Mengupayakan Potensi LNG
A
A
A
Dhenny Yuartha Junifta
Peneliti Center of Energy, Food, and Sustainable Development, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
ENERGI fosil sedang menghadapi tantangan serius terutama kaitannya dengan isu lingkungan. Tantangan ini kemudian mendesak berbagai negara untuk mengalihkan investasi pada energi yang lebih ramah lingkungan. Ada tiga alasan meningkatnya permintaan energi ramah lingkungan. Pertama, peningkatan isu perubahan iklim. Emisi karbon telah meningkat menjadi 33 miliar ton per tahun. Padahal untuk mengurangi temperatur udara sebesar 2%, emisi karbon perlu ditekan menjadi hanya 18 miliar ton per tahun.
Kedua, desakan peningkatan kualitas udara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setidaknya 7 juta orang meninggal setiap tahunnya disebabkan polusi udara karena penggunaan energi yang tidak efisien seperti batu bara untuk pembangkit. Ketiga, naiknya permintaan energi akibat pertumbuhan populasi dunia. Diprediksi permintaan energi pada 2070 akan meningkat 150% dibandingkan sekarang.
Tentu saja gas memainkan peranan penting dalam mengatasi tantangan tersebut. Meningkatnya isu lingkungan akan mendorong lonjakan permintaan terhadap gas pada masa mendatang. Negara seperti Korea Selatan bahkan telah menetapkan pajak yang terus meningkat untuk batu bara dari sekitar USD0.1 per MMBTu pada 2013 menjadi USD1.6 per MMBtu pada 2019. Berbeda untuk gas yang awalnya mencapai sekitar USD1.7 MMBTu pada 2013 menjadi USD0.6 per MMBtu pada 2019.
Selain itu, upaya Pemerintah China dalam menggeser penggunaan batu bara terbukti memperbaiki 78% kualitas udara di Beijing. Tak heran jika kemudian China menjadi motor penggerak permintaan gas dunia. Diprediksi gas akan berkontribusi sekitar 40% terhadap tambahan permintaan seluruh energi global pada 2035. Sebagai negara yang mengandalkan komoditas batu bara untuk ekspor, Indonesia tentu harus bersiap menghadapi kemungkinan pergeseran konsumsi energi dunia.
Potensi LNG
Potensi gas Indonesia sangat besar untuk mampu menangkap peluang tersebut. Per 2017, cadangan gas Indonesia mencapai 142,72 trillion standard cubic feet (TSCF) di mana 100,36 TSCF adalah cadangan terbukti dan 42,36 TSCF sisanya cadangan potensial. Sejak produksi minyak mencapai puncaknya pada 1977 dan 1995, dominasi produksi minyak mulai berakhir dengan penurunan produksi rata-rata 10-12% per tahunnya.
Meskipun produksi gas mengalami tekanan dalam sembilan tahun terakhir dengan rata-rata penurunan produksi di kisaran 1,2% per tahun, namun sejak 2002 produksi gas mendominasi atas minyak. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketidaksesuaian lokasi temuan dan produksi dengan pengguna gas. Terlebih temuan-temuan gas baru, seperti Blok Masela di Laut Arafura berada di kawasan Indonesia Timur sehingga infrastruktur distribusi yang mahal menjadikan tingkat keekonomian gas menjadi tinggi. Alternatifnya, gas terlebih dahulu dicairkan menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) kemudian diangkut dengan kapal khusus.
Secara global permintaan, LNG diprediksi akan tumbuh 3,6% per tahun hingga 2035. China berkontribusi paling besar terhadap permintaan tersebut karena impornya meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Belum lagi meningkatnya ketergantungan LNG di Eropa karena penurunan produksi yang terjadi.
Data dari Shell outlook (2018) menunjukkan bahwa pada 2018 lalu, impor LNG negara-negara Asia bahkan melonjak melebihi ekspektasi. Potensi domestik LNG dalam negeri juga terhitung besar. Peluang itu berasal dari dua potensi, yakni pertama, peluang pergeseran penggunaan energi oleh industri di masa mendatang. Sampai saat ini memang gas alam masih belum mampu mencukupi permintaan keseluruhan industri di pasar-pasar utama seperti Pulau Jawa. Namun, pergeseran penggunaan minyak dan batu bara oleh industri menuju gas alam akan sangat memungkinkan terjadinya perubahan yang sangat signifikan dalam hal efisiensi perekonomian. Kedua, potensi penggunaan bahan bakar gas alam oleh proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) di luar Pulau Jawa.
LNG di Masa Depan
Indonesia masih menghadapi tantangan besar, baik dari sisi suplai, infrastruktur, dan hilir. Pertama, dari sisi kapabilitas produksi gas yang konvensional. Sejak menjadi produsen LNG pada 35 tahun lalu, Indonesia masih mengandalkan empat kilang utama LNG yang mana sejak 2015 satu dari empat kilang tersebut (kilang Arun) telah berubah status menjadi kilang untuk proses regasifikasi. Pada jangka pendek Indonesia memang tak perlu impor LNG, tapi surplus tersebut diprediksi akan berakhir dengan net impor yang akan terjadi sekitar 2030.
Karena itu, peningkatan kemampuan produksi gas dari sumber di luar konvensional mendesak untuk dilakukan. Kedua, meski Indonesia kini eksportir LNG terbesar kelima, namun biaya regasifikasi di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Akibatnya, Indonesia sering kali menghadapi harga gas pengguna akhir yang tidak terjangkau. Rencana pembangunan infrastruktur yang terintegrasi juga membutuhkan investasi besar, yakni mencapai USD24,3 miliar.
Maka itu, diperlukan upaya serius dalam mengatasi tantangan tersebut. Pertama, Pertamina dalam waktu dekat perlu mengelola komitmen pembeliannya untuk bisa menangkap peluang besar di bisnis LNG. Kedua, mengoptimalkan penggunaan LNG untuk pembangkit listrik. Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6/2016 tentang ketentuan dan tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi untuk memaksimalkan penggunaan LNG pada pembangkit listrik. Masalahnya, suplai LNG untuk PLN hingga saat ini hanya berasal dari Kilang Bontang dan Tangguh.
Proses regasifikasi yang mahal dibandingkan dengan gas pipa menjadi penyebabnya. Akibatnya, LNG hanya digunakan sebagai cadangan beban puncak pembangkit listrik dibandingkan dengan beban dasar pembangkit listrik terutama di Jawa dan Bali. Selain itu, diperlukan berbagai terobosan agar konsumen mulut tambang (mine-mouth consumer ) dapat dioptimalkan. Terakhir adalah manajemen regulasi yang termasuk di dalamnya tata kelola kelembagaan untuk mendukung iklim investasi.
Peningkatan permintaan LNG untuk konsumsi tidak bisa dielakkan. Maka itu, infrastruktur akan menjadi kunci untuk mendukung integrasi antara lokasi produksi dengan basis pasar. Sebab, gas adalah input terpenting dalam upaya industrialisasi dan pencipta efek pengganda yang besar terhadap perekonomian. Belum lagi dampak tidak langsung seperti potensi pajak yang bisa dihimpun pada tiap mata rantai jalur produksi dan distribusi dari proses industrialisasi yang dijalankan, maka mengupayakan gas akan sama artinya dengan mengupayakan kesejahteraan nasional.
Peneliti Center of Energy, Food, and Sustainable Development, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
ENERGI fosil sedang menghadapi tantangan serius terutama kaitannya dengan isu lingkungan. Tantangan ini kemudian mendesak berbagai negara untuk mengalihkan investasi pada energi yang lebih ramah lingkungan. Ada tiga alasan meningkatnya permintaan energi ramah lingkungan. Pertama, peningkatan isu perubahan iklim. Emisi karbon telah meningkat menjadi 33 miliar ton per tahun. Padahal untuk mengurangi temperatur udara sebesar 2%, emisi karbon perlu ditekan menjadi hanya 18 miliar ton per tahun.
Kedua, desakan peningkatan kualitas udara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setidaknya 7 juta orang meninggal setiap tahunnya disebabkan polusi udara karena penggunaan energi yang tidak efisien seperti batu bara untuk pembangkit. Ketiga, naiknya permintaan energi akibat pertumbuhan populasi dunia. Diprediksi permintaan energi pada 2070 akan meningkat 150% dibandingkan sekarang.
Tentu saja gas memainkan peranan penting dalam mengatasi tantangan tersebut. Meningkatnya isu lingkungan akan mendorong lonjakan permintaan terhadap gas pada masa mendatang. Negara seperti Korea Selatan bahkan telah menetapkan pajak yang terus meningkat untuk batu bara dari sekitar USD0.1 per MMBTu pada 2013 menjadi USD1.6 per MMBtu pada 2019. Berbeda untuk gas yang awalnya mencapai sekitar USD1.7 MMBTu pada 2013 menjadi USD0.6 per MMBtu pada 2019.
Selain itu, upaya Pemerintah China dalam menggeser penggunaan batu bara terbukti memperbaiki 78% kualitas udara di Beijing. Tak heran jika kemudian China menjadi motor penggerak permintaan gas dunia. Diprediksi gas akan berkontribusi sekitar 40% terhadap tambahan permintaan seluruh energi global pada 2035. Sebagai negara yang mengandalkan komoditas batu bara untuk ekspor, Indonesia tentu harus bersiap menghadapi kemungkinan pergeseran konsumsi energi dunia.
Potensi LNG
Potensi gas Indonesia sangat besar untuk mampu menangkap peluang tersebut. Per 2017, cadangan gas Indonesia mencapai 142,72 trillion standard cubic feet (TSCF) di mana 100,36 TSCF adalah cadangan terbukti dan 42,36 TSCF sisanya cadangan potensial. Sejak produksi minyak mencapai puncaknya pada 1977 dan 1995, dominasi produksi minyak mulai berakhir dengan penurunan produksi rata-rata 10-12% per tahunnya.
Meskipun produksi gas mengalami tekanan dalam sembilan tahun terakhir dengan rata-rata penurunan produksi di kisaran 1,2% per tahun, namun sejak 2002 produksi gas mendominasi atas minyak. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketidaksesuaian lokasi temuan dan produksi dengan pengguna gas. Terlebih temuan-temuan gas baru, seperti Blok Masela di Laut Arafura berada di kawasan Indonesia Timur sehingga infrastruktur distribusi yang mahal menjadikan tingkat keekonomian gas menjadi tinggi. Alternatifnya, gas terlebih dahulu dicairkan menjadi Liquefied Natural Gas (LNG) kemudian diangkut dengan kapal khusus.
Secara global permintaan, LNG diprediksi akan tumbuh 3,6% per tahun hingga 2035. China berkontribusi paling besar terhadap permintaan tersebut karena impornya meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Belum lagi meningkatnya ketergantungan LNG di Eropa karena penurunan produksi yang terjadi.
Data dari Shell outlook (2018) menunjukkan bahwa pada 2018 lalu, impor LNG negara-negara Asia bahkan melonjak melebihi ekspektasi. Potensi domestik LNG dalam negeri juga terhitung besar. Peluang itu berasal dari dua potensi, yakni pertama, peluang pergeseran penggunaan energi oleh industri di masa mendatang. Sampai saat ini memang gas alam masih belum mampu mencukupi permintaan keseluruhan industri di pasar-pasar utama seperti Pulau Jawa. Namun, pergeseran penggunaan minyak dan batu bara oleh industri menuju gas alam akan sangat memungkinkan terjadinya perubahan yang sangat signifikan dalam hal efisiensi perekonomian. Kedua, potensi penggunaan bahan bakar gas alam oleh proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) di luar Pulau Jawa.
LNG di Masa Depan
Indonesia masih menghadapi tantangan besar, baik dari sisi suplai, infrastruktur, dan hilir. Pertama, dari sisi kapabilitas produksi gas yang konvensional. Sejak menjadi produsen LNG pada 35 tahun lalu, Indonesia masih mengandalkan empat kilang utama LNG yang mana sejak 2015 satu dari empat kilang tersebut (kilang Arun) telah berubah status menjadi kilang untuk proses regasifikasi. Pada jangka pendek Indonesia memang tak perlu impor LNG, tapi surplus tersebut diprediksi akan berakhir dengan net impor yang akan terjadi sekitar 2030.
Karena itu, peningkatan kemampuan produksi gas dari sumber di luar konvensional mendesak untuk dilakukan. Kedua, meski Indonesia kini eksportir LNG terbesar kelima, namun biaya regasifikasi di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Akibatnya, Indonesia sering kali menghadapi harga gas pengguna akhir yang tidak terjangkau. Rencana pembangunan infrastruktur yang terintegrasi juga membutuhkan investasi besar, yakni mencapai USD24,3 miliar.
Maka itu, diperlukan upaya serius dalam mengatasi tantangan tersebut. Pertama, Pertamina dalam waktu dekat perlu mengelola komitmen pembeliannya untuk bisa menangkap peluang besar di bisnis LNG. Kedua, mengoptimalkan penggunaan LNG untuk pembangkit listrik. Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6/2016 tentang ketentuan dan tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi untuk memaksimalkan penggunaan LNG pada pembangkit listrik. Masalahnya, suplai LNG untuk PLN hingga saat ini hanya berasal dari Kilang Bontang dan Tangguh.
Proses regasifikasi yang mahal dibandingkan dengan gas pipa menjadi penyebabnya. Akibatnya, LNG hanya digunakan sebagai cadangan beban puncak pembangkit listrik dibandingkan dengan beban dasar pembangkit listrik terutama di Jawa dan Bali. Selain itu, diperlukan berbagai terobosan agar konsumen mulut tambang (mine-mouth consumer ) dapat dioptimalkan. Terakhir adalah manajemen regulasi yang termasuk di dalamnya tata kelola kelembagaan untuk mendukung iklim investasi.
Peningkatan permintaan LNG untuk konsumsi tidak bisa dielakkan. Maka itu, infrastruktur akan menjadi kunci untuk mendukung integrasi antara lokasi produksi dengan basis pasar. Sebab, gas adalah input terpenting dalam upaya industrialisasi dan pencipta efek pengganda yang besar terhadap perekonomian. Belum lagi dampak tidak langsung seperti potensi pajak yang bisa dihimpun pada tiap mata rantai jalur produksi dan distribusi dari proses industrialisasi yang dijalankan, maka mengupayakan gas akan sama artinya dengan mengupayakan kesejahteraan nasional.
(pur)