Melawan Ketertutupan Informasi Anggaran Publik
A
A
A
Lina Miftahul Jannah
Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
DISKURSUS tentang transparansi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya keuangan publik, pada era keterbukaan informasi seperti sekarang seharusnya sudah tidak terlalu mengganggu. Apalagi jika sampai menimbulkan sikap antipati terhadap orang-orang yang membuka diskursus itu di ruang publik. Keterbukaan informasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip transparansi yang dianut pemerintahan demokratis dan menjadi prasyarat bagi tercapainya tata pemerintahan yang baik (good governance).
Persoalan transparansi dalam konteks anggaran publik penting didiskusikan ketika fase pemerintahan mulai mengakhiri tahun berjalan dan bersiap memasuki tahun anggaran baru. Di Indonesia, urgensinya bukan hanya akibat gonjang-ganjing terbukanya rencana anggaran di Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga karena momentum hasil penilaian terhadap kepatuhan badan-badan publik terhadap kewajiban membuka informasi publik. Selama bertahun-tahun, informasi anggaran selalu menjadi anasir paling sulit untuk dibuka oleh badan publik.
Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat terhadap 355 badan publik dan diluncurkan menjelang akhir 2019 patut disimak. Dari jumlah itu 264 badan publik yang melakukan registrasi, data yang menunjukkan bahwa belum semua badan publik menyadari pentingnya transparansi. Ironisnya, jumlah badan publik yang tidak informatif justru lebih banyak dibandingkan akumulasi jumlah badan publik yang dikualifikasi informatif, menuju informatif, cukup informatif, dan kurang informatif. Perbandingannya 189:166 badan publik.
Komisi Informasi Pusat, yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14/2008 untuk "menjaga" iklim keterbukaan informasi, secara khusus menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik di Indonesia masih jauh dari tujuan yang diamanatkan undang-undang. Ini berarti ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan satu per satu pada tahun-tahun mendatang.
Keterbukaan informasi adalah fenomena global yang sulit dihindari di tengah perkembangan pesat teknologi. Imbasnya terasa ke banyak bidang, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Warga masyarakat membutuhkan informasi untuk memperoleh gambaran yang akurat tentang apa yang dilakukan pemerintahannya sehingga warga dapat berpartisipasi lebih banyak; sedangkan bagi aparatur pemerintahan, informasi berguna untuk memformulasikan kebijakan berbasis riset (research-based policy) dan mengimplementasikan kebijakan itu sesuai analisis atas informasi yang diperoleh.
Tantangannya adalah memilah dan memilih informasi yang diperlukan masing-masing institusi untuk membangun penyelenggaraan pemerintahan yang kolaboratif. Bagaimanapun, saat ini tersedia banyak saluran informasi yang diperoleh warga negara, dan jumlahnya pun melimpah. Lantas, bagaimana badan-badan pemerintahan dan warga menyikapi limpahan informasi itu? Salvatore Schiavo-Campo (2019) menegaskan bahwa informasi yang dapat dipercaya (reliable), tepat waktu (timely), dan relevan (relevant) sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan administrasi publik yang efektif.
Semangat keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan bukan tanpa landasan yuridis-administratif. Setidaknya, ada tiga argumen yang dapat dijadikan rujukan. Pertama, riset yang dilakukan lembaga yang berpusat di London, Article 19, menyebutkan bahwa 90% penduduk dunia kini hidup di negara yang memiliki aturan keterbukaan informasi. Indonesia salah satu di antaranya.
Indonesia adalah negara yang aktif dalam kerja sama keterbukaan lintas negara (Open Government Partnership). Keaktifan Indonesia di dunia global dapat dilihat antara lain pada kebijakan perpajakan, perbankan, dan pencegahan pencucian uang. Kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai beneficial ownership juga dapat dilihat dari perspektif ini.
Kedua, Rule of Law Index 2019 yang dibuat Bank Dunia memperlihatkan nilai yang relatif baik pada level governansi terutama indikator keterbukaan informasi. Cuma, bersih-bersih penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penegakan hukum bukan tanpa ekses. Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi adalah ekses nyata dari upaya bersih-bersih itu. Disadari atau tidak, keterbukaan informasi dan perlindungan kepada saksi-saksi kunci yang memberikan informasi kepada penegak hukum, ikut menopang upaya bersih-bersih penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ada amanat yang jelas dalam peraturan perundang-undangan ini yang mengharuskan badan-badan penyelenggara pemerintahan untuk lebih terbuka kepada warga negara. Setidaknya, kebijakan itu dapat dibaca dalam Pasal 51 bahwa "Pemerintahan wajib membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap warga masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang".
Hakikat Anggaran Publik
Sejumlah riset dan monitoring yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa badan-badan pemerintahan belum sepenuhnya menerima prinsip keterbukaan anggaran publik. Bagi sebagian penyelenggara badan publik, anggaran adalah informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia dari pantauan masyarakat.
Pandangan ini bertahan selama puluhan tahun sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahkan setelah kebijakan ini dijalankan pun, sifat ketertutupan anggaran itu masih terasa di beberapa tempat. Sidang-sidang sengketa informasi anggaran di Komisi Informasi Pusat atau Komisi Informasi Provinsi dapat mengonfirmasinya.
Ketika rezim ketertutupan masih bercakar kuat di pemerintahan, memberitakan APBN sekalipun dapat dianggap sebagai tindak pidana. Tetapi ketika terjadi perubahan yang begitu dramatis akibat perkembangan teknologi, sikap tertutup sudah semakin sulit dipertahankan. Anggaran yang dikelola badan-badan publik berasal dari publik dan seharusnya dipergunakan untuk kepentingan publik. Pemenang hadiah Nobel, Joseph Stiglitz (2002) mengingatkan para penyelenggara pemerintahan bahwa informasi (anggaran) yang mereka kelola adalah milik publik.
Dalam konteks ini, patut dicatat bahwa sebenarnya ada pandangan di kutub lain yang berbeda 180 derajat. kepala daerah justru membuka ruang bagi publik untuk mengetahui anggaran, malah berinovasi mengadakan festival anggaran. Asumsinya, dengan membuka anggaran, maka peluang korupsi di pemerintahan berkurang; pengulangan atau tumpang tindih program dapat diminimalisasi, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan dapat meningkat. Masyarakat yang mengetahui rencana pembangunan jalan atau jembatan di daerahnya justru dapat menggalakkan gotong royong dan partisipasi.
Jadi, pandangan yang menganggap anggaran publik sebagai informasi yang harus dirahasiakan bukan saja harus dibuang jauh-jauh, tetapi juga dapat menjadi penyakit menular di tubuh pemerintahan yang akan mengganggu jalannya pemerintahan. Keterbukaan itu justru menyemai benih-benih keadilan, partisipasi, dan trust, sekaligus jalan mengoptimalkan penggunaan anggaran publik.
Tiang penyangganya sudah dibangun Komisi Informasi Pusat delapan tahun lalu, yang menegaskan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala oleh badan publik. Dalam perkembangannya, cakupan keterbukaan anggaran itu semakin meluas berdasarkan alasan-alasan dan argumentasi yang kuat dan dikuatkan oleh pengadilan.
Mempertahankan pandangan bahwa masyarakat harus dijauhkan dari anggaran, cukuplah pemerintah yang mengetahui seluk beluk anggaran (termasuk penyusunan dan peruntukannya) adalah pandangan penuh risiko di tengah iklim transparansi. Risiko paling terlihat dari beberapa kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersemainya niat buruk mempermainkan anggaran untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bahkan sebelum perencanaan anggaran. Sistem ijon proyek tertentu mungkin dapat dijadikan contoh.
Inovasi kebijakan seperti festival anggaran justru menegaskan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keterbukaan anggaran publik. Ini akan menjadi mata rantai tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Sebaliknya, banyak risiko yang dapat menimpa jika informasi anggaran publik dirahasiakan. Maka terasa aneh jika ada pimpinan daerah dan legislatif yang berusaha menutup-nutupi informasi anggaran dengan dalih menghindari kegaduhan.
Memasuki Tahun Baru 2020, kita perlu mengingat kembali kata-kata yang sering dikutip dalam isu keterbukaan informasi publik. Louis Brandeis, seorang hakim Amerika Serikat, "Sunlight is the best disinfectant ". Terbuka jauh lebih bermanfaat mengurangi risiko yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kalau bersih, mengapa harus risih!
Dosen Tetap di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
DISKURSUS tentang transparansi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya keuangan publik, pada era keterbukaan informasi seperti sekarang seharusnya sudah tidak terlalu mengganggu. Apalagi jika sampai menimbulkan sikap antipati terhadap orang-orang yang membuka diskursus itu di ruang publik. Keterbukaan informasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip transparansi yang dianut pemerintahan demokratis dan menjadi prasyarat bagi tercapainya tata pemerintahan yang baik (good governance).
Persoalan transparansi dalam konteks anggaran publik penting didiskusikan ketika fase pemerintahan mulai mengakhiri tahun berjalan dan bersiap memasuki tahun anggaran baru. Di Indonesia, urgensinya bukan hanya akibat gonjang-ganjing terbukanya rencana anggaran di Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga karena momentum hasil penilaian terhadap kepatuhan badan-badan publik terhadap kewajiban membuka informasi publik. Selama bertahun-tahun, informasi anggaran selalu menjadi anasir paling sulit untuk dibuka oleh badan publik.
Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan Komisi Informasi Pusat terhadap 355 badan publik dan diluncurkan menjelang akhir 2019 patut disimak. Dari jumlah itu 264 badan publik yang melakukan registrasi, data yang menunjukkan bahwa belum semua badan publik menyadari pentingnya transparansi. Ironisnya, jumlah badan publik yang tidak informatif justru lebih banyak dibandingkan akumulasi jumlah badan publik yang dikualifikasi informatif, menuju informatif, cukup informatif, dan kurang informatif. Perbandingannya 189:166 badan publik.
Komisi Informasi Pusat, yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14/2008 untuk "menjaga" iklim keterbukaan informasi, secara khusus menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik di Indonesia masih jauh dari tujuan yang diamanatkan undang-undang. Ini berarti ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan satu per satu pada tahun-tahun mendatang.
Keterbukaan informasi adalah fenomena global yang sulit dihindari di tengah perkembangan pesat teknologi. Imbasnya terasa ke banyak bidang, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Warga masyarakat membutuhkan informasi untuk memperoleh gambaran yang akurat tentang apa yang dilakukan pemerintahannya sehingga warga dapat berpartisipasi lebih banyak; sedangkan bagi aparatur pemerintahan, informasi berguna untuk memformulasikan kebijakan berbasis riset (research-based policy) dan mengimplementasikan kebijakan itu sesuai analisis atas informasi yang diperoleh.
Tantangannya adalah memilah dan memilih informasi yang diperlukan masing-masing institusi untuk membangun penyelenggaraan pemerintahan yang kolaboratif. Bagaimanapun, saat ini tersedia banyak saluran informasi yang diperoleh warga negara, dan jumlahnya pun melimpah. Lantas, bagaimana badan-badan pemerintahan dan warga menyikapi limpahan informasi itu? Salvatore Schiavo-Campo (2019) menegaskan bahwa informasi yang dapat dipercaya (reliable), tepat waktu (timely), dan relevan (relevant) sangat penting bagi tata kelola pemerintahan dan administrasi publik yang efektif.
Semangat keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan bukan tanpa landasan yuridis-administratif. Setidaknya, ada tiga argumen yang dapat dijadikan rujukan. Pertama, riset yang dilakukan lembaga yang berpusat di London, Article 19, menyebutkan bahwa 90% penduduk dunia kini hidup di negara yang memiliki aturan keterbukaan informasi. Indonesia salah satu di antaranya.
Indonesia adalah negara yang aktif dalam kerja sama keterbukaan lintas negara (Open Government Partnership). Keaktifan Indonesia di dunia global dapat dilihat antara lain pada kebijakan perpajakan, perbankan, dan pencegahan pencucian uang. Kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai beneficial ownership juga dapat dilihat dari perspektif ini.
Kedua, Rule of Law Index 2019 yang dibuat Bank Dunia memperlihatkan nilai yang relatif baik pada level governansi terutama indikator keterbukaan informasi. Cuma, bersih-bersih penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penegakan hukum bukan tanpa ekses. Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi adalah ekses nyata dari upaya bersih-bersih itu. Disadari atau tidak, keterbukaan informasi dan perlindungan kepada saksi-saksi kunci yang memberikan informasi kepada penegak hukum, ikut menopang upaya bersih-bersih penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ada amanat yang jelas dalam peraturan perundang-undangan ini yang mengharuskan badan-badan penyelenggara pemerintahan untuk lebih terbuka kepada warga negara. Setidaknya, kebijakan itu dapat dibaca dalam Pasal 51 bahwa "Pemerintahan wajib membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada setiap warga masyarakat untuk mendapatkan informasi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang".
Hakikat Anggaran Publik
Sejumlah riset dan monitoring yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa badan-badan pemerintahan belum sepenuhnya menerima prinsip keterbukaan anggaran publik. Bagi sebagian penyelenggara badan publik, anggaran adalah informasi yang dikecualikan dan bersifat rahasia dari pantauan masyarakat.
Pandangan ini bertahan selama puluhan tahun sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bahkan setelah kebijakan ini dijalankan pun, sifat ketertutupan anggaran itu masih terasa di beberapa tempat. Sidang-sidang sengketa informasi anggaran di Komisi Informasi Pusat atau Komisi Informasi Provinsi dapat mengonfirmasinya.
Ketika rezim ketertutupan masih bercakar kuat di pemerintahan, memberitakan APBN sekalipun dapat dianggap sebagai tindak pidana. Tetapi ketika terjadi perubahan yang begitu dramatis akibat perkembangan teknologi, sikap tertutup sudah semakin sulit dipertahankan. Anggaran yang dikelola badan-badan publik berasal dari publik dan seharusnya dipergunakan untuk kepentingan publik. Pemenang hadiah Nobel, Joseph Stiglitz (2002) mengingatkan para penyelenggara pemerintahan bahwa informasi (anggaran) yang mereka kelola adalah milik publik.
Dalam konteks ini, patut dicatat bahwa sebenarnya ada pandangan di kutub lain yang berbeda 180 derajat. kepala daerah justru membuka ruang bagi publik untuk mengetahui anggaran, malah berinovasi mengadakan festival anggaran. Asumsinya, dengan membuka anggaran, maka peluang korupsi di pemerintahan berkurang; pengulangan atau tumpang tindih program dapat diminimalisasi, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan dapat meningkat. Masyarakat yang mengetahui rencana pembangunan jalan atau jembatan di daerahnya justru dapat menggalakkan gotong royong dan partisipasi.
Jadi, pandangan yang menganggap anggaran publik sebagai informasi yang harus dirahasiakan bukan saja harus dibuang jauh-jauh, tetapi juga dapat menjadi penyakit menular di tubuh pemerintahan yang akan mengganggu jalannya pemerintahan. Keterbukaan itu justru menyemai benih-benih keadilan, partisipasi, dan trust, sekaligus jalan mengoptimalkan penggunaan anggaran publik.
Tiang penyangganya sudah dibangun Komisi Informasi Pusat delapan tahun lalu, yang menegaskan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala oleh badan publik. Dalam perkembangannya, cakupan keterbukaan anggaran itu semakin meluas berdasarkan alasan-alasan dan argumentasi yang kuat dan dikuatkan oleh pengadilan.
Mempertahankan pandangan bahwa masyarakat harus dijauhkan dari anggaran, cukuplah pemerintah yang mengetahui seluk beluk anggaran (termasuk penyusunan dan peruntukannya) adalah pandangan penuh risiko di tengah iklim transparansi. Risiko paling terlihat dari beberapa kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersemainya niat buruk mempermainkan anggaran untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bahkan sebelum perencanaan anggaran. Sistem ijon proyek tertentu mungkin dapat dijadikan contoh.
Inovasi kebijakan seperti festival anggaran justru menegaskan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keterbukaan anggaran publik. Ini akan menjadi mata rantai tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Sebaliknya, banyak risiko yang dapat menimpa jika informasi anggaran publik dirahasiakan. Maka terasa aneh jika ada pimpinan daerah dan legislatif yang berusaha menutup-nutupi informasi anggaran dengan dalih menghindari kegaduhan.
Memasuki Tahun Baru 2020, kita perlu mengingat kembali kata-kata yang sering dikutip dalam isu keterbukaan informasi publik. Louis Brandeis, seorang hakim Amerika Serikat, "Sunlight is the best disinfectant ". Terbuka jauh lebih bermanfaat mengurangi risiko yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kalau bersih, mengapa harus risih!
(thm)