PPP Dorong Larangan Mantan Koruptor Masuk Revisi UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - PPP mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memasukkan ketentuan larangan pencalonan mantan narapidana korupsi dalam Peraturan KPU (PKPU) Pilkada 2020. Karena, berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Thun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) tidak membolehkan pencabutan hak seseorang diatur dalam peraturan yang tingkatannya di bawah UU.
Untuk itu, PPP mendorong ketentuan larangan tersebut dimasukkan ke dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berdasarkan kesepakatan politik bersama.
“Kita akan selalu ada dalam kontroversi soal apakah mantan terpidana kasus korupsi dan juga kasus pidana lainnya itu katakanlah ikut kontestasi untuk jabatan publik yang dipilih, bukan diangkat. Pertanyaannya, apakah dalam PKPU diatur itu bisa. Saya termasuk yg berpandangan tidak bisa. Kalau kita secara politik hukum berpandangan seperti itu harus dalam UU,” ujar Ketua Fraksi PPP DPR Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Karena itu, Arsul membenarkan tindakan KPU yang tidak memuat aturan tersebut dalam. PKPU karena memang tidak dibenarkan dalam tata aturan perundang-undangan. Sehingga, kalau memang ada kesepakatan politik di DPR, aturan tersebut bisa dimuat dalam revisi UU Pilkada.
“Jadi kalau mau kita sepakat, kita dorong kesepakatan politiknya. Ya artinya kita harus buka dulu perdebatannya dong. Ini kan kita harus melihat dulu diskursusnya seperti apa,” imbuhnya.
Sebab, Wakil Ketua MPR ini melanjutkan, ada yang mendukung larangan ini supaya pejabat yang dipilih rakyat ini bisa menjadi contoh yang baik dengan tidak pernah dia tersangkut dalam perkara korupsi. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa dia sudah menjalani hukuman, maka sudah menyelesaikan semua kewajibannya termasuk membayar uang denda sehingga harus dipulihkan juga hak politiknya.
“Ini perdebatan yang harus kita lihat dulu mayoritas masyarakat (mau) yang seperti apa. Sehingga payung hukum kita termasuk juga yang terdapat dalam UU harus juga melihat apa yang menjadi kemauan dari mayoritas masyarakat,” terangnya.
Namun demikian, Arsul mengingatkan bahwa narapidana kasus korupsi ini ada beragam. Apa perannya dia dalam kasus tersebut, karena banyak juga orang yang tidak punya peran vital tetapi berada di waktu dan tempat yang salah ketika Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK berlangsung.
Dia mencontohkan, ajudan kepala daerah yang dia diperintahkan untuk berada di lokasi tersebut. Dan di kemudian hari dia ingin menjadi calon di pilkada atau caleg DPRD dan DPR, tidak adil jika dilarang.
“Kita harus breakdown kasus korupsi yang seperti apa, pasal yang mana yang membuat seseorang itu tidak boleh untuk kemudian maju dalam jabatan publik. Terutama untuk yang dipilih lah,” usul Anggota Komisi III DPR itu.
Untuk itu, PPP mendorong ketentuan larangan tersebut dimasukkan ke dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berdasarkan kesepakatan politik bersama.
“Kita akan selalu ada dalam kontroversi soal apakah mantan terpidana kasus korupsi dan juga kasus pidana lainnya itu katakanlah ikut kontestasi untuk jabatan publik yang dipilih, bukan diangkat. Pertanyaannya, apakah dalam PKPU diatur itu bisa. Saya termasuk yg berpandangan tidak bisa. Kalau kita secara politik hukum berpandangan seperti itu harus dalam UU,” ujar Ketua Fraksi PPP DPR Arsul Sani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Karena itu, Arsul membenarkan tindakan KPU yang tidak memuat aturan tersebut dalam. PKPU karena memang tidak dibenarkan dalam tata aturan perundang-undangan. Sehingga, kalau memang ada kesepakatan politik di DPR, aturan tersebut bisa dimuat dalam revisi UU Pilkada.
“Jadi kalau mau kita sepakat, kita dorong kesepakatan politiknya. Ya artinya kita harus buka dulu perdebatannya dong. Ini kan kita harus melihat dulu diskursusnya seperti apa,” imbuhnya.
Sebab, Wakil Ketua MPR ini melanjutkan, ada yang mendukung larangan ini supaya pejabat yang dipilih rakyat ini bisa menjadi contoh yang baik dengan tidak pernah dia tersangkut dalam perkara korupsi. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa dia sudah menjalani hukuman, maka sudah menyelesaikan semua kewajibannya termasuk membayar uang denda sehingga harus dipulihkan juga hak politiknya.
“Ini perdebatan yang harus kita lihat dulu mayoritas masyarakat (mau) yang seperti apa. Sehingga payung hukum kita termasuk juga yang terdapat dalam UU harus juga melihat apa yang menjadi kemauan dari mayoritas masyarakat,” terangnya.
Namun demikian, Arsul mengingatkan bahwa narapidana kasus korupsi ini ada beragam. Apa perannya dia dalam kasus tersebut, karena banyak juga orang yang tidak punya peran vital tetapi berada di waktu dan tempat yang salah ketika Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK berlangsung.
Dia mencontohkan, ajudan kepala daerah yang dia diperintahkan untuk berada di lokasi tersebut. Dan di kemudian hari dia ingin menjadi calon di pilkada atau caleg DPRD dan DPR, tidak adil jika dilarang.
“Kita harus breakdown kasus korupsi yang seperti apa, pasal yang mana yang membuat seseorang itu tidak boleh untuk kemudian maju dalam jabatan publik. Terutama untuk yang dipilih lah,” usul Anggota Komisi III DPR itu.
(kri)