saja cukup memberatkan bagi peserta BPJS Mandiri. Peserta kelas 1 dan 2 mengalami kenaikan lebih dari 100% dari iuran semula.
Sementara, peserta kelas 3 mandiri naik sebesar 65% yang akan dialami oleh peserta dari Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). "Kedua kelompok ini sebetulnya berada dalam kondisi yang cukup rentan miskin dan selama ini sangat berat untuk memenuhi kewajiban membayar iuran BPJS," pungkasnya.
(pur)