Mengupayakan Potensi LNG

Senin, 09 Desember 2019 - 07:37 WIB
Mengupayakan Potensi...
Mengupayakan Potensi LNG
A A A
Dhenny Yuartha Junifta

Peneliti Center of Energy, Food, and Sustainable Development, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

ENERGI fosil sedang menghadapi tan­tang­an serius ter­utama kaitannya dengan isu lingkungan. Tan­tangan ini kemudian men­de­sak berbagai negara untuk meng­alihkan investasi pada ener­gi yang lebih ramah ling­kungan. Ada tiga alasan me­ning­katnya permintaan energi ramah lingkungan. Pertama, pe­ningkatan isu perubahan iklim. Emisi karbon telah me­ningkat menjadi 33 miliar ton per tahun. Padahal untuk me­ngu­rangi temperatur udara se­besar 2%, emisi karbon perlu di­te­kan menjadi hanya 18 mi­liar ton per tahun.

Kedua, desakan pening­kat­an kualitas udara. Orga­ni­sa­si Kesehatan Dunia (WHO) men­catat setidaknya 7 juta orang meninggal setiap tahunnya di­se­babkan polusi udara karena penggunaan energi yang tidak efisien seperti batu bara untuk pembangkit. Ketiga, naiknya permintaan energi akibat per­tumbuhan populasi dunia. Di­pre­diksi permintaan energi pa­da 2070 akan meningkat 150% dibandingkan sekarang.

Tentu saja gas memainkan peranan penting dalam meng­atasi tantangan tersebut. Me­ningkatnya isu lingkungan akan mendorong lonjakan per­min­taan terhadap gas pada masa mendatang. Negara se­per­ti Korea Selatan bahkan te­lah menetapkan pajak yang te­rus meningkat untuk batu bara dari sekitar USD0.1 per MMBTu pada 2013 menjadi USD1.6 per MMBtu pada 2019. Berbeda untuk gas yang awal­nya mencapai sekitar USD1.7 MMBTu pada 2013 menjadi USD0.6 per MMBtu pada 2019.

Selain itu, upaya Pemerintah China dalam menggeser peng­gu­naan batu bara terbukti mem­perbaiki 78% kualitas udara di Beijing. Tak heran jika ke­mudian China menjadi mo­tor penggerak permintaan gas dunia. Diprediksi gas akan ber­kontribusi sekitar 40% ter­ha­dap tambahan permintaan se­lu­ruh energi global pada 2035. Se­bagai negara yang mengan­dal­kan komoditas batu bara untuk ekspor, Indonesia tentu harus bersiap menghadapi ke­mungkinan pergeseran kon­sum­si energi dunia.

Potensi LNG

Potensi gas Indonesia sa­ngat besar untuk mampu me­nangkap peluang tersebut. Per 2017, cadangan gas Indonesia men­capai 142,72 trillion stan­dard cubic feet (TSCF) di mana 100,36 TSCF adalah cadangan terbukti dan 42,36 TSCF sisa­nya cadangan potensial. Sejak produksi minyak mencapai pun­­­caknya pada 1977 dan 1995, dominasi produksi mi­nyak mulai berakhir dengan penurunan produksi rata-rata 10-12% per tahunnya.

Meskipun produksi gas meng­alami tekanan dalam sem­bilan tahun terakhir de­ngan rata-rata penurunan pro­duk­si di kisaran 1,2% per ta­hun, namun sejak 2002 pro­duksi gas mendominasi atas minyak. Namun, tantangan ter­­besarnya adalah keti­dak­se­suaian lokasi temuan dan pro­duksi dengan peng­guna gas. Terlebih te­mu­an-temuan gas baru, seperti Blok Masela di Laut Arafura berada di kawasan Indonesia Timur sehingga in­fra­struktur distribusi yang ma­hal men­ja­di­kan tingkat ke­eko­nomian gas menjadi tinggi. Alternatifnya, gas terlebih da­hulu dicairkan menjadi Lique­fied Natural Gas (LNG) kemu­dian diangkut de­ngan kapal khusus.

Secara global permintaan, LNG diprediksi akan tumbuh 3,6% per tahun hingga 2035. China berkontribusi paling be­sar terhadap permintaan ter­se­but karena impornya me­ning­kat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu dua tahun ter­akhir. Belum lagi me­ning­kat­nya ketergantungan LNG di Eropa karena penurunan pro­duksi yang terjadi.

Data dari Shell outlook (2018) menunjukkan bahwa pada 2018 lalu, impor LNG ne­gara-negara Asia bahkan me­lonjak melebihi ekspektasi. Po­tensi domestik LNG dalam ne­geri juga terhitung besar. Pe­luang itu berasal dari dua po­tensi, yakni pertama, peluang pergeseran penggunaan energi oleh indus­tri di masa men­da­tang. Sampai saat ini memang gas alam masih belum mampu mencukupi per­mintaan kese­lu­ruhan industri di pasar-pasar utama seperti Pulau Jawa. Na­mun, per­ge­ser­an penggunaan minyak dan ba­tu bara oleh industri menuju gas alam akan sangat memung­ki­n­kan ter­ja­di­nya perubahan yang sangat sig­nifikan dalam hal efisiensi perekonomian. Kedua, potensi penggunaan bahan ba­kar gas alam oleh proyek Pe­ru­sahaan Lis­trik Negara (PLN) di luar Pulau Jawa.

LNG di Masa Depan

Indonesia masih meng­ha­dapi tantangan besar, baik dari sisi suplai, infrastruktur, dan hilir. Pertama, dari sisi ka­pa­bi­litas produksi gas yang kon­ven­sional. Sejak menjadi produsen LNG pada 35 tahun lalu, Indo­nesia masih mengandalkan empat kilang utama LNG yang mana sejak 2015 satu dari empat kilang tersebut (kilang Arun) telah berubah status men­jadi kilang untuk proses re­gasifikasi. Pada jangka pendek Indonesia memang tak perlu impor LNG, tapi surplus ter­se­but diprediksi akan berakhir de­ngan net impor yang akan terjadi sekitar 2030.

Karena itu, peningkatan kemampuan produksi gas dari sumber di luar konvensional mendesak untuk dilakukan. Kedua, meski Indonesia kini eksportir LNG terbesar kelima, namun biaya regasifikasi di Indonesia ada­lah salah satu yang termahal di dunia. Akibatnya, Indonesia sering kali menghadapi harga gas pengguna akhir yang tidak terjangkau. Rencana pem­ba­ngunan infrastruktur yang ter­integrasi juga membutuhkan investasi besar, yakni men­ca­pai USD24,3 miliar.

Maka itu, diperlukan upaya serius dalam mengatasi tan­tang­an tersebut. Pertama, Per­ta­mina dalam waktu dekat per­lu mengelola komitmen pem­be­liannya untuk bisa me­nang­kap peluang besar di bisnis LNG. Kedua, mengoptimalkan penggunaan LNG untuk pem­bangkit listrik. Peme­rin­tah me­mang telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No­mor 6/2016 tentang ketent­u­an dan tata cara penetapan alo­kasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi untuk me­mak­si­malkan penggunaan LNG pa­da pembangkit listrik. Ma­sa­lah­nya, suplai LNG untuk PLN hing­ga saat ini hanya berasal dari Kilang Bontang dan Tang­guh.

Proses regasifikasi yang mahal dibandingkan dengan gas pipa menjadi penyebabnya. Akibatnya, LNG hanya di­gu­na­kan sebagai cadangan beban pun­cak pembangkit listrik di­bandingkan dengan beban da­sar pembangkit listrik ter­uta­ma di Jawa dan Bali. Selain itu, diperlukan berbagai terobosan agar konsumen mulut tam­bang (mine-mouth consumer ) da­pat dioptimalkan. Terakhir ada­lah manajemen regulasi yang termasuk di dalamnya tata kelola kelembagaan untuk mendukung iklim investasi.

Peningkatan permintaan LNG untuk konsumsi tidak bisa dielakkan. Maka itu, in­frastruktur akan menjadi kun­ci untuk mendukung integrasi antara lokasi produksi dengan basis pasar. Sebab, gas adalah input terpenting dalam upaya industrialisasi dan pencipta efek pengganda yang besar ter­hadap perekonomian. Belum lagi dampak tidak langsung seperti potensi pajak yang bisa dihimpun pada tiap mata ran­tai jalur produksi dan dis­tribusi dari proses indus­tri­ali­sasi yang dijalankan, maka mengupa­ya­kan gas akan sama artinya de­ngan mengupayakan kese­jah­te­raan nasional.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5872 seconds (0.1#10.140)