Fenomena Dinasti dan Oligarki Politik Diprediksi Akan Terus Meningkat
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris mengatakan, masalah yang dihadapi demokrasi di Indonesia adalah kehadiran kartel politik. Menurutnya, kartel politik bisa lahir dari dinasti dan oligarki politik yang berkembang.
Menurut Haris, setelah rezim Orde Baru tumbang, kecenderungan politik tersumbat oleh kartel politik yang dinilai tidak memiliki ideologi maupun visi politik kebangsaan.
"Nah pada saat itulah politik kita itu diambil alih lagi oleh oligarki, oleh kartel politik," kata Haris dalam diskusi akhir tahun bertajuk 'Partai Politik dan Kecenderungan Oligarki Politik' di Auditorium Bahtiar Effendy FISIP UIN Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Dengan demikian, lanjut Haris, fenomena partai politik hari ini kerap menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek politik. Dengan kata lain, Haris menyebut, rakyat hanya dijadikan alas kaki kekuasaan, jika Pilkada dan Pemilu selesai, mereka akan dilupakan.
"Kartel politik itu dimiliki individu-individu yang basisnya kepemilikan-kepemilikan. Makanya kami di LIPI kerja sama dengan KPK melakukan studi terkait mekanisme pendanaan," ujarnya.
Haris mengatakan, saat ini LIPI dan KPK tengah bekerja sama untuk mengkaji besaran subsidi dana partai politik. Menurutnya, jika sebelumnya partai dihargai Rp 1.000 per suara, maka diharapkan ke depan, subsidi itu bisa ditingkatkan.
"Nah tujuannya ini untuk mengambil alih kepemilikan partai dari segelintir orang. Problemnya bagaimana peningkatan subsidi dana parpol ini ditunjang peningkatan rekrutmen partai politik, keuangan partai dan lain-lain. Kemudian bagaimana peningkatan dana parpol ini diinsert melalui UU partai politik," pungkasnya.
Menurut Haris, setelah rezim Orde Baru tumbang, kecenderungan politik tersumbat oleh kartel politik yang dinilai tidak memiliki ideologi maupun visi politik kebangsaan.
"Nah pada saat itulah politik kita itu diambil alih lagi oleh oligarki, oleh kartel politik," kata Haris dalam diskusi akhir tahun bertajuk 'Partai Politik dan Kecenderungan Oligarki Politik' di Auditorium Bahtiar Effendy FISIP UIN Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Dengan demikian, lanjut Haris, fenomena partai politik hari ini kerap menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek politik. Dengan kata lain, Haris menyebut, rakyat hanya dijadikan alas kaki kekuasaan, jika Pilkada dan Pemilu selesai, mereka akan dilupakan.
"Kartel politik itu dimiliki individu-individu yang basisnya kepemilikan-kepemilikan. Makanya kami di LIPI kerja sama dengan KPK melakukan studi terkait mekanisme pendanaan," ujarnya.
Haris mengatakan, saat ini LIPI dan KPK tengah bekerja sama untuk mengkaji besaran subsidi dana partai politik. Menurutnya, jika sebelumnya partai dihargai Rp 1.000 per suara, maka diharapkan ke depan, subsidi itu bisa ditingkatkan.
"Nah tujuannya ini untuk mengambil alih kepemilikan partai dari segelintir orang. Problemnya bagaimana peningkatan subsidi dana parpol ini ditunjang peningkatan rekrutmen partai politik, keuangan partai dan lain-lain. Kemudian bagaimana peningkatan dana parpol ini diinsert melalui UU partai politik," pungkasnya.
(pur)