Suku Bunga Kredit Bank Masih Tinggi
A
A
A
Likuiditas perbankan yang masih ketat menyebabkan bunga deposito tetap ditahan. Kondisi tersebut berdampak pada pelambatan penurunan suku bunga kredit yang memang sudah diprediksi terjadi hingga akhir tahun ini. Padahal Bank Indonesia (BI) telah meminta perbankan memangkas suku bunga kredit perbankan sejalan dengan penurunan suku bunga acuan bank sentral. Sepanjang tahun ini kebijakan moneter BI telah menurunkan suku bunga acuan empat kali atau turun 100 basis poin (bps) yang kini bertengger di level 5%. Tidak hanya itu, bank sentral telah menurunkan giro wajib minimum.Selain suku bunga acuan BI yang terus melandai, suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing pada bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) juga mulai mengecil. Tengok saja Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menurunkan suku bunga penjaminan masing-masing sebesar 25 basis poin (bps). Rinciannya, tingkat suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah sebesar 6,25% dan valuta asing 1,75% pada bank umum, sedangkan BPR pada kisaran 8,75%. Adapun tingkat suku bunga penjaminan tersebut ditetapkan berlaku dari 20 November 2019 hingga 24 Januari 2020. Salah satu pertimbangan LPS menurunkan suku bunga penjaminan karena perbankan dalam proses penyesuaian terhadap penurunan suku bunga acuan BI.
Namun, sampai saat ini suku bunga kredit perbankan nasional masih berada di kisaran double digit . Suku bunga kredit yang tinggi membuat penyaluran kredit tersendat yang pada akhirnya tidak memberi daya dorong terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Tak heran bila Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai kesal mengapa suku bunga kredit tak kunjung melandai hingga satu digit . Di depan para bankir, mantan Gubernur DKI Jakarta itu saat membuka Indonesia Banking Expo 2019, awal November lalu, di Jakarta, kembali meminta perbankan nasional agar serius menurunkan suku bunga kredit, menyusul suku bunga acuan BI yang sudah turun berkali-kali.
Perbankan di negara lain, sebagaimana dikutip Presiden Jokowi, sudah banyak yang menurunkan suku bunga kredit sebagai tindak lanjut dari bank sentral yang sudah menurunkan suku bunga acuannya. Sayangnya, mantan Wali Kota Solo itu tidak menyebutkan negara mana yang dimaksud. Permintaan serupa juga disampaikan para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan. Mengapa penurunan suku bunga acuan BI tidak cepat direspons perbankan nasional? Pada saat rapat kerja antara Komsi XI DPR RI dengan LPS persoalan suku bunga perbankan yang masih tinggi tidak luput dari pembahasan. Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah, terpaksa mengurai kondisi perbankan dewasa ini.
Secara rata-rata loan to deposit ratio (LDR) perbankan mencapai 94,6% saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan perbankan harus mati-matian berebut dana murah dari masyarakat. Sebagai konsekuensinya, perbankan memilih tidak menuruti permintaan bank sentral untuk menurunkan suku bunga kredit dengan mengacu pada bunga acuan. Sebab, khawatir dana murah bakal berpindah pada perbankan yang tetap setia mempertahankan suku bunga tinggi. Hal itu diperparah struktur perbankan yang tidak sehat karena persaingan sebanyak 115 bank membuat bank-bank kecil semakin terseok-seok dalam mendapatkan dana murah dari masyarakat.
Mengacu pada data publikasi BI, terungkap penyaluran kredit perbankan hingga September 2019 masih pengalami pelambatan. Penyaluran kredit pada Agustus 2019 tercatat sekitar 8,59% menurun menjadi sekitar 7,89% pada September lalu. Salah satu penyulut melambatnya penyaluran kredit, selain karena suku bunga kredit yang masih tinggi adalah permintaan dari korporasi yang belum terlalu kuat. Survei BI mengindikasikan bahwa pada 2020 belum seluruh korporasi merencanakan investasi. Baru terdapat sekitar 47% korporasi yang siap berinvestasi, sedangkan sekitar 53% korporasi fokus pada konsolidasi keuangan.
Penurunan suku bunga kredit perbankan memang sangat diharapkan menjadi salah satu motor dalam memutar roda pertumbuhan perekonomian nasional yang sedang mengalami pelambatan serius. Biasanya, penurunan suku bunga perbankan akan diawali dari suku bunga simpanan baru kemudian diikuti suku bunga kredit. Sebab, tinggi rendahnya biaya dana yang dikeluarkan perbankan sangat berpengaruh pada perhitungan suku bunga kredit. Jadi, kalau perbankan masih tetap mempertahankan suku bunga deposito alias tidak turun, maka jangan berharap suku bunga kredit perbankan beralih dari double digit.
Namun, sampai saat ini suku bunga kredit perbankan nasional masih berada di kisaran double digit . Suku bunga kredit yang tinggi membuat penyaluran kredit tersendat yang pada akhirnya tidak memberi daya dorong terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. Tak heran bila Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai kesal mengapa suku bunga kredit tak kunjung melandai hingga satu digit . Di depan para bankir, mantan Gubernur DKI Jakarta itu saat membuka Indonesia Banking Expo 2019, awal November lalu, di Jakarta, kembali meminta perbankan nasional agar serius menurunkan suku bunga kredit, menyusul suku bunga acuan BI yang sudah turun berkali-kali.
Perbankan di negara lain, sebagaimana dikutip Presiden Jokowi, sudah banyak yang menurunkan suku bunga kredit sebagai tindak lanjut dari bank sentral yang sudah menurunkan suku bunga acuannya. Sayangnya, mantan Wali Kota Solo itu tidak menyebutkan negara mana yang dimaksud. Permintaan serupa juga disampaikan para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan. Mengapa penurunan suku bunga acuan BI tidak cepat direspons perbankan nasional? Pada saat rapat kerja antara Komsi XI DPR RI dengan LPS persoalan suku bunga perbankan yang masih tinggi tidak luput dari pembahasan. Ketua Dewan Komisioner LPS, Halim Alamsyah, terpaksa mengurai kondisi perbankan dewasa ini.
Secara rata-rata loan to deposit ratio (LDR) perbankan mencapai 94,6% saat ini. Kondisi tersebut menyebabkan perbankan harus mati-matian berebut dana murah dari masyarakat. Sebagai konsekuensinya, perbankan memilih tidak menuruti permintaan bank sentral untuk menurunkan suku bunga kredit dengan mengacu pada bunga acuan. Sebab, khawatir dana murah bakal berpindah pada perbankan yang tetap setia mempertahankan suku bunga tinggi. Hal itu diperparah struktur perbankan yang tidak sehat karena persaingan sebanyak 115 bank membuat bank-bank kecil semakin terseok-seok dalam mendapatkan dana murah dari masyarakat.
Mengacu pada data publikasi BI, terungkap penyaluran kredit perbankan hingga September 2019 masih pengalami pelambatan. Penyaluran kredit pada Agustus 2019 tercatat sekitar 8,59% menurun menjadi sekitar 7,89% pada September lalu. Salah satu penyulut melambatnya penyaluran kredit, selain karena suku bunga kredit yang masih tinggi adalah permintaan dari korporasi yang belum terlalu kuat. Survei BI mengindikasikan bahwa pada 2020 belum seluruh korporasi merencanakan investasi. Baru terdapat sekitar 47% korporasi yang siap berinvestasi, sedangkan sekitar 53% korporasi fokus pada konsolidasi keuangan.
Penurunan suku bunga kredit perbankan memang sangat diharapkan menjadi salah satu motor dalam memutar roda pertumbuhan perekonomian nasional yang sedang mengalami pelambatan serius. Biasanya, penurunan suku bunga perbankan akan diawali dari suku bunga simpanan baru kemudian diikuti suku bunga kredit. Sebab, tinggi rendahnya biaya dana yang dikeluarkan perbankan sangat berpengaruh pada perhitungan suku bunga kredit. Jadi, kalau perbankan masih tetap mempertahankan suku bunga deposito alias tidak turun, maka jangan berharap suku bunga kredit perbankan beralih dari double digit.
(mhd)