Polemik Simbol Aceh, Pemerintah Diminta Realisasikan MoU Helsinki
A
A
A
JAKARTA - Dalam pertemuannya dengan Forum Bersama (Forbes) Aceh, Selasa (10/12/2019), mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan keterangan bahwa terkait persoalan bendera Aceh yang belum selesai, dirinya sudah sering menyampaikan dalam sejumlah pertemuan dengan pimpinan Aceh bahwa ada aturan yang melarang penggunaan simbol-simbol yang pernah digunakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bendera Aceh.
Menurut JK, larangan penggunaan emblem atau simbol-simbol GAM juga tercantum dalam Memorandum of Understandung (MoU) Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Pernyataan JK di depan Forbes Aceh tersebut dibantah langsung oleh tokoh nasional yang juga pengamat intelijen senior Suhendra Hadikuntono. Menurut Suhendra, keterangan JK tersebut tidak sesuai dengan fakta dan berpotensi menyesatkan publik.
"Saya menyesalkan statement JK karena dalam butir-butir kesepakatan perdamaian Helsinki tidak ada satu pun klausul yang mengatur bentuk bendera Aceh harus seperti apa," ujar Suhendra di Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Menurut Suhendra, kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan pimpinan GAM, khususnya poin 1.1.5 hanya menyebutkan bahwa pemerintah daerah Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah seperti bendera, lambang dan himne.
"Sama sekali tidak ada penjelasan atau keterangan secara detail tentang bentuk atau warna bendera. Larangan penggunaan simbol dan emblem GAM hanya diberlakukan bagi anggota GAM setelah penandatanganan MoU Helsinki," terang Suhendra.
Terkait bendera menurut Suhendra, ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada Bab XXXVI Pasal 246 Ayat (2) ditegaskan bahwa pemerintah daerah Aceh diberikan hak untuk menentukan sendiri bentuk dan warna bendera Aceh.
Dalam aturan tersebut, kata Suhendra, disebutkan bahwa bendera Aceh adalah simbol kekhususan dan keistimewaan daerah Aceh, bukan simbol kedaulatan wilayah maupun negara.
"Keterangan JK yang menyesatkan tersebut sangat melukai perasaan bangsa Aceh, dan hal itu berpotensi menimbulkan gejolak politik dan instabilitas keamanan di Aceh yang sudah mulai kondusif pascapemanggilan Panglima GAM Muzakir Manaf oleh Komnas HAM yang saya luruskan pemahamannya saat itu juga. Ke depan saya tidak ingin Aceh dijadikan pilot project,komoditas politik, atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu," papar Suhendra.
Suhendra mengkritisi kewenangan JK yang bukan lagi pejabat negara dalam mengangkat masalah ini ke publik. Seharusnya hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Di sisi lain, Suhendra mengingatkan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan tokoh-tokoh Aceh yang tergabung dalam Forbes Aceh, yakni anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh, untuk segera berkoordinasi dengan Wali Nanggroe Tengku Malik Mahmud Al-Haythar.
"Terkait masalah butir-butir MoU Helsinki yang belum dilaksanakan oleh pemerintah pusat, itu adalah otoritas penuh dari Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud untuk membahasnya dengan Presiden Jokowi. Beliau adalah pemimpin kultural tertinggi di Aceh dan kebetulan beliau juga penanda tangan MoU Helsinki antara pemimpin tertinggi GAM dan pemerintah Indonesia. Merekalah para pihak yang sebenarnya berkompeten," jelas Suhendra.
Suhendra mengimbau agar semua pihak menahan diri untuk tidak memperkeruh situasi terkait masalah Aceh. "Saya mengimbau kepada Presiden Jokowi segera bertemu Wali Nanggroe Aceh untuk membahas secara lebih mendalam masalah butir-butir kesepakatan perdamaian Helsinki yang belum tuntas dilaksanakan, agar tidak menjadi bola liar dan dimanfaatkan orang untuk mencari panggung," imbau Suhendra.
Terkait polemik masalah bendera, Suhendra menyarankan agar pemerintah pusat segera merealisasikannya seusai MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006.
"Bendera Aceh itu simbol kultural masyarakat Aceh, bukan simbol kedaulatan wilayah. Jadi menurut saya biarkan masyarakat Aceh menentukan sendiri bentuk dan warna bendera Aceh. Saya sangat percaya apa pun yang ditentukan oleh masyarakat Aceh, hal tersebut masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkas Suhendra.
Menurut JK, larangan penggunaan emblem atau simbol-simbol GAM juga tercantum dalam Memorandum of Understandung (MoU) Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Pernyataan JK di depan Forbes Aceh tersebut dibantah langsung oleh tokoh nasional yang juga pengamat intelijen senior Suhendra Hadikuntono. Menurut Suhendra, keterangan JK tersebut tidak sesuai dengan fakta dan berpotensi menyesatkan publik.
"Saya menyesalkan statement JK karena dalam butir-butir kesepakatan perdamaian Helsinki tidak ada satu pun klausul yang mengatur bentuk bendera Aceh harus seperti apa," ujar Suhendra di Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Menurut Suhendra, kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan pimpinan GAM, khususnya poin 1.1.5 hanya menyebutkan bahwa pemerintah daerah Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah seperti bendera, lambang dan himne.
"Sama sekali tidak ada penjelasan atau keterangan secara detail tentang bentuk atau warna bendera. Larangan penggunaan simbol dan emblem GAM hanya diberlakukan bagi anggota GAM setelah penandatanganan MoU Helsinki," terang Suhendra.
Terkait bendera menurut Suhendra, ditegaskan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada Bab XXXVI Pasal 246 Ayat (2) ditegaskan bahwa pemerintah daerah Aceh diberikan hak untuk menentukan sendiri bentuk dan warna bendera Aceh.
Dalam aturan tersebut, kata Suhendra, disebutkan bahwa bendera Aceh adalah simbol kekhususan dan keistimewaan daerah Aceh, bukan simbol kedaulatan wilayah maupun negara.
"Keterangan JK yang menyesatkan tersebut sangat melukai perasaan bangsa Aceh, dan hal itu berpotensi menimbulkan gejolak politik dan instabilitas keamanan di Aceh yang sudah mulai kondusif pascapemanggilan Panglima GAM Muzakir Manaf oleh Komnas HAM yang saya luruskan pemahamannya saat itu juga. Ke depan saya tidak ingin Aceh dijadikan pilot project,komoditas politik, atau kepentingan kelompok-kelompok tertentu," papar Suhendra.
Suhendra mengkritisi kewenangan JK yang bukan lagi pejabat negara dalam mengangkat masalah ini ke publik. Seharusnya hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Di sisi lain, Suhendra mengingatkan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan tokoh-tokoh Aceh yang tergabung dalam Forbes Aceh, yakni anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh, untuk segera berkoordinasi dengan Wali Nanggroe Tengku Malik Mahmud Al-Haythar.
"Terkait masalah butir-butir MoU Helsinki yang belum dilaksanakan oleh pemerintah pusat, itu adalah otoritas penuh dari Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud untuk membahasnya dengan Presiden Jokowi. Beliau adalah pemimpin kultural tertinggi di Aceh dan kebetulan beliau juga penanda tangan MoU Helsinki antara pemimpin tertinggi GAM dan pemerintah Indonesia. Merekalah para pihak yang sebenarnya berkompeten," jelas Suhendra.
Suhendra mengimbau agar semua pihak menahan diri untuk tidak memperkeruh situasi terkait masalah Aceh. "Saya mengimbau kepada Presiden Jokowi segera bertemu Wali Nanggroe Aceh untuk membahas secara lebih mendalam masalah butir-butir kesepakatan perdamaian Helsinki yang belum tuntas dilaksanakan, agar tidak menjadi bola liar dan dimanfaatkan orang untuk mencari panggung," imbau Suhendra.
Terkait polemik masalah bendera, Suhendra menyarankan agar pemerintah pusat segera merealisasikannya seusai MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006.
"Bendera Aceh itu simbol kultural masyarakat Aceh, bukan simbol kedaulatan wilayah. Jadi menurut saya biarkan masyarakat Aceh menentukan sendiri bentuk dan warna bendera Aceh. Saya sangat percaya apa pun yang ditentukan oleh masyarakat Aceh, hal tersebut masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia," pungkas Suhendra.
(maf)