Ketua DKPP Sebut Pelanggaran Etik Pemilu Bisa Diteruskan ke Pidana
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Harjono mengungkapkan bahwa ada beberapa kasus pelanggaran kode etik penyelanggara pemilu yang seharusnya dapat diteruskan ke pengadilan pidana.
Hal ini dilontarkannya ketika menjadi narasumber dalam Rapat Evaluasi Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum 2019 yang diadakan Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) di Kota Makassar, Sabtu (8/12/2019) malam.
Di hadapan ratusan peserta, Harjono mencontohkan penyelenggara pemilu tingkat ad hoc yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik jenis berat dalam sidang DKPP. Selama ini, lanjutnya, penyelenggara tingkat ad hoc tersebut paling maksimal hanya dikenakan sanksi pemberhentian tetap dan tidak dapat menjadi penyelenggara pemilu untuk masa yang akan datang dari DKPP.
“Kalau pelanggarannya besar, mestinya dibawa ke proses pengadilan lain, pidana misalnya,” kata Harjono dalam siaran pers yang diterima Sindonews, Minggu (8/12/2019).
Harjono juga mencontohkan adanya peserta pemilu yang mengadukan oknum penyelenggara pemilu ke DKPP. Dalam persidangan, si pelapor mengadukan penyelenggara karena tidak berhasil menjadi anggota legislatif meskipun sudah memberikan uang kepada penyelenggara yang dilaporkan itu.
Peserta itu, lanjut Harjono, juga mengungkapkan bahwa dirinya meminta oknum penyelenggara tersebut untuk mengembalikan uang yang telah ia berikan.
“Ini kan seolah Pemilu Jurdil (jujur dan adil) hanya diibaratkan kita membeli pisang goreng di warung saja. Kalau kita beli pisang goreng, pisang gorengnya habis, lalu duitnya dikembalikan,” ucapnya dengan mimik serius.
Padahal, Harjono melanjutkan, kasus tersebut dapat terjamah oleh hukum. Dan seorang penyelenggara pemilu seharusnya dapat melaporkan siapa pun yang berupaya menyuap dirinya kepada polisi, sepanjang ada saksi.
“Hukum kita kan belum seperti itu karena dianggap pidana pemilu tidak bisa diteruskan kalau pemilunya sudah selesai,” terang Harjono.
“Mestinya itu harus tanggung jawab, yang namanya nyogok ya sampai kapan pun juga tetap nyogok,” tegas mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Hal ini dilontarkannya ketika menjadi narasumber dalam Rapat Evaluasi Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum 2019 yang diadakan Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) di Kota Makassar, Sabtu (8/12/2019) malam.
Di hadapan ratusan peserta, Harjono mencontohkan penyelenggara pemilu tingkat ad hoc yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik jenis berat dalam sidang DKPP. Selama ini, lanjutnya, penyelenggara tingkat ad hoc tersebut paling maksimal hanya dikenakan sanksi pemberhentian tetap dan tidak dapat menjadi penyelenggara pemilu untuk masa yang akan datang dari DKPP.
“Kalau pelanggarannya besar, mestinya dibawa ke proses pengadilan lain, pidana misalnya,” kata Harjono dalam siaran pers yang diterima Sindonews, Minggu (8/12/2019).
Harjono juga mencontohkan adanya peserta pemilu yang mengadukan oknum penyelenggara pemilu ke DKPP. Dalam persidangan, si pelapor mengadukan penyelenggara karena tidak berhasil menjadi anggota legislatif meskipun sudah memberikan uang kepada penyelenggara yang dilaporkan itu.
Peserta itu, lanjut Harjono, juga mengungkapkan bahwa dirinya meminta oknum penyelenggara tersebut untuk mengembalikan uang yang telah ia berikan.
“Ini kan seolah Pemilu Jurdil (jujur dan adil) hanya diibaratkan kita membeli pisang goreng di warung saja. Kalau kita beli pisang goreng, pisang gorengnya habis, lalu duitnya dikembalikan,” ucapnya dengan mimik serius.
Padahal, Harjono melanjutkan, kasus tersebut dapat terjamah oleh hukum. Dan seorang penyelenggara pemilu seharusnya dapat melaporkan siapa pun yang berupaya menyuap dirinya kepada polisi, sepanjang ada saksi.
“Hukum kita kan belum seperti itu karena dianggap pidana pemilu tidak bisa diteruskan kalau pemilunya sudah selesai,” terang Harjono.
“Mestinya itu harus tanggung jawab, yang namanya nyogok ya sampai kapan pun juga tetap nyogok,” tegas mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
(pur)