ICW Dorong Hukuman Maksimal bagi Koruptor, Bukan Hukuman Mati
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa hukuman mati bisa saja diterapkan bagi koruptor di Indonesia. Asalkan, ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
Menurut Jokowi, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.
Menanggapi itu, Peneliti ICW Tama S Langkun menilai jika seharusnya Indonesia menerapkan hukum yang maksimal. Sebab jika hanya terpaku dengan hukuman mati, hal itu bisa terkena imbas masalah hak asasi manusia (HAM).
"Kalau saya sebenarnya bukan dalam setuju hukuman mati, karena itu berbicara masalah HAM. Tapi yang kita harapkan adalah sanksi maksimal," ujar Tama S Langkun di kawasan Raden Saleh, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Tama menjelaskan bahwa sanksi maksimal saat ini, pada 2018 ratusan putusan rata-rata 2 tahun 2 bulan. Kalaupun di atas 10 tahun itu hanya 9 perkara.
"Yang kemudian harusnya sanksinya berat, tidak hanya berbicara pidananya, tapi juga perampasan aset. Alasan kedua, hukumannya mati tidak menjadi solusi," jelasnya.
Seharusnya, kata Tama, Indonesia mencontoh negara dengan Indeks presepsi Korupsi (IPK) yang bagus seperti Denmark, Norwegia dan Selandia Baru yang tidak menerapkan hukuman mati.
Dirinya juga menyebut hukuman mati bukan jalan keluar menurunkan tindakan koruptif di Indonesia, khususnya bagi pejabat daerah maupun negara.
"Justru yang perlu ditingkatkan adalah sanksi maksimal, kemudian upaya pengembalian aset, pemulihan negara, dan pencabutan hak politik. Karena kami melihat itu tidak seragam. Seperti kepala daerah," tuturnya.
Menurut Jokowi, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melalui mekanisme revisi di DPR.
Menanggapi itu, Peneliti ICW Tama S Langkun menilai jika seharusnya Indonesia menerapkan hukum yang maksimal. Sebab jika hanya terpaku dengan hukuman mati, hal itu bisa terkena imbas masalah hak asasi manusia (HAM).
"Kalau saya sebenarnya bukan dalam setuju hukuman mati, karena itu berbicara masalah HAM. Tapi yang kita harapkan adalah sanksi maksimal," ujar Tama S Langkun di kawasan Raden Saleh, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
Tama menjelaskan bahwa sanksi maksimal saat ini, pada 2018 ratusan putusan rata-rata 2 tahun 2 bulan. Kalaupun di atas 10 tahun itu hanya 9 perkara.
"Yang kemudian harusnya sanksinya berat, tidak hanya berbicara pidananya, tapi juga perampasan aset. Alasan kedua, hukumannya mati tidak menjadi solusi," jelasnya.
Seharusnya, kata Tama, Indonesia mencontoh negara dengan Indeks presepsi Korupsi (IPK) yang bagus seperti Denmark, Norwegia dan Selandia Baru yang tidak menerapkan hukuman mati.
Dirinya juga menyebut hukuman mati bukan jalan keluar menurunkan tindakan koruptif di Indonesia, khususnya bagi pejabat daerah maupun negara.
"Justru yang perlu ditingkatkan adalah sanksi maksimal, kemudian upaya pengembalian aset, pemulihan negara, dan pencabutan hak politik. Karena kami melihat itu tidak seragam. Seperti kepala daerah," tuturnya.
(pur)