Asumsi Makro APBN Banyak Meleset

Selasa, 31 Desember 2019 - 08:30 WIB
Asumsi Makro APBN Banyak Meleset
Asumsi Makro APBN Banyak Meleset
A A A
PENUTUPAN perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir 2019 diwarnai pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Padahal, seremonial penutupan perdagangan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berharap kinerja IHSG bisa kinclong. Namun, harapan tinggal harapan. IHSG turun 29 poin atau 0,47% dari perdagangan sehari sebelumnya ke level 6.299. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan di pasar uang, stagnan di level Rp13.935 per dolar AS. Semula, Presiden Joko Widodo yang dijadwalkan menutup perdagangan saham akhir tahun, namun berhalangan karena masih ada kegiatan di kota lain.

Posisi kurs rupiah di pengujung 2019 yang bertengger di level Rp13.935 per dolar AS menarik dicermati. Mengapa? Sebab, perjalanan kurs rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun ini cukup mendebarkan. Namun, menjelang penutupan tahun, rupiah sedikit memberi rasa adem yang saat ini bertengger di bawah Rp14.000 per dolar AS. Kalau ditelusuri dari awal tahun, posisi rupiah mengkhawatirkan karena pada penutupan perdagangan pasar uang kurs rupiah berada di level Rp14.500 per dolar AS pada akhir 2018.

Lalu, pertengahan tahun malah terkapar dan jelang akhir tahun, rupiah memberi harapan. Meski rupiah sempat anteng pada awal tahun, itu tidak bertahan lama. Pasalnya, data pertumbuhan manufaktur di AS menunjukkan positif, pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Eropa yang rendah, serta harga minyak dunia yang meningkat menyebabkan penguatan mata uang Paman Sam.

Selanjutnya, memasuki Mei 2019 tanda-tanda ambruknya rupiah semakin di depan mata seiring dengan gonjang-ganjing politik sebagai dampak dari Pilpres 2019. Posisi rupiah mulai ambruk ketika sejumlah lembaga survei mengeluarkan hasil hitung sementara di mana pasangan Capres Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin mengungguli pasangan Capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Suhu politik pun memanas yang ditandai aksi turun ke jalan oleh pendukung capres yang kalah. Puncaknya, saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil resmi Pilpres 2019 pada 22 Mei 2019. Pada saat bersamaan rupiah terpelanting ke level Rp14.525 per dolar AS. Tepat pertengahan tahun, dolar AS mulai jinak di mana kurs rupiah menyentuh level Rp14.300 per dolar AS, bahkan pada pertengahan Juli 2019 kurs rupiah bertengger pada posisi Rp 13.920 per dolar AS.

Namun, penguatan rupiah tidak bertahan lama. Pada 13 Agustus 2019 kurs rupiah kembali terperosok pada level Rp 14.325 per dolar AS. Pelemahan rupiah kali ini disebabkan kondisi global yang semakin tidak menentu sebagai dampak dari perang dagang antara AS dan China. Semenjak itu, pergerakan kurs rupiah seperti roller coaster atau naik-turun.

Dari sisi laju inflasi, Bank Indonesia (BI) mencatat 0,55% secara bulanan dan 2,93% hingga minggu keempat Desember 2019. Laju inflasi tersebut menunjukkan angka di bawah rata-rata lima tahunan. Padahal, sebelumnya bank sentral sudah memprediksi laju inflasi tahunan berada pada level 3,1%. Angka laju inflasi yang rendah tersebut mencerminkan kinerja perekonomian Indonesia membaik dalam lima tahun terakhir. Adapun penyumbang angka inflasi tertinggi, di antaranya, tarif angkutan udara sebesar 0,07%, telur ayam sekitar 0,08%, dan bawang merah mencapai 0,08%.

Untuk menjaga laju inflasi 2019 tetap berada dalam kisaran sasaran, pihak BI menempuh sejumlah langkah strategis, pengendalian inflasi volatile food maksimal pada kisaran 4% hingga 5%, melalui empat kebijakan utama, yaitu keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif. Berdasarkan Peta Jalan Pengendalian Inflasi Nasional 2019-2021 menetapkan prioritas kebijakan kepada ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi yang didukung oleh ekosistem yang kondusif serta ketersediaan data yang akurat.

Meski laju inflasi terkendali, kurs rupiah relatif terjaga jelang akhir tahun. Pemerintah tetap mengoreksi target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Alasan pemerintah mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi berangkat dari mayoritas asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang meleset. Lihat saja, realisasi penerimaan pajak yang baru mencapai Rp1.312,4 triliun hingga akhir November lalu.

Realisasi pajak tersebut baru sekitar 73,5% dari target yang dipatok sebesar Rp1.786,4 triliun dalam APBN 2019. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kondisi pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi tumbuh tidak lebih dari 3% sepanjang 2019. Ini pertanda bahwa tahun depan pemerintah harus bekerja lebih keras lagi agar pertumbuhan perekonomian nasional tetap terjaga, setidaknya tidak di bawah 5%.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6747 seconds (0.1#10.140)