Sejumlah Catatan Terkait Pilkada Versi Mahfud MD
A
A
A
JAKARTA - Menko Polhukam, Mahfud MD turut menjadi narasumber dalam peluncuran program "Pemilu Rakyat 2020" yang dilaksanakan MNC Group di Gedung Inews Tower, Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Dalam paparannya, Mahfud memberi catatan tentang Pilkada langsung yang lahir dari semangat Reformasi 98. Menurut Mahfud, sebelum reformasi, tepatnya pada saat kekuasaan rezim orde baru, kepala daerah dipilih secara sepihak di mana DPRD hanya mengajukan nama, kemudian pemerintah pusat tinggal mengesahkan.
"Ternyata ini dianggap gak baik dipilih oleh DPRD dengan dominasi yang luar biasa, ternyata terjadi politik uang, di mana orang-orang di DPRD itu dibayar aja," kata Mahfud di Inews Tower.
"Tetapi pada saat yang sama DPRD juga sering menteror kepala daerah, bilang laporan akan ditolak, LPJ akan ditolak, akan dilengserkan, dan sebagainya, korbannya dulu ada di riau ada. Diteror lalu dilengserkan," ungkap Mahfud menambahkan.
Melihat kondisi itu, masyarakat lalu menginginkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung. Saat itu, pemilu langsung dianggap yang terbaik karena rakyat tak harus memilih melalui agen-agen di DPRD, dengan asumsi politik uang bisa hilang.
"Tapi kemudian sama aja. Kalau lewat DPRD politik uangnya itu borongan, lewat agen-agen. Tapi kalau lewat rakyat itu eceran, sama aja. Tambah boros. Sama. Itu eksperimen dari pilkada kita," ujarnya.
Sehingga saat ini kata Mahfud, muncul wacana untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD melalui UU pada 30 September 2014, kemudian saat itu keluar Perppu untuk tetap menjadikan Pilkada langsung.
"Apapun plus dan minusnya itu pilihan rakyat dan ketentuan UU yang berlaku sekarang. Jadi apapun kita harus laksanakan pemilu rakyat tahun 2020 dengan sebaik-sebaiknya," pungkas dia.
Dalam paparannya, Mahfud memberi catatan tentang Pilkada langsung yang lahir dari semangat Reformasi 98. Menurut Mahfud, sebelum reformasi, tepatnya pada saat kekuasaan rezim orde baru, kepala daerah dipilih secara sepihak di mana DPRD hanya mengajukan nama, kemudian pemerintah pusat tinggal mengesahkan.
"Ternyata ini dianggap gak baik dipilih oleh DPRD dengan dominasi yang luar biasa, ternyata terjadi politik uang, di mana orang-orang di DPRD itu dibayar aja," kata Mahfud di Inews Tower.
"Tetapi pada saat yang sama DPRD juga sering menteror kepala daerah, bilang laporan akan ditolak, LPJ akan ditolak, akan dilengserkan, dan sebagainya, korbannya dulu ada di riau ada. Diteror lalu dilengserkan," ungkap Mahfud menambahkan.
Melihat kondisi itu, masyarakat lalu menginginkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung. Saat itu, pemilu langsung dianggap yang terbaik karena rakyat tak harus memilih melalui agen-agen di DPRD, dengan asumsi politik uang bisa hilang.
"Tapi kemudian sama aja. Kalau lewat DPRD politik uangnya itu borongan, lewat agen-agen. Tapi kalau lewat rakyat itu eceran, sama aja. Tambah boros. Sama. Itu eksperimen dari pilkada kita," ujarnya.
Sehingga saat ini kata Mahfud, muncul wacana untuk mengembalikan Pilkada kepada DPRD melalui UU pada 30 September 2014, kemudian saat itu keluar Perppu untuk tetap menjadikan Pilkada langsung.
"Apapun plus dan minusnya itu pilihan rakyat dan ketentuan UU yang berlaku sekarang. Jadi apapun kita harus laksanakan pemilu rakyat tahun 2020 dengan sebaik-sebaiknya," pungkas dia.
(maf)