Fahri Minta Presiden dan Gubernur Bersatu Selesaikan Masalah Jakarta
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah mengatakan masalah Jakarta, khususnya banjir dan macet lebih mudah diselesaikan oleh kebijakan presiden daripada gubernur. Tapi, kalau keduanya bersatu tentu masalah tersebut akan cepat teratasi. (Baca juga: Puan Minta K/L Bersinergi Atasi Banjir Bukan Lempar Tanggung Jawab)
“Sejak awal, kita membayangkan adanya perencanaan yang terintegrasi pada tiga provinsi dengan pemerintah pusat, yakni Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Tanpa itu, kita akan terjebak saling menyalahkan sebab tiga provinsi ini adalah kawasan yang saling ketergantungan satu sama lain,” kata Fahri, Kamis (2/1/2020). (Baca juga: Presiden Jokowi Beberkan Upaya Pemerintah Tangani Banjir)
Bahkan, untuk menopang tiga provinsi ini, seharusnya Lampung mulai diikutkan dalam perencanaan kawasan. Karena pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada yang berencana membuat jembatan Selat Sunda sepanjang 30 KM, sayangnya banyak yang tidak percaya. “Tapi sekarang jembatan penghubung Makau-Zuhai-Hong Kong sudah sepanjang 55 KM,” imbuhnya. (Baca juga: Jokowi: Infrastruktur Penanganan Banjir Dibahas Setelah Evakuasi Selesai)
Fahri berpandangan, memang seharusnya antar-pulau itu dibuat integrasinya secara fisik, selain adanya integrasi konsep kenegaraan. Dalam kerangka itu, presiden dan DPR bisa membuat regulasi yang memaksa kawasan tertentu untuk mengikuti konsep besar integrasi kawan tersebut.
“Jawa dan Sumatera, seharusnya disambung agar pergerakan penduduk ke luar Jawa, khususnya ke Sumatera yang lebih besar dan lebih kosong dapat terjadi secara mudah. Tentunya, disertai pembangunan transportasi sampai ke Sabang, maka mobilitas ke barat akan semakin cepat dan mudah,” sarannya.
Fahri menambahkan, ide memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Pulau Kalimantan juga harus diletakkan dalam kerangka integrasi kawasan. Sebab, hanya dengan konsep itu pemindahan itu relevan.
“Karena infrastrukturnya belum memadai, dikhawatirkan pemindahan itu akan kurang efektif menjawab kebutuhan. Ini baru bicara bagian barat dan tengah, belum bicara timur seperti Papua yang memiliki persoalan yang lebih pelik,” tuturnya.
Di luar masalah politik dan integrasi, Fahri menjelaskan dalam ekonomi, sumber kemiskinannya bukan banjir tapi ketimpangan di banyak sektor, mulai pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.
Untuk itu, pemerintah harus menghidupkan jalur Pasifik, seperti Biak harus kembali dibuka sebagai jalur penerbangan internasional seperti zaman Presiden ke-2 RI, Soeharto dulu. Kepadatan penduduk adalah indikator nyata kegagalan menata harapan karena, harapan Indonesia sampai hari ini masih nampak menumpuk di Jawa dan Jakarta khususnya.
“Jadi, sambil membantu para korban, saya menyarankan kepada Bapak Presiden untuk menjadikan momen ini untuk menggalang persatuan. Ini sama dengan konsep integrasi kawasan harus dimulai dengan Sila ke-3 Pancasila kita. Kita harus menghentikan perpecahan yang sudah jadi kenyataan,” usulnya.
Selain itu, Fahri menambahkan, para gubernur juga harus sadar bahwa presiden adalah kekuatan yang paling efektif untuk membangun provinsi dan seluruh wilayah daerah di Indonesia ini. “Jadi, jangan mau diajak bertengkar dengan presiden, nggak ada gunanya. Hasilnya hanya kesengsaraan rakyat. Inilah waktunya mengubur ego. Kita harus bersatu. Harapan saya, semoga musibah besar ini dapat menjadi momentum kebersamaan, sambil menemukan ilham dan petunjuk untuk menjawab tantangan masa depan bangsa Indonesia menuju kekuatan yang memberi harapan pada bangsanya dan pada umat manusia,” katanya.
“Sejak awal, kita membayangkan adanya perencanaan yang terintegrasi pada tiga provinsi dengan pemerintah pusat, yakni Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Tanpa itu, kita akan terjebak saling menyalahkan sebab tiga provinsi ini adalah kawasan yang saling ketergantungan satu sama lain,” kata Fahri, Kamis (2/1/2020). (Baca juga: Presiden Jokowi Beberkan Upaya Pemerintah Tangani Banjir)
Bahkan, untuk menopang tiga provinsi ini, seharusnya Lampung mulai diikutkan dalam perencanaan kawasan. Karena pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada yang berencana membuat jembatan Selat Sunda sepanjang 30 KM, sayangnya banyak yang tidak percaya. “Tapi sekarang jembatan penghubung Makau-Zuhai-Hong Kong sudah sepanjang 55 KM,” imbuhnya. (Baca juga: Jokowi: Infrastruktur Penanganan Banjir Dibahas Setelah Evakuasi Selesai)
Fahri berpandangan, memang seharusnya antar-pulau itu dibuat integrasinya secara fisik, selain adanya integrasi konsep kenegaraan. Dalam kerangka itu, presiden dan DPR bisa membuat regulasi yang memaksa kawasan tertentu untuk mengikuti konsep besar integrasi kawan tersebut.
“Jawa dan Sumatera, seharusnya disambung agar pergerakan penduduk ke luar Jawa, khususnya ke Sumatera yang lebih besar dan lebih kosong dapat terjadi secara mudah. Tentunya, disertai pembangunan transportasi sampai ke Sabang, maka mobilitas ke barat akan semakin cepat dan mudah,” sarannya.
Fahri menambahkan, ide memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Pulau Kalimantan juga harus diletakkan dalam kerangka integrasi kawasan. Sebab, hanya dengan konsep itu pemindahan itu relevan.
“Karena infrastrukturnya belum memadai, dikhawatirkan pemindahan itu akan kurang efektif menjawab kebutuhan. Ini baru bicara bagian barat dan tengah, belum bicara timur seperti Papua yang memiliki persoalan yang lebih pelik,” tuturnya.
Di luar masalah politik dan integrasi, Fahri menjelaskan dalam ekonomi, sumber kemiskinannya bukan banjir tapi ketimpangan di banyak sektor, mulai pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.
Untuk itu, pemerintah harus menghidupkan jalur Pasifik, seperti Biak harus kembali dibuka sebagai jalur penerbangan internasional seperti zaman Presiden ke-2 RI, Soeharto dulu. Kepadatan penduduk adalah indikator nyata kegagalan menata harapan karena, harapan Indonesia sampai hari ini masih nampak menumpuk di Jawa dan Jakarta khususnya.
“Jadi, sambil membantu para korban, saya menyarankan kepada Bapak Presiden untuk menjadikan momen ini untuk menggalang persatuan. Ini sama dengan konsep integrasi kawasan harus dimulai dengan Sila ke-3 Pancasila kita. Kita harus menghentikan perpecahan yang sudah jadi kenyataan,” usulnya.
Selain itu, Fahri menambahkan, para gubernur juga harus sadar bahwa presiden adalah kekuatan yang paling efektif untuk membangun provinsi dan seluruh wilayah daerah di Indonesia ini. “Jadi, jangan mau diajak bertengkar dengan presiden, nggak ada gunanya. Hasilnya hanya kesengsaraan rakyat. Inilah waktunya mengubur ego. Kita harus bersatu. Harapan saya, semoga musibah besar ini dapat menjadi momentum kebersamaan, sambil menemukan ilham dan petunjuk untuk menjawab tantangan masa depan bangsa Indonesia menuju kekuatan yang memberi harapan pada bangsanya dan pada umat manusia,” katanya.
(cip)