Pendidikan, Survei PISA, dan Nadiem
A
A
A
SUKA atau tidak, kita harus menerima fakta bahwa kualitas pendidikan kita hari ini makin tertinggal dari negara lain. Paling tidak ini tergambar melalui survei kualitas pendidikan yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Selasa (3/12) di Paris, Prancis. Hasil survei ini patut membuat kita semua prihatin. Bagaimana tidak, kita menempati peringkat enam terbawah, atau ke-72 dari 77 negara. PISA memberikan penilaian atas kualitas pendidikan di dunia dengan melihat pada tiga aspek, yakni matematika, sains, dan kemampuan membaca atau literasi peserta didik.
Melalui survei ini PISA memberi Indonesia angka 371 untuk kategori membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk ilmu pengetahuan (sains). Tetangga kita, Malaysia, menempati peringkat ke-56, dan tetangga jiran lain, Singapura, menempati peringkat dua teratas.
Tentu kita prihatin dengan hasil PISA ini karena pendidikan adalah kunci dalam membangun masa depan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) sangat ditentukan oleh mutu pendidikan. Apalagi kita tahu dunia kini memasuki era Revolusi Industri 4.0, di mana salah satu kunci dalam memenangi kompetisi adalah keandalan SDM. Dunia begitu cepat berubah dan hari ini kita tiba di era digital yang sangat menuntut adaptasi cepat. Lantas, model pendidikan apa yang harus diterapkan agar kita mampu mengejar ketertinggalan?
Meski tidak mudah, optimisme harus tetap dibangun. Hal yang pasti adalah sangat dibutuhkan terobosan pada bidang pendidikan. Di sinilah peran kepemimpinan begitu dibutuhkan. Sementara ini kita boleh optimistis, terutama setelah memiliki menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) yang baru. Nadiem Makarim, yang sukses mengembangkan GoJek hingga menjadi perusahaan berstatus unicorn, memang bukan tukang sulap yang akan mengubah wajah pendidikan secara total hanya dalam sekejap. Namun, paling tidak, kapasitasnya selama ini dalam bisnis digital cukup mampu meyakinkan banyak orang. Diharapkan, dengan spirit anak muda dan kemampuan intelektual yang dimilikinya dia mampu melahirkan berbagai formula yang dibutuhkan dunia pendidikan kita untuk dapat melesat maju.
Problem utama pendidikan kita selama ini sebenarnya tidak jauh-jauh dari soal guru, model pengajaran, dan fasilitas. Guru, misalnya, kualitasnya masih jauh dari harapan. Guru yang kompetensinya di atas rata-rata atau berhasil lulus Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan nilai minimal 80 hanya sekitar 30%. Hal ini diakui sendiri oleh Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara.
Menurutnya, hasil UKG pada 2015 nilai rata-rata secara nasional untuk guru TK adalah 43,74 poin. Guru SD 40,14 poin, guru SMP 44,14 poin dan guru SMA 45,38 poin. Hingga UKG 2017 nilai rata-rata guru belum juga mencapai 70 poin. Padahal, pemerintah berharap minimal rata-rata guru mencapai 80 poin. Ini ironi karena peran guru sangat strategis. Bagaimana kita bisa mewujudkan SDM yang mumpuni jika guru-guru yang mengajar murid dominan tidak kompeten?
Model pengajaran juga saatnya diubah. Di era ini peserta didik harus didorong untuk mendapatkan sumber ilmu pengetahuan lain di luar sekolah. Guru harus lebih sering berfungsi sebagai fasilitator, bukan hanya “tukang ceramah” di depan kelas. Ini era digital. Peserta didik perlu diberi latihan yang memungkinkan mereka sering mengakses internet, tentu dengan sumber-sumber informasi yang terverifikasi. Hal ini penting untuk membiasakan peserta didik mencari dan menemukan hal baru.
Nadiem juga mengakui bahwa hasil survei PISA akan menjadi bahan evaluasi. Bahkan, hasil itu akan dijadikan acuan dalam memperbaiki kualitas pendidikan dalam lima tahun ke depan. Apa pun metodenya, yang diharapkan dari sistem pendidikan nanti adalah kualitas peserta didik yang makin meningkat. Kita juga berharap sistem pendidikan mampu mencetak generasi yang siap pakai di dunia kerja yang semakin hari semakin digital. Ke depan, industri berbasis digital akan menyediakan pekerjaan-pekerjaan baru, bahkan termasuk yang belum terpikirkan saat ini.
Jadi, pendidikan harus berorientasi pada dunia industri digital di mana peserta didik akan berkecimpung di sana nantinya.
Kita menantikan, seperti apa terobosan-terobosan Nadiem dalam memajukan pendidikan kita? Semoga membawa kemajuan dengan anak-anak yang mampu menjawab tantangan zaman, terutama memiliki kecakapan di bidang teknologi di era digital, tanpa melupakan nilai-nilai luhur di masyarakat.
Melalui survei ini PISA memberi Indonesia angka 371 untuk kategori membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk ilmu pengetahuan (sains). Tetangga kita, Malaysia, menempati peringkat ke-56, dan tetangga jiran lain, Singapura, menempati peringkat dua teratas.
Tentu kita prihatin dengan hasil PISA ini karena pendidikan adalah kunci dalam membangun masa depan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) sangat ditentukan oleh mutu pendidikan. Apalagi kita tahu dunia kini memasuki era Revolusi Industri 4.0, di mana salah satu kunci dalam memenangi kompetisi adalah keandalan SDM. Dunia begitu cepat berubah dan hari ini kita tiba di era digital yang sangat menuntut adaptasi cepat. Lantas, model pendidikan apa yang harus diterapkan agar kita mampu mengejar ketertinggalan?
Meski tidak mudah, optimisme harus tetap dibangun. Hal yang pasti adalah sangat dibutuhkan terobosan pada bidang pendidikan. Di sinilah peran kepemimpinan begitu dibutuhkan. Sementara ini kita boleh optimistis, terutama setelah memiliki menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) yang baru. Nadiem Makarim, yang sukses mengembangkan GoJek hingga menjadi perusahaan berstatus unicorn, memang bukan tukang sulap yang akan mengubah wajah pendidikan secara total hanya dalam sekejap. Namun, paling tidak, kapasitasnya selama ini dalam bisnis digital cukup mampu meyakinkan banyak orang. Diharapkan, dengan spirit anak muda dan kemampuan intelektual yang dimilikinya dia mampu melahirkan berbagai formula yang dibutuhkan dunia pendidikan kita untuk dapat melesat maju.
Problem utama pendidikan kita selama ini sebenarnya tidak jauh-jauh dari soal guru, model pengajaran, dan fasilitas. Guru, misalnya, kualitasnya masih jauh dari harapan. Guru yang kompetensinya di atas rata-rata atau berhasil lulus Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan nilai minimal 80 hanya sekitar 30%. Hal ini diakui sendiri oleh Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara.
Menurutnya, hasil UKG pada 2015 nilai rata-rata secara nasional untuk guru TK adalah 43,74 poin. Guru SD 40,14 poin, guru SMP 44,14 poin dan guru SMA 45,38 poin. Hingga UKG 2017 nilai rata-rata guru belum juga mencapai 70 poin. Padahal, pemerintah berharap minimal rata-rata guru mencapai 80 poin. Ini ironi karena peran guru sangat strategis. Bagaimana kita bisa mewujudkan SDM yang mumpuni jika guru-guru yang mengajar murid dominan tidak kompeten?
Model pengajaran juga saatnya diubah. Di era ini peserta didik harus didorong untuk mendapatkan sumber ilmu pengetahuan lain di luar sekolah. Guru harus lebih sering berfungsi sebagai fasilitator, bukan hanya “tukang ceramah” di depan kelas. Ini era digital. Peserta didik perlu diberi latihan yang memungkinkan mereka sering mengakses internet, tentu dengan sumber-sumber informasi yang terverifikasi. Hal ini penting untuk membiasakan peserta didik mencari dan menemukan hal baru.
Nadiem juga mengakui bahwa hasil survei PISA akan menjadi bahan evaluasi. Bahkan, hasil itu akan dijadikan acuan dalam memperbaiki kualitas pendidikan dalam lima tahun ke depan. Apa pun metodenya, yang diharapkan dari sistem pendidikan nanti adalah kualitas peserta didik yang makin meningkat. Kita juga berharap sistem pendidikan mampu mencetak generasi yang siap pakai di dunia kerja yang semakin hari semakin digital. Ke depan, industri berbasis digital akan menyediakan pekerjaan-pekerjaan baru, bahkan termasuk yang belum terpikirkan saat ini.
Jadi, pendidikan harus berorientasi pada dunia industri digital di mana peserta didik akan berkecimpung di sana nantinya.
Kita menantikan, seperti apa terobosan-terobosan Nadiem dalam memajukan pendidikan kita? Semoga membawa kemajuan dengan anak-anak yang mampu menjawab tantangan zaman, terutama memiliki kecakapan di bidang teknologi di era digital, tanpa melupakan nilai-nilai luhur di masyarakat.
(pur)