SBY Tegaskan Utang Luar Negeri Bukan Solusi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti soal isu ekonomi, di antaranya soal kebijakan fiskal dan utang luar negeri.
Ketua Umum Partai Demokrat ini mengakui bahwa persoalan fiskal ini kompleks namun, utang luar negeri bukanlah solusi. Menurutnya, kebijakan fiskal, termasuk APBN, adalah sebuah pilihan. Juga bagian dari politik ekonomi, yang penuh dengan judgement. Oleh karena itu tidak boleh latah dan mudah menyalahkan pemerintah.
"Demokrat juga mengerti kompleksitas dan dilema dalam mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran negara. Baik pusat maupun daerah. Terlebih jika ekonomi kita tengah mengalami tekanan eksternal atau global seperti sekarang ini," kata SBY dalam Refleksi Pergantian Tahun, Indonesia Tahun 2020: Peluang, Tantangan dan Harapan di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Namun, SBY melanjutkan, harus disadari dan diakui bahwa memang ada permasalahan dalam fiskal dan APBN. Pasar domestik maupun internasional juga mengetahui permasalahan ini. Permasalahan utama yang dihadapi adalah tidak tercapainya pendapatan negara dari sasaran yang ditetapkan.
Penerimaan pajak jauh dari target, sampai Oktober 2019, penerimaan pajak masih kurang Rp559 triliun. Penerimaan pajak dan nonpajak yang tidak mencapai sasaran ini pasti akan menambah angka defisit APBN.
"Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan," ujarnya.
Persoalannya kemudian, sambung SBY, dari mana sumber untuk menutup defisit APBN ini. Solusi yang terlintas dan mudah tentulah dengan cara menambah utang baru. Menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun, seberapa besar utang baru itu. Andaikata rasio utang terhadap PDB dianggap aman di angka 30%, meningkat sekitar 5% dari 5 tahun yang lalu, untuk apa utang itu digunakan.
"Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Apalagi pasar tahu bahwa utang sejumlah BUMN untuk pembangunan infrastruktur juga meningkat sangat banyak," ucap SBY.
Dalam kaitan ini, SBY mengingatkan agar pengelolaan fiskal dan penambahan utang baru ini benar-benar cermat dan tepat. Dan perlu diingat bahwa Indonesia juga menghadapi risiko ekonomi di tahun depan. Jika tekanan terhadap ekonomi cukup berat, risiko pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) sangat mungkin terjadi. Persoalan menjadi serius jika stimulus fiskal dan moneter juga terbatas dan tidak cukup kuat untuk menjaga agar ekonomi Indonesia tetap aman.
Selain itu, Indonesia juga masih mengalami defisit transaksi berjalan, yang justru memerlukan 'capital inflow' untuk menutupinya. Sehingga harus mencegah terjadinya pelemahan rupiah. SBY berharap jika risiko seperti ini betul-betul harus dihadapi, maka tekanan eksternal tidak terlalu besar.
"Menambah utang baru tentu bukan satu-satunya solusi. Memberikan beban kepada rakyat, utamanya golongan kurang mampu, untuk menambah penerimaan negara juga tidak bijaksana. Sebaliknya, mengurangi atau menunda pembelanjaan pemerintah tidak tabu untuk dilakukan. Yang penting, yang dikurangi janganlah anggaran yang menyangkut hajat hidup rakyat kita yang pokok. Kebijakan fiskal juga menyediakan ruang bagi kearifan dan kompromi, di samping pertimbangan yang rasional," tegas SBY.
Ketua Umum Partai Demokrat ini mengakui bahwa persoalan fiskal ini kompleks namun, utang luar negeri bukanlah solusi. Menurutnya, kebijakan fiskal, termasuk APBN, adalah sebuah pilihan. Juga bagian dari politik ekonomi, yang penuh dengan judgement. Oleh karena itu tidak boleh latah dan mudah menyalahkan pemerintah.
"Demokrat juga mengerti kompleksitas dan dilema dalam mengalokasikan dan mendistribusikan anggaran negara. Baik pusat maupun daerah. Terlebih jika ekonomi kita tengah mengalami tekanan eksternal atau global seperti sekarang ini," kata SBY dalam Refleksi Pergantian Tahun, Indonesia Tahun 2020: Peluang, Tantangan dan Harapan di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Namun, SBY melanjutkan, harus disadari dan diakui bahwa memang ada permasalahan dalam fiskal dan APBN. Pasar domestik maupun internasional juga mengetahui permasalahan ini. Permasalahan utama yang dihadapi adalah tidak tercapainya pendapatan negara dari sasaran yang ditetapkan.
Penerimaan pajak jauh dari target, sampai Oktober 2019, penerimaan pajak masih kurang Rp559 triliun. Penerimaan pajak dan nonpajak yang tidak mencapai sasaran ini pasti akan menambah angka defisit APBN.
"Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan," ujarnya.
Persoalannya kemudian, sambung SBY, dari mana sumber untuk menutup defisit APBN ini. Solusi yang terlintas dan mudah tentulah dengan cara menambah utang baru. Menambah utang baru memang dibenarkan dan bukan sebuah kesalahan. Namun, seberapa besar utang baru itu. Andaikata rasio utang terhadap PDB dianggap aman di angka 30%, meningkat sekitar 5% dari 5 tahun yang lalu, untuk apa utang itu digunakan.
"Dapatkah dipastikan bahwa utang baru itu bermanfaat, produktif dan mampu menjaga pertumbuhan kita? Apalagi pasar tahu bahwa utang sejumlah BUMN untuk pembangunan infrastruktur juga meningkat sangat banyak," ucap SBY.
Dalam kaitan ini, SBY mengingatkan agar pengelolaan fiskal dan penambahan utang baru ini benar-benar cermat dan tepat. Dan perlu diingat bahwa Indonesia juga menghadapi risiko ekonomi di tahun depan. Jika tekanan terhadap ekonomi cukup berat, risiko pelarian modal ke luar negeri (capital outflow) sangat mungkin terjadi. Persoalan menjadi serius jika stimulus fiskal dan moneter juga terbatas dan tidak cukup kuat untuk menjaga agar ekonomi Indonesia tetap aman.
Selain itu, Indonesia juga masih mengalami defisit transaksi berjalan, yang justru memerlukan 'capital inflow' untuk menutupinya. Sehingga harus mencegah terjadinya pelemahan rupiah. SBY berharap jika risiko seperti ini betul-betul harus dihadapi, maka tekanan eksternal tidak terlalu besar.
"Menambah utang baru tentu bukan satu-satunya solusi. Memberikan beban kepada rakyat, utamanya golongan kurang mampu, untuk menambah penerimaan negara juga tidak bijaksana. Sebaliknya, mengurangi atau menunda pembelanjaan pemerintah tidak tabu untuk dilakukan. Yang penting, yang dikurangi janganlah anggaran yang menyangkut hajat hidup rakyat kita yang pokok. Kebijakan fiskal juga menyediakan ruang bagi kearifan dan kompromi, di samping pertimbangan yang rasional," tegas SBY.
(shf)