Mengukur Peluang Kerja Sama RI-Britania Raya Pasca-Brexit

Kamis, 26 Desember 2019 - 16:24 WIB
Mengukur Peluang Kerja...
Mengukur Peluang Kerja Sama RI-Britania Raya Pasca-Brexit
A A A
Farhan Arif Sumawiharja. S.Tr.K
Mahasiswa S2 Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia

PASCA Perang Dunia II, Britania Raya atau yang sering disebut United Kingdom menjadi sebuah kekuatan besar di dunia dalam bidang politik dan ekonomi. Bersama sekutunya Amerika Serikat, Britania Raya menjadi sebuah hegemoni yang disegani di dua bidang tersebut.

Dengan kedigdayaan tersebut Britania Raya merasa tidak perlu untuk bergabung dengan sebuah perserikatan Negara Eropa atau yang dikenal saat ini Uni Eropa.

Sebelum menjadi organisasi regional di wilayah Eropa, Uni Eropa merupakan organisasi yang bergerak hanya di bidang ekonomi. Organisasi tersebut dikenal Kelompok Ekonomi Eropa (Europe Economy Community).

Pada tahun 1960-an Britania Raya berubah pikiran dan mengajukan proposal untuk menjadi anggota Uni Eropa, pada saat itu terjadi penolakan di kalangan pimpinan Eropa. Salah satu tokoh yang sangat vokal menolak adalah Presiden Perancis Charles De Gaulle. Setelah Charles De Gaulle lengser, kepemimpinan Perancis dilanjutkan oleh Felix Guoin. Tepat pada tahun 1973 Britania Raya bergabung menjadi anggota organisasi yang diprakarsai negara-negara Eropa.

40 tahun berselang, permasalahan mulai muncul yang berkaitan dengan Britania Raya. Rakyat Britania Raya merasa bahwa bergabungnya Britania Raya tersebut menjadi salah satu faktor penghambat negara yang dipimpin Ratu Elizabeth II menjadi lebih besar dan digdaya. Program terkait berbagi imigran, peraturan terkait bisnis yang mengekang memunculkan opsi untuk Britania Raya keluar dari Uni Eropa dan berkembang lebih pesat. Isu Britania Raya keluar dari Uni Eropa dikenal sebagai British Exit atau yang sering disingkat “Brexit”.

Opsi ini mulai muncul pada tahun 2016, dan tepat pada 23 Juni 2016 Rakyat Britania Raya menentukan nasibnya untuk keluar dari Uni Eropa. Proses dari referendum ke pelaksanaan tersebut masih berjalan dan memiliki tenggat waktu sampai 2020.

Keputusan Britania Raya keluar dari Britania Raya jelas memberikan efek yang besar pada ekonomi dunia. Nilai tukar Poundsterling merosot tajam sehari setelah dilakukannya referendum. Hubungan bisnis dan ekonomi Indonesia dan Britania Raya yang sudah terjalin selama 40 tahun jelas memberikan dampak positif dan negatif kepada hubungan bisnis kedua Negara. Namun pengaruh tersebut hanya berdampak beberapa pekan. Setelah itu semua kembali berjalandengan normal. Berikut beberapa pengaruh yang terjadi di bidang perdagangan dan investasi.

Dalam bidang perdagangan faktor fundamental yang harus dilihat tentu lah perdagangan antara Inggris dan Indonesia serta investasi langsung(Penanaman Modal Asing/PMA) Inggris di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata porsi nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Inggris hanya 1,2 persen dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia ke seluruh dunia. Pada tahun 2015 misalnya, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Inggris sebesar 1,53 miliar dollar AS atau 1,16 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia yang sebesar 131,73 miliar dollar AS.

Pada bidang investasi, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi langsung (foreign direct investment) Inggris di Indonesia tahun 2015 sebesar 503 juta dollar AS atau 1,71% dari total PMA senilai 29,27 miliar dollar AS. Inggris merupakan negara kesepuluh terbesar dalam jumlah investasi di Indonesia.

Nilai investasi Inggris masih di bawah Singapura, Malaysia, Jepang, dan Belanda. Namun, dibandingkan negara-negara UE, investasi Inggris merupakan kedua terbesar setelah Belanda. Jadi, dari sisi investasi, pengaruh Inggris relatif lebih besar ketimbang pengaruhnya dari sisi perdagangan. Kendati demikian, dilihat dari nilainya, investasi Inggris juga tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB Indonesia.

Dengan kata lain, jika ekonomi Inggris ambruk karena Brexit, pengaruhnya relatif kecil terhadap fundamental perekonomian Indonesia. Jika ditelaah lebih dalam data yang disajikan diatas menunjukkan bahwa fenomena Brexit tidak terlalu berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terlebih, akhir-akhir ini Pemerintah Indonesia lebih banyak menjalin kerja sama dengan China dan Amerika Serikat.

Namun di balik pengaruhnya yang tidak terlalu signifikan, pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengambil kesempatan guna meningkatkan kerja sama dagang dengan Britania Raya.

Dalam kondisi ekonomi global menjauh dari Britania Raya akibat ketidakpastian status mereka, Indonesia perlu membuat kesepakatan perdagangan bebas untuk memperkuat sektor ekonomi di Eropa. Data perdagangan Indonesia dan Britania Raya menunjukkan tren positif. Namun pemerintah juga perlu mewaspadai dampak kerja sama yang ditingkatkan akan menimbulkan sentiment antara negara digdaya di bidang ekonomi.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8374 seconds (0.1#10.140)